Pengajar yang rindu belajar. Hanya gemar memasak suka-suka serta membukukan karya dalam berbagai antologi. Sesekali memberi edukasi perawatan diri terutama bagi wanita.
Toleransi Antarumat Beragama Bukanlah Teori Belaka
Sejak duduk di bangku SD, sangat sering disinggung istilah "toleransi". Sesungguhnya, kata toleransi masih terdengar abstrak bagi seorang anak SD, terutama bagi yang masih duduk di kelas 1.
Seorang anak lebih mudah bersikap berdasarkan apa yang dilihatnya daripada apa yang didengarnya. Kata 'toleransi' memang selalu dijumpai, terutama dalam pelajaran PPKn (Pendidikan Pancasila dan Kewarganegaraan). Akan tetapi, kata ini seolah tiada arti jika tanpa praktik dalam kehidupan nyata. Boleh jadi pelajaran PPKn mendapatkan nilai bagus. Namun, ketika mendapatkan perbedaan dalam kehidupan nyata (khususnya berkaitan dengan agama), ternyata menjadi tanda tanya.
Sesungguhnya toleransi ini dapat dipupuk sejak dari kalangan yang paling dekat dengan anak, yaitu keluarga. Di dalam keluarga, mungkin ada yang berbeda agama. Entah itu dalam keluarga inti atau keluarga besar. Bahkan mungkin pula ada orang-orang yang bekerja di lingkungan keluarga, misalnya sopir pribadi atau asisten rumah tangga yang berbeda agama.
Cerminan toleransi bagi anak di lingkungan keluarga diperoleh dari orang tua. Bagaimana orang tua menghadapi perbedaan yang ada, itulah yang dilihat anak. Dari apa yang sering dilihatnya, seorang anak biasanya akan lebih mudah meniru.
Jika seorang anak senantiasa berada dalam situasi yang selalu seragam, ia tidak akan pernah paham akan artinya keberagaman. Tidak semua hal dapat diseragamkan, termasuk halnya dengan agama. Hal ini dapat kita lihat kembali pada perumusan Pancasila sila pertama yang dilakukan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945. Betapa beragamnya Indonesia karena terdiri atas pulau-pulau yang tersebar dari Sabang hingga Merauke. Setiap daerah memiliki keunikan sendiri dan memiliki mayoritas penganut agama yang berbeda-beda.
Melihat keberagaman Indonesia dan seberapa nyatakah kata 'toleransi' itu ada, tinggal melihat dari bagaimana reaksi seseorang terhadap adanya perbedaan. Apakah dia menganggap yang berbeda dengannya itu tidak benar ataukah dia menganggap bahwa perbedaan ini merupakan keragaman yang dapat memperkaya Indonesia.
Lingkungan kedua yang paling dekat dengan anak adalah lingkungan sekolah. Di mana ada anak yang menempuh pendidikan di sekolah negeri dan ada pula yang di sekolah swasta. Biasanya, para murid yang belajar di sekolah negeri lebih beragam dalam hal agama. Namun, bukan berarti sekolah swasta tidak ada keberagaman dalam hal agama. Di sinilah terlihat nyata bagaimana sikap 'toleransi' yang sesungguhnya. Apakah anak minoritas mendapat perlakuan sama atau dikucilkan.
Sesungguhnya kata 'toleransi' bukanlah teori belaka. Untuk apa kata ini diajarkan di bangku sekolah jika tidak mampu dipraktikkan dalam kehidupan nyata.
Saya selaku salah satu pengajar di sekolah swasta juga menemukan keberagaman agama pada anak didik. Bahkan dalam satu keluarga inti pun, juga ada yang berbeda agama.
Saat pelajaran PPKn, biasanya akan selalu dijumpai kata 'toleransi'. Bukan lagi waktunya untuk memperdalam teori, melainkan mempraktikkan agar berguna dalam kehidupan. Ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk menyelami kata 'toleransi' dalam kehidupan nyata untuk seorang murid, antara lain: