(3) Ramadan Tak Biasa: Ayo Mengukur Diri!
Selama ini, sebelum pandemi corona, saya melihat "kisah" hampir sebagian masyarakat Indonesia, dalam bidang sosial, budaya, dan terutama ekonomi, banyak yang tak mengukur diri.
"Tiba saat, Tiba akal". Tidak berpikir panjang dalam melakukan tindakan, keputusan, kebijakan, yang pada akhirnya, tindakan keputusan itu menjerat dirinya sendiri, karena tidak dalam perencanaan dan pemikiran yang matang. Asal jalan, dan asal mengambil keputusan yang tak diiringi kematangan pertimbangan terukur.
Bahkan hal ini, khususnya dalam bidang ekonomi, hampir merata dilakukan oleh berbagai kasta masyarakat, yaitu dari rakyat jelata hingga elite parpol dan pemimpin bangsa ini.
Alhasil, atas perbuatan, tindakan, perilaku yang tak mengukur diri itu, negara jadi banyak hutang, banyak elite parpol dan pejabat terjerat korupsi.
Demikian juga kehidupan masyarakat kita, hampir sebagian besar hanya bisa "gali lobang, tutup lobang". Pun terjerat utang dan pinjaman, bahkan dari rentenir.
Sebabnya, secara sosial budaya, rakyat dan bangsa ini juga sedang berkembang, jadi sebagaimana ciri khasnya, akan mudah diidentifikasi sangat konsumtif pada kebutuhan yang tak primer, dan memaksakan diri demi penampilan dan "gaya hidup" serta memenuhi hawa nafsu.
Mengukur diri pribadi
Lalu, apa sejatinya mengukur diri itu? Sebab, bangsa dan rakyat kita, banyak yang lepas kendali dan suka bertindak tak mengukur diri?
Sesuai KBBI, mengukur adalah menghitung ukurannya (panjang, besar, luas, tinggi, dan sebagainya) dengan alat tertentu, menilai mutu dengan cara membandingkan, menguji, mencoba, mengira, dan sebagainya.
Sementara makna diri yaitu, orang seorang (terpisah dari yang lain), tidak dengan yang lain: pekerjaan itu dilakukannya seorang. Bila dirangkai, maka makna mengukur diri adalah kemampuan seseorang dalam menghitung ukuran, menilai mutu sesuatu dengan membandingkan, menguji, mencoba, dan mengira.
Atas definisi tersebut, dengan fakta bahwa pemimpin bangsa dan rakyat Indonesia hingg kini masih banyak yang tak mau dan tak mampu mengukur diri demi menginginkan "sesuatu" karena gaya hidup, jelas menjadi problem akut yang wajib disetop tradisi dan budayanya.