Mari Mengenal 3 Tradisi Unik Masyarakat Sulawesi Tenggara Menjelang Bulan Ramadhan
Identitas Indonesia dan dunia islam adalah satu perkawinan budaya agama dan budaya lokal yang telah menjadi satu. Hal ini sangat nampak terlihat dari bagaimana budaya-budaya Indonesia yang berubah dari dinamisime dan animisme ke arah semangat ajaran islam.
Kebiasan-kebiasan mempercayai arwah, patung, pohon dan lain sebagainya telah berubah seiring masuknya ajaran islam ke nusantara. Jadi sangat wajar bila ada begitu banyak tradisi budaya Indonesia dan semnagat ajaran Islam yang telah menjadi kultur yang satu. Contohnya nyatanya adalah tradisi menjelang Bulan Ramadhan.
Bulan suci Ramadhan adalah bulan yang selalu dinanti-nantikan masyrakat muslim. Sebagai bulan suci yang penuh berkah dan pahala, Bulan Ramdhan adalah bulan yang sangat baik untuk menaikkan puasa beserta doa dan harapan. Wajar bila, sangat banyak masyarakat muslim yang sangat senang menyambut datangnya bulan mulia ini, termasuk masyarakat yang berada dikampung saya, Sulawesi Tenggara.
Provinsi Sulawesi Tenggara adalah daerah yang memiliki beragam suku dan budaya. Ada suku Tolaki, Muna, Buton, Wanci dan Masyrakat Bajo. Suku-suku asli ini mendiami beberapa wilayah daratan dan kepulauan.
Keragaman ini membawa Sulawesi Tenggara pada kekayaan budaya dan tradisi, khususnya Tradisi menjelang Ramadhan. Oleh karena itu, saya akan menuliskan beberapa pengalaman tentang tradisi masyrakat Sulawesi Tenggara dalam menyambut Bulan Suci Ramadhan.
1. Mobasa-basa
Tradisi Mobasa-basa adalah tradisi milik suku tolaki yang mendiami daratan Kota Kendari, Konawe dan sebagian daerah Kolaka. Tradisi ini dilakukan oleh para tetua adat, masyarakat dan bersama tokoh agama.
Biasanya dilaksanakan sebelum menjelang 1 Ramadhan sebagai bentuk rasa ucapan syukur kepada Sang Maha Kuasa karena sudah dipertemukan lagi dengan bulan Ampunan dan bulan pahala. Tidak hanya itu, tradisi mobasa-basa juga adalah doa bersama untuk arwah para leluhur, tolak bala atau menyambut hari-hari besar Islam lainnya.
Dulunya doa-doa yang dinaikkan dalam tradisi ini masih sangat kental dan erat dengan mantra-mantra masyrakat adat tolaki. Namun sejak kedatangan islam masuk kekampung-kampung masyarakat Tolaki, mantra-mantra tersebut bertransformasi ke dalam doa-doa islam. Semenjak itulah Mobasa-basa berevolusi menjadi tradisi budaya dan tradisi agama yang melebur kedalam satu keindahan menjelang puasa.
Saya merasakan betul bagaimana masyrakat disana masih memelihara dan mewariskan tradisi ini secara turun temurun. Selain itu, mobasa-basa juga telah membawa dampak silahturahmi, kebahagian dan persatuan yang semakin erat diantara sesama masysrakat yang ada di Sulawesi Tenggara.
2. Tembaha Wula
Tembaha Wula adalah tradisi masyarakat suku Muna yang dilakukan jelang bulan Ramadhan. Masyarakat Suku Muna yang mendiami Pulau Muna dan anak-anak pulau Muna telah menjadikannya wrisan turun temurun yang dilakukan generasi demi generasi.
Berangkat dari mana katanya, Tembaha Wula berati menaikkan doa. Doa yang dinaikkan biasanya adalh doa ucapan syukur kepada Sang Maha Kuasa karena telah dipertemukan lagi dengan bulan yang penuh berkah dan magfirah melalui ritual Tembaha Wula.
Ketika saya masih menjadi mahasiswa dan melaksanakan Kuliah Kerja Nyata (KKN) yang berlokasi di Kabupaten Muna, saya beruntung bisa melihat tradisi ini digelar oleh masyarakat disana. Tradisi ini dimulai dengan membacakan ayat-ayat suci alquran oleh Imam Masjid atau yang sering disebut Modji. Mereka membentuk lingkaran dan terus-menerus membaca ayat al-quran dan ditutup doa bersama.
Ditengah-tengah lingkaran itu, tersedia tudung yang dibungkus dengan kain putih. Dalam tudung tersebut, tersedia makanan-makanan khas daerah suku muna yang nantinya siap disantap bersama-sama setelah doa selesai. Kata salah seorang kepala adat didesa tempatku KKN dulu, tradisi Tembaha Wula telah sejak dulu dilaksanakan sejak ajaran islam mendarat dikepulauan Muna.
3. Tradisi Haroa
Sama dengan tradisi mobasa-basa dari Suku Tolaki dan Tradisi Tembaha Wula dari tradisi suku Muna, Tradisi Haroa adalah salah satu ucapan syukur yang dilakukan oleh masyarakat Suku Buton jelang bulan ramadhan. Bagi masyarakat setempat, Haroa adalah tradisi yang sudah terpelihara sejak dulu kala dan diwarisi turun-temurun.
Selain sebagai doa rutin yang dilakukan sebelum awal puasa, biasanya tradisi ini dilakukan untuk keluarga yang sudah meninggal, meminta rejeki, umur panjang dan lainnya. Tradisi Haroa dipimpin oleh seorang tokoh agama atau imam masjid yang disebut Lebe.
Haroa memiliki jenis berdasarkan bulan terjadinya suatu hari raya. Malona Bangua adalah Haroa yang dilakukan untuk menyambut hari besar islam, misalnya malam pertama Ramadhan dan Qunua adalah Haroa khusus yang dilakukan ketika memasuki hari ke 15 puasa dengan melaksanakannya dimasjid setenpat menjelang sahur.
Selain itu, keunikan lain dari Haroa adalah terletak pada makanan yang disajikan setelah doa telah selesai dibacakan. Makanan yang akan disajikan diatas talang biasanya mesti dihitung terlebih dahulu jumlahnya. Makanan yang berjumlah ganjil berarti haroa yang dilakukan untuk bulan baik, seperti Bulan Ramadhan, Idul Fitri dan Maulid. Sedangkan makanan yang berjumlah genap menunjukan Haroa yan dilakukan pada bulan yang kurang baik, seperti pada Haroa orang yang telah tiada.
Dalam talang yang digunakan sebagai wadah untuk menyajikan makanan yang akan dimakan oleh para umat yang telah berdoa biasanya tersedia nasi, ikan telur, kue, dan aneka makanan lokal seperti Sanggara (pisang goreng), baruasa, lapa-lapa, onde-onde, ngkaowi-owi (ubi goreng), dan waje. Selain rutin dilakukan sebagai ritual keagamaan bagi masyrakat Buton, Haroa juga diyakini dapat memupuk semngat kebersamaan dan tali persatuan diantara sesama umat muslim yang ada di Pulau Buton.
Itulah 3 tradisi unik yang umumnya sering dilakukan oleh masyrakat Sulawesi Tenggara. Sebagai generasi muda kita wajib untuk merawat dan memelihara tradisi keagaman yang telah diturunkan oleh nenek moyang. Demikian cerita singkat saya yang bertemakan Tradisi Jelang Ramadhan yang ada di daerah Sulawesi Tenggara.