Ibu rumah tangga, yang roastery coffee dan suka menulis feature, juga jalan-jalan
Fiksi | Bang Hilal Sudah Datang Mak
"Hari ini kutraktir makan di sana, mau?"
Mie ayam legendaris yang dia tahu favorit ku yang susah menelan nasi menjadi tawaran menarik. Kusetujui tawarannya dengan mengganggukkan kepala.
Aku terkadang tanpa sadar memandangi punggungnya yang atletis 180 sentimeter, sebagai pemain band dan pemain basket. Kusadari sebagai perempuan bertampang standar, tanpa dandan, sementara kampus ekonomi dan pertanian di sebelah kami berseliweran gadis-gadis wangi nan ayu penuh dandan.
Sementara ia betah bersama ku. Mahasiswi teknik dengan jeans robek di kulit, bersepatu kets biru lusuh sewarna dengan celana belel, tas kanvas jahitan sendiri, memegang banyak diktat dan buku seni dan budaya yang tidak ada hubungannya dengan sekolah teknik. Rambut dikuncir asal sebahu, dengan kemeja kotak-kotak. Jauh dari dandan cantik di balik minus kacamata 2.5 kala itu.
Mall bukan jadi tempat favorit ku meski saat itu sudah ada mall dan plaza. Ia sering menemukanku sedang asyik di Taman Dari, atau di pengrajin batik yang saat waktu luang kupelajari batik dan kerajinan di sebuah cerita terpencil di Ngasem. Atau aku belajar ke Desa Kasongan untuk membuat keramik. Waktu luang di sela kuliah kupakai mencari celah lain untuk mencari uang. Saat itu uang saku yang kukantongi lebih dari cukup Rp 250.000,- untuk kantong mahasiswa lebih dari cukup rasanya. Kusisihkan mengambil kursus desain grafis yang saat itu.
Aku jarang menemani Bang Hilal nge-band atau main basket. Justru ia yang sering menemani latihan renang anak-anak di IKIP Yogya (sekarang Universitas Negeri Yogyakarta). Bang Hilal tahu, bahwa aku pelatih renang pemula.
Semakin hari ketertarikan padaku, membuatnya terikat mengantar dan menjemputku kuliah. Padahal ia paham bahwa awal pertemanan selalu kutolak. Ia sering melihatku enggan naik bis, tapi jalan kaki keluar masuk jalan tikus sekalian latihan jalan alasanku.
"Sehari kamu jalan kaki, latihan lari dan renang cukup jauh Non."
Aku cuma terkekeh, sebab ia tidak pernah kuceritakan latihan ketiga olahraga itu setiap hari saat masih di dekat bapak. Awalnya cuma untuk menghindari asthma, tapi jadi candu.
Rupanya Bang Hilal lambat laun tidak melepasku, terang-terangan ia mengungkapkan keseriusannya yang tidak pernah kutanggapi serius. Dan dengan keyakinan juga bahwa aku menyukainya.
Setiap mudik ke Palembang ia selalu was-was aku tidak kembali ke Yogya. Dan sudah pasti ia rutin menelpon supaya aku pulang. Setelah ia bekerja di perusahaan elektronik dan Nyambi main musik di hotel-hotel semakin berani ia mengikatku lebih erat.