Rakha Stevhira
Rakha Stevhira Penulis

Peminat kajian sufistik dan pemikiran islam

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

Tingkatan Amal Perbuatan

27 Maret 2024   20:15 Diperbarui: 27 Maret 2024   20:28 237
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ketahuilah bahwa hati yang menggerakan tubuh, jika hatinya kotor maka sebagai cerminannya tubuh pun akan ikut kotor. Yang dilakukan adalah semacam ini, bukan dengan sebaliknya.

Tingkatan amal perbuatan seseorang tergantung tingkatan kualitas spirtualitasnya. Tentu kita setuju bahwa kualitas spiritualitas kita masing-masing berbeda, karena sumber yang kita sepakati yang bernama hati ini akan selalu condong kesana atau kemari. Itu sebabnya dalam bahasa arab hati ini bernama qalb diambil dari kata qalaba yang berarti terbalik, yang darinya dimaknai bahwa hati sangat mudah untuk terbolak-balik.

Kadangkala jika hati kita sedang baik maka kondisi spitual pun ikut membaik, dan jika tidak maka sebaliknya. Yang kemudian kondisi inilah yang dinamakan ahwal oleh para kalangan praktisi tasawuf.

Ahwal ini tidak bersifat diam, melainkan bersifat temporer yaitu berubah-ubah. Hal tersebut dapat terjadi sebab kondisi hati kita yang masih sangat mudah terombang-ambing. Maka dari keadaan yang tidak menentu ini menyebabkan terdapat jenis kualitas amal perbuatan sesuai dengan bagaimana kondisi ahwal seseorang.

Seperti contoh ketika kita dalam mencintai seseorang dalam konteks rumah tangga. Dalam hal kita mencintai pastilah yang berperan memberikan rasa cinta tersebut adalah hati. Hati ini terkadang dapat berubah dan goyah ketika berhadapan dengan sesuatu yang kadangkala sering menjadikan kita lupa diri.

Dari hati yang goyah ini maka akan berdampak pada bagaimana kita men-treat pasangan kita. Yang awalnya sering memberikan kabar saat berada di luar rumah tiba-tiba menjadi hening dan sering menghilang. Begitulah manusia. Cerminan atas apa yang dia perbuat adalah cerminan bagaimana keadaan hatinya.

Kembali pada konteks tasawuf. Para sufi memberi nama dari pembagian ahwal yang berbeda-beda ini sesuai dengan tingkatannya. Seperti yang dikatakan oleh Ibnu Ajibah bahwa seseorang yang masih selalu bergantung pada yang dzahir seperti pekerjaan, amal perbuatan dikategorikan sebagai 'abid atau hamba.

Kelompok tersebut menjadi kelompok mayoritas manusia, maka diawal hikam ini Ibnu athaillah mencoba mengajak kita untuk naik kepada tingkatan ahwal yang lebih satu level diatasnya dengan tidak menggantungkan segala sesuatu terhadap amal perbuatan atas hasil akhir yang sedang kita tuju.

Satu level diatasnya dinamakan sebagai wara' yaitu saat kita sebagai manusia ada kecondongan untuk dapat meninggalkan ketergantungan kita atas amal perbuatan ini. Bagaimana dengan jumlahnya? Masih terhitung sedikit karena pada kenyataannya untuk bagaimana kita meninggalkan ketergantungan ini sangatlah sulit.

Mengapa terjadi demikian? karena manusia adalah makhluk sosial yang selalu terhubung oleh hukum realitas yaitu sebab akibat. Dimana selalu dipatrikan bahwa jika kamu berusaha maka kamu akan berhasil. Padahal pada faktanya semua tidak selalu berjalan sesuai dengan kata-kata tersebut (saya pikir ulasan mendalam mengenai ini sudah ada dibagian sebelumnya).

Naik pada tingkatan selanjutnya yaitu dimana sikapnya bukan berupa sebuah kecondongan lagi, tetapi sudah benar-benar meninggalkan ketergantungan tersebut. Maka dampak pada kondisi ini adalah dimana tidak ada lagi perbuatan manusianya, perbuatannya sudah melebur dengan kehendak Tuhan. Dengan kata lain keadannya hanya bergantung pada Tuhan dengan tidak membawa sedikit pun sifat duniawinya. Pada tahap ini sering ditandai dengan menjauhnya seseorang terhadap dunia, karena baginya dunia adalah suatu kemewahan. Kondisi ini dinamakan dengan zuhud, yang mana pada kelompok ini jumlahnya masih benar-benar sangat sedikit.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun