Menjaga Kesehatan Mental dengan Puasa Media Sosial
Sebagai generasi Z yang suka menulis, media sosial mempermudah saya dalam membagikan tulisan-tulisan saja. Misalnya saja ketika tulisan saya terbit di Kompasiana. Untuk menarik perhatian pembaca, salah satu caranya adalah dengan membagikan link artikel saya di media sosial. Salah satunya adalah story Instagram yang cukup mendapatkan views banyak.
Selain itu, media sosial juga membantu saya untuk mendapatkan informasi terkait kepenulisan. Seperti tips dalam menulis ataupun informasi lomba-lomba kepenulisan yang dapat saya ikuti.
Sesama penyuka dunia literasi, sering berkomunikasi di media sosial. Memiliki grup tersendiri untuk membahas tema yang menarik semua anggota grup. Rasanya selalu senang bertemu dan membicarakan suatu tema yang disenangi oleh banyak orang karena berada dalam satu grup yang sama.
Sayangnya, ada satu momentum yang membuat saya merasa untuk harus rehat sejenak bermain media sosial. Kita memang bisa sebijak mungkin memanfaatkan media sosial. Khusunya mengambil hal-hal positif yang didapatkan dari bermain media sosial.
Perlu diingat bahwa kita tidak bisa memfilter hal-hal di luar kendali kita. Termasuk para pengikut atau yang sering disebut dengan followers media sosial.
Sampai akhirnya, saya merasa terganggu dengan berbagai komentar yang masuk dalam direct message menggunakan second accout. Belum lagi berbagai postingan yang tidak menyenangkan muncul dalam menu home.
Meski media sosial berusaha untuk memberikan kenyamanan dengan adanya fitur membatasi akun atau yang sering disebut dengan private akun, tetap saja tak bisa menutupi celah hal-hal negatif. Hanya sebatas meminimalisir saja.
Ditambah lagi sudah ada dalam fase ketergantungan pada media sosial. Segala sesuatu tentang aktivitas sehari-hari yang harus dipamerkan dalam media sosial.
Lambat laun, tidak ada sekat antara dunia nyata dengan dunia maya. Padahal, pengguna begitu kesulitan untuk membatasi siapa saya yang dapa melihat atau me-reply dari apa yang kita posting. Sekalipun sudah di-setting hanya untuk teman dekat saja, apakah yakin hanya berakhir di situ saja? Apakah yakin tidak ada yang cepu atau membocorkan ke orang lain?
Kebiasaan buruk membagikan aktivitas sehari-hari dalam media sosial membuat kita sering membanding-bandingkan dengan kehidupan orang lain. Apalagi ketika melihat postingan orang lain lebih keren dibandingkan dengan postingan kita. Timbul rasa ketar-ketir karena merasa tersaingi.