Libatkan Si Kecil Saat Membuat Kue Lebaran
Sedari kecil, penulis selalu dilibatkan dalam membuat kue kering khas lebaran. Diberi tanggung jawab untuk pekerjaan sederhana yang dapat dilakukan anak-anak. Seperti menaburi keju di atas adonan yang sudah dicetak, ataupun memoles adonan yang sudah dicetak dengan kuning telur.
Biasanya, orangtua akan membagi-bagi tugas saat membuat kue. Misalnya Ayah konsentrasi dengan pekerjaan bagian memanggang. Sedangkan Ibu yang lebih rapi dan teliti sehingga ditempatkan pada bagian mencetak adonan.
Kakak pertama yang memasukan kue yang sudah matang ke dalam toples. Anak kedua diberi tugas lebih ringan yang menpercantik adonan sebelum dipanggang. Sedangkan anak terakhir, bagian icip-icip kue yang sudah matang karena masih belum ikut puasa.
Momentum indah itu membuat saya terbiasa membuat kue lebaran setiap tahun. Tak sadar bahwa aktivitas sederhana itu justru membangun suasana hangat dan kebersamaan yang selalu dirindukan. Menciptakan kekompakan untuk mencapai tujuan yang sama, yaitu kue lebaran yang lezat.
Sayangnya, tidak semua merasakan momentum hangat itu. Penulis ingat ada teman sewaktu SD yang sangat ingin merasakan membuat kue bersama orangtuanya.
Kebiasaan di keluarganya adalah membeli kue lebaran yang sudah jadi yang dijual di supermarket atau toko kue ternama. Ibu dan Ayahnya sama-sama sibuk karena urusan pekerjaan. Sehingga mereka memilih untuk membeli kue saja daripada membuatnya dari nol.
Setelah mengetahui itu, usai libur lebaran, saya selalu membawa bekal kue kering lebaran yang dibuat di rumah. Tentunya agar teman saya ikut mencicipi kue lebaran ala rumahan.
Saya masih teringat pada matanya yang berbinar saat menyantap kue nastar dengan lahap. Katanya, kue lebaran yang dibuat ala rumahan jauh lebih enak daripada yang dibeli oleh orangtuanya.
Tidak hanya kesibukan yang menjadi alasan tidak menciptakan suasana hangat membuat kue lebaran bersama keluarga. Sebenarnya ada keluarga yang membuat kue lebaran sendiri, tetapi enggan untuk melibatkan anaknya dalam proses pembuatannya.
Tentu alasannya adalah karena tidak mau ribet dan tidak ingin gagal membuat kue. Banyak tangan apalagi tangan anak-anak yang terlibat, terkadang membuat rasa kue tidak sesuai dengan harapan.