Supartono JW
Supartono JW Konsultan

Bekerjalah dengan benar, bukan sekadar baik

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

1445 H (1): Memahami Perbedaan dan Keniscayaan

11 Maret 2024   10:54 Diperbarui: 11 Maret 2024   12:36 656
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1445 H (1): Memahami Perbedaan dan Keniscayaan
Ilustrasi Supartono JW

Janganlah perbedaan dijadikan senjata demi kepentingan dan mencari keuntungan. Sadarlah bahwa keniscayaan hanya milik Tuhan.

(Supartono JW.11032024)

Bulan Ramadan 1445 Hijriah, sudah hadir. Seluruh Umat Islam di seluruh dunia pun  telah bersiap menyambutnya dengan berbagai cara. Tidak terkecuali Umat Islam di Indonesia.

Di Indonesia, Minggu malam (10/3/2024) sudah ada yang melaksanakan Ibadah Tarawih. Sementara, hasil Sidang Isbat Pemerintah RI, menyatakan bahwa awal puasa dimulai 12 Maret 2024.

Perbedaan, keniscayaan

Sebab, bulan Ramadan tahun  ini, di +62 bertepatan dengan sedang berlangsungnya proses penghitungan suara hasil Pemilu (Pilpres dan Pileg), maka  penentuan awal Ramadan pun, menjadi hal yang signifikan seperti kasus Pemilu. Meski sebelum Pemilu, beberapa tahun belakangan ini, di +62 konsisten terjadi perbedaan awal bulan Ramadan.

Perbedaan itu pun terus dijadikan senjata pembenaran oleh siapa yang sedang menjabat duduk di pemerintahan. Dan, siapa yang ada di balik pemerintah. Hingga rakyat yang belum mendapat kesempatan terdidik dengan benar, menjadi seperti kerbau dicucuk hidung. Menurut saja apa yang diputuskan oleh pemerintah.

Sejatinya, dalam kehidupan ini, perbedaan adalah keniscayaan.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), keniscayaan adalah keadaan (hal) niscaya, yaitu tentu; pasti; tidak boleh tidak. Jadi, keniscayaan adalah keadaan yang sudah tentu atau sudah pasti. Keniscayaan adalah keadaan yang tidak boleh tidak atau tidak bisa tidak.

Dalam ajaran agama Islam di tegaskan bahwa Allah SWT menciptakan manusia menjadi berbangsa-bangsa, bersuku-suku, dengan perbedaan laki-perempuan, bentuk wajah, warna kulit, bahasa, adat istiadat, dan keyakinan agama.  Kemajemukan perbedaan itu adalah sebuah keniscayaan dari kehendak Allah. Jadi, keniscayaan adalah milik Allah. Keniscayaan itu milik Allah. Kita bisa mencapai-memperoleh "segala sesuatu" karena campur tengan Allah.

Karenanya, sebab perbedaan yang diciptakan Allah adalah keniscayaan, maka perbedaan itu diciptakan sebagai wujud anugerah. Bukan sebaliknya menjadi dasar permusuhan, yang dapat menghadirkan berbagai macam "ancaman" bagi bangsa dan negara ini.

Perbedaan yang diciptakan dari hasil pemikiran manusia, selamanya, serba relatif, tidak mutlak. Apalagi niscaya. Oleh sebab itu, perbedaan yang dihasilkan tentang apa pun, tidak boleh ada yang mengklaim diri paling benar. Ingat,  sekali lagi, kebenaran mutlak hanya milik Yang Maha Benar yaitu Allah SWT.

Namun demikian, dalam ajaran Islam yang benar, Islam sangat menjunjung tinggi peran akal, menghormati perbedaan pendapat yang bermanfaat, perbedaan yang berorientasi pada kebenaran. Seorang muslim dan setiap manusia  diperintahkan untuk selalu memiliki pandangan yang baik terhadap apapun yang berbeda dengan saya, kita. Sehingga kita memandang perbedaan itu sebagai anugerah dan jangan sampai memandangnya sebuah masalah.

Jangan pula perbedaan dilandasi oleh subjektivitas individu/kelompok/golongan secara berlebihan, secara ugal-ugalan. Perilaku merasa paling benar, tentu dampaknya buruk bagi dirinya dan juga lingkungan. Bila hal itu yang terjadi, maka taruhannya adalah perpecahan, disintegrasi bangsa, dll.

Manusia membuat niscaya?

Sampai pada latar belakang dan identifikasi tentang perbedaan dan kenisyasaan tersebut, coba kita refelksi lagi. Mengapa dalam penentuan awal Ramadan, ada dua pihak di negeri ini, yang memiliki kekuasaan seperti Tuhan? Membuat keniscayaan kapan awal bulan Ramadan dengan versinya masing-masing. Meski di luar negeri juga ada yang berlaku sama?

Yang satu, sudah membuat keniscayaan dengan berbagai alasannya, awal Ramadan di +62 Senin (11/3/2024). Yang satu memastikan awal Ramadan Selasa (12/3/2024). Parahnya, bila yang membuat keniscayaan awal Ramadan Senin (11/3/2024) hanyalah pihak yang saya sebut sebagi oposisi pemerintah. Tetapi, yang memmbuat keniscayaan awal Ramadan Selasa (12/3/2024) adalah pihak pendukung pemerintah dan pemerintah itu sendiri.

Mana yang pada akhirnya diikuti oleh rakyat negeri ini? Rakyat yang malas berpikir dan belum "terdidik" maka, akan patuh pada aturan dan menurut hal yang ditentukan pemerintah.

Mirisnya, perbedaan awal Ramadan yang sudah jauh hari menggaung di seantero negeri ini, pada akhirnya benar. Bahwa, pemerintah dengan dukungan salah satu pihak, tetap membuat keputusan yang niscaya, awal Ramadannya berbeda dengan pihak yang satunya.

Rasa-rasanya, bila digeneralisasi bagaimana pemerintah menentukan awal Ramadan 1445 Hijriah yang harus Selasa (12/3/2024), sepertinya sama dengan bagaimana pemerintah mengunci awal Ramadan di tahun-tahun sebelumnya. Meski tetap dengan adanya dasar-dasar argumen dan fakta secara aturan agama dan ilmiah.

Instilah mengunci ini, rasa-rasanya, juga sama dengan kejadian penghitungan hasil Pemilu (Pilpres dan Pileg), yang kebetulan terjadi, dan begitu dahsat menjadi perbincangan berbagai pihak dan rakyat. Rakyat yang membicarakan pun sudah dikunci.

Sejak rakyat selesai mencoblos di TPS, begitu hasil penghitungan suara lembaga survei di publikasikan, hingga detik ini, artikel saya tulis, perolehan suara hasil Pilpres dan Pileg, sudah dikunci, tidak bergerak. Hanya dikisaran angka itu-itu saja.

Logikanya, perolehan suara yang diinput, tentu akan ada angka yang fluktuatif, naik-turun. Tapi mengapa angkanya tidak fluktuatif, seperti sudah dikunci. Atau memang benar sudah dikunci. Karena pesanan pemenang Pilpres dan Pileg memang skenarionya harus seperti itu.

Apa bedanya dengan penentuan awal Ramadan? Yang satu sudah mengunci 11 Maret. Yang satunya (pemerintah) sudah mengunci 12 Maret.

Rasa-rasanya lagi, di awal Ramadan 1445 Hijriah ini, saya sebagai rakyat jelata, semakin dapat membaca bahwa, ternyata, di negeri ini,  sudah ada yang kelewat batas. Memposisikan diri seolah menjadi Tuhan. Dengan membuat keputusan subyektif, membuat keniscayaan awal bulan Ramadan. Membuat keniscayaan, siapa yang harus menang dalam Pemilu, karena ada kepentingan dan keuntungan di baliknya. Keduanya, bersembunyi di balik perbedaan.

Sesuai firman Allah dalam Al-Quran Surat al-Hujurat ayat 13, terjemahannya:
"Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Teliti".

Dari ayat tersebut, di antaranya dapat ditafsirkan bahwa perbedaan diciptakan Allah agar manusia saling mengenal. Kemudian bertaqwa hingga dapat menjadi manusia yang mulia. Mementingkan kemaslahatan bersama umat, rakyat, bangsa, dan negara.

Bukan memanfaatkan "perbedaan", lalu menjadi Tuhan, membuat keniscayaan. Menentukan awal Ramadan dengan masing-masing versinya. Dianggap mengunci perolehan suara hasil Pemilu, karena kepentingan dan keuntungan untuk pemodalnya, dinastinya, oligarkinya, dll.

Sampai kapan, perbedaan, akan dijadikan senjata demi kepentingan-kepentingan. Sampai kapan di negeri ini ada pihak yang selalu leluasa membuat keniscayaan?

Untuk umat muslim, mana awal Ramadan yang kalian ikuti? Ikutilah akal sehat sesuai ajaran kalian yang menyentuh hati dan keyakinan kalian masing-masing. Karena faktanya, awal Ramadan di Indonesia sudah dibuat berbeda. Allah maha mengetahui.

Selamat menjalankan Ibadah Ramadan 1445 Hijriah. Mohon maaf lahir batin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun