Siska Fajarrany
Siska Fajarrany Penulis

Suka menulis.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Menjaga Kesehatan Mental dengan Puasa Media Sosial

30 Maret 2024   23:36 Diperbarui: 30 Maret 2024   23:41 1157
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjaga Kesehatan Mental dengan Puasa Media Sosial
Ilustrasi kecanduan media sosial. (Sumber: OcusFocus via kompas.com) 

Tema artikel kali ini cukup menggelitik. Ditambah lagi saat membaca artikel dari teman-teman penulis Kompasiana. Berbagai judul bertebaran dalam kolom kategori Ramadan.

Saya mencoba menelaah satu persatu artikel dengan tema yang serupa di Kompasiana. Rata-rata enggan atau bahkan tidak bisa melakukan puasa media sosial.

Tentunya dengan berbagai alasan. Mengingat media sosial sudah seperti teman dari bangun tidur sampai menjelang tidur.

Khusunya generasi Z yang segala kehidupannya tak lepas dari campur tangan atau kontribusi media sosial. Rasanya gatal kalau belum scroll media sosial. Telat beberapa menit saja seperti ketinggalan banyak informasi. Bahasa kerennya yang dipakai anak muda zaman sekarang adalah kude(kurang update).

Memang tidak mudah untuk lepar dari media sosial. Apalagi jika segala relasi pertemanan sampai pekerjaan berasal dari media sosial.

Berbagai kepentingan dan manfaat bisa kita dapatkan dari media sosial. Menambah relasi, menyabarkan informasi lebih cepat, sampai mendapatkan informasi dengan mudah.

Banyak juga yang mendapatkan uang dari media sosial. Membuka endorse atau bergabung dengan affiliate e-commerce.

Sebenarnya, media sosial memberikan banyak kemudahan bagi penggunanya yang bijak dalam memanfaatkannya. Menambah teman baru, berkabar dengan teman lama, sampai membuka peluang-peluang cuan.

Tidak hanya itu, media sosial juga bisa sebagai teman manusia yang dalam dunia nyatanya sulit bergaul. Mungkin ada di antara kita yang kesulitan untuk berinteraksi secara langsung dengan sekeliling. Tetapi saat di dunia maya, kita bisa dengan mudah mengekspresikan diri kita sendiri. Tanpa rasa malu. Tanpa ada kekhawatiran akan dianggap aneh.

Hal tersebut yang memicu sebuah keadaan, "Anaknya asyik di media sosial. Tapi di dunia nyata gak gaul." Fenomena itu sering terjadi di kalangan anak muda.

Sebagai generasi Z yang suka menulis, media sosial mempermudah saya dalam membagikan tulisan-tulisan saja. Misalnya saja ketika tulisan saya terbit di Kompasiana. Untuk menarik perhatian pembaca, salah satu caranya adalah dengan membagikan link artikel saya di media sosial. Salah satunya adalah story Instagram yang cukup mendapatkan views banyak.

Selain itu, media sosial juga membantu saya untuk mendapatkan informasi terkait kepenulisan. Seperti tips dalam menulis ataupun informasi lomba-lomba kepenulisan yang dapat saya ikuti.

Sesama penyuka dunia literasi, sering berkomunikasi di media sosial. Memiliki grup tersendiri untuk membahas tema yang menarik semua anggota grup. Rasanya selalu senang bertemu dan membicarakan suatu tema yang disenangi oleh banyak orang karena berada dalam satu grup yang sama.

Sayangnya, ada satu momentum yang membuat saya merasa untuk harus rehat sejenak bermain media sosial. Kita memang bisa sebijak mungkin memanfaatkan media sosial. Khusunya mengambil hal-hal positif yang didapatkan dari bermain media sosial.

Perlu diingat bahwa kita tidak bisa memfilter hal-hal di luar kendali kita. Termasuk para pengikut atau yang sering disebut dengan followers media sosial.

Ilustrasi media sosial. (Sumber: Dok. Shutterstock via kompas.com) 
Ilustrasi media sosial. (Sumber: Dok. Shutterstock via kompas.com) 

Sampai akhirnya, saya merasa terganggu dengan berbagai komentar yang masuk dalam direct message menggunakan second accout. Belum lagi berbagai postingan yang tidak menyenangkan muncul dalam menu home.

Meski media sosial berusaha untuk memberikan kenyamanan dengan adanya fitur membatasi akun atau yang sering disebut dengan private akun, tetap saja tak bisa menutupi celah hal-hal negatif. Hanya sebatas meminimalisir saja.

Ditambah lagi sudah ada dalam fase ketergantungan pada media sosial. Segala sesuatu tentang aktivitas sehari-hari yang harus dipamerkan dalam media sosial.

Lambat laun, tidak ada sekat antara dunia nyata dengan dunia maya. Padahal, pengguna begitu kesulitan untuk membatasi siapa saya yang dapa melihat atau me-reply dari apa yang kita posting. Sekalipun sudah di-setting hanya untuk teman dekat saja, apakah yakin hanya berakhir di situ saja? Apakah yakin tidak ada yang cepu atau membocorkan ke orang lain?

Kebiasaan buruk membagikan aktivitas sehari-hari dalam media sosial membuat kita sering membanding-bandingkan dengan kehidupan orang lain. Apalagi ketika melihat postingan orang lain  lebih keren dibandingkan dengan postingan kita. Timbul rasa ketar-ketir karena merasa tersaingi.

Tidak akan ada akhirnya jika tujuan bermain media sosial adalah untuk menyaingi orang lain. Karena sejatinya, di atas langit masih ada langit. Begitupula seterusnya.

Ilustrasi media sosial.  (Sumber: SHUTTERSTOCK/RAWPIXEL.COM via kompas.com) 
Ilustrasi media sosial.  (Sumber: SHUTTERSTOCK/RAWPIXEL.COM via kompas.com) 

Pada titik itulah, yang membuat akhirnya saya memutuskan untuk rehat dari media sosial. Menonaktifkan akun media sosial untuk sementara. Kembali fokus pada dunia nyata. Membenahi hal-hal yang selama ini terabaikan karena sibuk pencitraan di media sosial.

Tidak ada waktu pasti tentang sampai kapan harus rehat atau berpuasa dari media sosial. Saya rasa, jika memang ada kepentingan yang mendesak, barulah kembali membuka media sosial.

Kebiasaan puasa media sosial menjadi sebuah rutinitas. Dalam satu tahun, ada sekitar 3 sampai 4 kali menonaktifikan akun media sosial untuk sementara. Kurun waktunya beragam. Ada yang kurang dari satu bulan, tepat satu bulan, bahkan lebih dari satu bulan.

Puasa media sosial sudah saya terapkan sejak satu tahun yang lalu. Awalnya memang terasa berat. Apalagi ketika kumpul dengan teman yang asyik scroll media sosial. Sedangkan kita hanya terdiam karena sedang tidak aktif bermain media sosial.

Godaan akan selalu ada menghampiri. Seperti ingin membagikan momentum tertentu di media sosial. Sampai mencari informasi baru dari yang penting sampai tidak penting.

Merenung sejenak sebelum tergiur untuk kembali membuka media sosial. Apakah semua orang perlu tahu terkait momentum yang saat ini sedang dijalani? Sepenting apa sampai semua orang harus mengetahui kabar tersebut?

Ternyata, tidak semua orang wajib mengetahui apa yang kita alami, apa yang kita rasakan. Malah akan lebih berkesan jika hanya diketahui oleh orang-orang pilihan saya yang dekat dan mengetahui seluk beluk diri kita.

Renungan selanjutnya, apa informasi yang ingin kita ketahui? Kabar artis favorit kita? Sepentinya apa? Memangnya berpengaruh apa kepada kehidupan pribadi kita?

Puasa media sosial bukan berarti menjadi makhluk primitif yang tidak mengenal internat. Kita masih bisa mencari informasi apapun di internet. Hanya saja, sumbernya bukan dari media sosial saja.

Ilustrasi media sosial. (Sumber: Dok. Shutterstock via kompas.com) 
Ilustrasi media sosial. (Sumber: Dok. Shutterstock via kompas.com) 

Setelah satuh tahun menjadwalkan puasa media sosial, saya merasakan banyak manfaatnya. Yang pertama, saya jadi memiliki batasan atau punya rem untuk membedakan mana yang menjadi konsumsi pribadi atau mana yang tidak apa-apa menjadi konsumsi banyak orang. 

Kedua, saya merasa mental lebih sehat karena tidak lagi dihantui dengan pikiran-pikiran negatif. Prasangka buruk dari postingan orang lain yang belum tentu benar adanya sesuai dengan prasangka kita. Terhindar pula dari komentar netizen yang terkadang lebih so tau dalam menyimpulkan kehidupan orang lain.

Ketiga, saya memiliki waktu untuk diri saya sendiri. Mengenal apa mau saya. Apa keinginan saya, termasuk melakukan pendekatan dengan lingkungan sekitar. Kembali membenahi kehidupa nyata yang seharusnya lebih diprioritaskan dari sekadar scoll media sosial.

Dari pengalaman ini, saya ingin membagikan bahwa semua orang tidak bisa lepas dari kemajuan teknologi. Termasuk media sosial. Media sosial sudah menjadi kebutuh primer yang perlu kita gunakan dengan bijak. Namun, secanggih apapun fitur yang ditawarkan untuk memberikan ruang privasi pada penggunanya, tetap ada hal-hal di luar kendali kita.

Tidak ada salahnya untuk rehat sejenak dari media sosial. Awalnya memang terlihat sulit. Namun saat dijalani, ternyata tidak sesulit seperti yang dibayangkan.

Puasa media sosial bukan berarti jadi kehilangan banyak informasi terbaru. Ingat, ini hanya puasa media sosial. Bukan puasa bermain ponsel dan mengakses internet.

Hanya diri sendiri yang bisa tahu kapan memutuskan untuk puasa media sosial. Hanya diri sendiri yang bisa membatasi dan mengerem hal-hal negatif yang malah merusak kesehatan mental kita. 

So, jika memang media sosial sudah sangat membuatmu terganggu bahkan menimbulkan ketidaknyamanan, tidak ada salahnya untuk mencoba puasa dari media sosial!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun