1445 H (24) Tahu Membalas Kebaikan
Rida, ikhlas, tahu menolong, tahu ditolong, tahu berterima kasih, tahu membalas budi, kaya pikiran dan kaya hati dalam perkara duniawi, adalah cermin dari pandai bersyukurnya seseorang yang sudah selesai dengan dirinya sendiri.
(Supartono JW.03042024)
Ibadah Ramadan 1445 Hijriah ada yang sudah masuk hari ke-24. Fase 10 hari pertama, rahmat, sudah lewat. Fase kedua, ampunan, juga sudah lewat. Kini bahkan sudah memasuki hari ke-4 Fase agar terbebas dari neraka.
Pertanyaannya, khususnya bagi Umat muslim, sudahkah kita berupaya benar-benar menjalankan ibadah Ramadan agar dapat meraih rahmat dan ampunan-Nya? Sudahkah kita berupaya terbebas dari api neraka dengan melakukan ibadah Ramadan yang benar dan baik. Pun dalam kehidupan sehari-hari bersikap dan berbuat sesuai ketaqwaan?
Tidak rida, tidak ikhlas, tidak menolong
Doa Ramadan hari ke-24
Artinya: Ya Allah, aku memohon kepada-Mu di bulan ini segala yang mendatangkan keridhaan-Mu, aku berlindung kepada-Mu dari segala yang dapat menimbulkan murka-Mu, dan aku memohon kepada-Mu taufik untuk menaati-Mu dan tidak bermaksiat kepada- Mu, wahai Yang Maha Dermawan terhadap para pemohon.
Dari doa tersebut, sekurangnya kita mengharap keridaan dan taufik/pertolongan Allah, agar kita benar-benar dapat terbebas dari api neraka. Bila ada keridaan, berarti juga ada sikap ikhlas. Bukan sebaliknya, Allah marah, murka, karena kita berbuat maksiat. Maksiat menurut KBBI berarti perbuatan yang melanggar perintah Allah SWT, perbuatan dosa yang tercela, buruk, dan lain sebagainya. Karena tidak rida, tidak ikhlas, tidak menolong.
Untuk itu, terkait doa tersebut, pertanyaannya, sebelum habluminallah, hubungan vertikal antara manusia dengan Allah, dalam habluminannas, hubungan dengan sesama manusia, apakah kita sudah menjadi manusia yang rida, ikhlas, dan suka memberi pertolongan?
Sesuai KBBI, rida adalah rela; suka; senang hati; dan perkenan. Lalu, ikhlas berarti bersih hati, tulus hati. Dalam hal hubungan sesama manusia, ikhlas adalah memberi pertolongan dengan ketulusan hati. Sementara itu, keikhlasan berarti sebuah kejujuran atau kerelaan. Dan, taufik adalah pertolongan.
Perkara duniawi
Terkait sikap rida, ikhlas, dan penolong ini, bila segala perkara duniawi sudah mencemari amal kebaikan, maka kemurnian amal tersebut, sudah ternoda atau hilang keikhlasannya. Oleh sebab itu, orang yang jiwanya terkalahkan oleh perkara duniawi, seperti hanya memanfaatkan orang lain untuk kepentingan dirinya, mencari keuntungan dan kepentingan pribadi, hingga mencari kedudukan atau popularitas, dan sebagainya, maka tindakan dan perilakunya itu mengacu pada sifat tidak rida, tidak ikhlas, apalagi sifat penolong.
Lihatlah dalam kasus perselisihan hasil Pemilu yang sekarang masih berproses di Mahkamah Konstitusi (MK). Baik yang disebut pemohon, termohon, atau pihak terkait, dalam bersidang, semua saya sebut sebagai pihak yang tidak rida, tidak ikhlas, dan saling melawan. Karena mempertahankan pemikirannya masing-masing.
Mirisnya lagi, di antara persoalan dan masalah yang membuat menjadi perselisihan, dipicu oleh seorang pemimpin negara yang dianggap tidak rida, tidak ikhlas, kekuasaannya diambil oleh pihak lain yang berbeda gerbong.
Kemudian hanya menolong dirinya, keluarganya, oligarkinya, pemodalnya, demi kepentingannya sampai pada tujuan. Tidak peduli meski meletakkan etika dan moral justru menjadi barang murah dan rendah.
Lupa membalas budi
Orang-orang yang dalam perkara duniawi masih tidak rida, tidak ikhlas, dan hanya mengurus kepentingannya sendiri, tidak peduli orang lain, kelurganya, masyarakat, hingga kehidupan berbangsa dan bernegara, karena perilakunya mengingkari hati nuraninya, maka jangankan akan memiliki keridaan dan keikhlasan untuk membalas keridaan, keikhlasan, dan pertolongan Allah yang sudah memberikan kesempatan hidup di dunia.Terhadap orang lain saja, perilakunya sulit untuk rida, ikhlas, dan menolong.
Orang-orang yang disibukkan dengan perkara duniawi, lupa rida, ikhlas, tolong-menolong, dalam hubungan habluminannas, apalagi dalam hubungan habluminnallah, maka biasanya akan lupa diri, sulit berterima kasih, apalagi membalas kebaikan orang lain/pihak lain. Sebab, sudah menjadi manusia yang tidak pandai berayukur. Karena belum selesai dengan dirinya sendiri. Berpikir hidup di dunia akan kekal. Lupa dan mengabaikan bahwa kematian adalah hal yang paling dekat dan amanah adalah hal yang paling berat dalam hidup manusia.
Bagaimana orang-orang yang tidak pandai bersyukur, belum selesai dengan dirinya sendiri, akan rida, ikhlas, dan memiliki jiwa tolong menolong dengan orang lain? Golongan orang-orang ini, biasanya, meski cerdas akal, tapi miskin hati. Suka dengan perilaku pura-pura buta dan tuli atas kondisi yang terjadi, menyangkut dirinya.
Tidak akan pernah sadar dan menyadari bahwa
Sungguh ketika seseorang berbuat baik pada diri kita, maka ia telah mengorbankan apa yang ada pada dirinya untuk kita apakah berupa tenaga, pikiran, harta, perasaan, waktu, dll.
Oleh karenanya, seseorang tersebut yang mencurahkan semuanya itu untuk diri kita atau untuk apa yang kita sukai dengan hati yang tulus, maka orang tersebut berhak dibalas kebaikannya, disyukuri pemberiannya, bantuannya, pertolongannya.
Dalam keluarga atau masyarakat, biasanya, orang-orang dekatnya, tetangganya, atau yang mengenalnya, akan tahu betul perangai berbuat baik seseorang yang dasarnya rida, ikhlas, dan jiwa penolong, bukan drama, riya, atau ada udang di balik batu.
Berterima kasih atas pemberian orang lain, bukan saja kepada orang yang telah membantu dan memudahkan kita dalam berbagai perkara, adalah perangai terpuji. Menandakan kita sebagai orang yang kaya pikiran dan kaya hati, meski tidak kaya harta, kedudukan, dan jabatan. Menandakan kita tergolong orang yang rida, ikhlas, dan tahu tolong-menolong.
Allah SWT, berfirman (artinya):
"Tidak ada balasan kebaikan kecuali kebaikan (pula)." (Ar-Rahman: 60)
" Apabila kamu diberi penghormatan dengan sesuatu penghormatan, maka balaslah penghormatan itu dengan yang lebih baik dari padanya, atau balaslah penghormatan itu (dengan yang serupa). Sesungguhnya Allah memperhitungkan segala sesuatu. (An-nisa : 86)
" Dan jika kamu memberikan balasan, maka balaslah dengan balasan yang sama dengan siksaan yang ditimpakan kepadamu. Akan tetapi jika kamu bersabar, sesungguhnya itulah yang lebih baik bagi orang-orang yang sabar. (An-Nahl : 126)
Sesuai HR. Al-Bukhari, Rasulullah bersabda:
"Barangsiapa diperlakukan baik (oleh orang), hendaknya ia membalasnya. Apabila ia tidak mendapatkan sesuatu untuk membalasnya, hendaknya ia memujinya. Jika ia memujinya, maka ia telah berterima kasih kepadanya; namun jika menyembunyikannya, berarti ia telah mengingkarinya."
"Tangan yang di atas (pemberi) lebih baik daripada tangan yang di bawah (penerima pemberian)."
Semoga, saya, kita, termasuk dalam golongan orang-orang yang rida, ikhlas, suka menolong semampunya karena selalu bersyukur dengan kondisi dan keadaan perkara duniawi, sehingga menjadi orang yang pandai bersyukur, tahu berterima kasih, pandai membalas budi, seperti rida, keikhlasan, rahmat, ampunan, dan pertolongan Allah kepada umat manusia.
Dijauhkan dari sikap lupa diri, merendahkan diri karena melanggar etika dan moral. Tidak takut kehilangan yang bukan milik. Sadar selalu dekat dengan kematian dan betapa beratnya memikul dan menjalankan amanah.