Waspada terhadap Popularitasmu!
"ادْفِنْ وُجودَكَ في أَرْضَ الخُمولِ ، فَما نَبَتَ مِمّا لَمْ يُدْفَنْ لاَ يَتِمُّ نِتَاجُهُ"
"Tanamkanlah wujudmu di dalam bumi ketidakterkenalan, karena sesuatu yang tumbuh dari apa yang tidak ditanam, maka hasilnya tidak akan sempurna"
Dunia bergerak, teknologi semakin maju, dan itu adalah sebuah keniscayaan. Semakin berubahnya dunia semakin menjadikan pola bermasyarakat kita juga berubah. Kondisi tersebut mengharuskan kita untuk merubah paradigma dalam berkomunikasi. Dengan cara pandang yang berubah maka permasalahan-permasalahan baru pun ikut tercipta, penyakit baru sosial.
Hal itu tidak bisa kita cegah tapi bisa kita waspadai. Era digital menjadi penanda baru bahwa kita akan lebih banyak hidup lewat percakapan dunia maya, dibanding dunia nyata. Jangankan dengan teman, terkadang komunikasi dengan keluarga pun lebih banyak dihabiskan lewat media sosial.
Dengan kondisi yang semakin berkembang terjadi sebuah goncangan dalam struktur alam bawah sadar manusia, bahwa tidak lengkap rasanya hidup di dunia seperti saat ini tanpa adanya suatu pekerjaan yang kita tunjukan kepada orang-orang melalui media sosial bahwa kita sedang apa, dimana dan dalam kondisi seperti apa.
Semakin menarik ketika ternyata apa yang kita bagikan mengundang antusias banyak orang. Baik dari kalangan yang mengenal kita ataupun yang tidak. Maka yang terjadi dalam setiap apa yang kita lakukan akhirnya kita terlalu haus akan perhatian dan simpati untuk memvalidasi seluruh apa yang sudah kita kerjakan. Ini yang perlu kita waspadai, karena akan menyebabkan apa yang kita kerjakan jauh dari definisi ikhlas yang sudah kita bahas sebelumnya.
Dalam hikam bagian ini kita akan membahas rumus jitu yang disarankan oleh Ibnu Atha'illah bagi siapapun yang ingin mewujudkan keikhlasan pada setiap apa yang dikerjakan. Pada bagian lalu kita sudah sama-sama mengetahui bahwa definisi Ikhlas bagi para praktisi tasawuf setidaknya berkutat pada kalimat "ikhrajul khalq min mu'amalati al-haq" yaitu bagaimana kita bisa menghilang sesuatu yang bersifat sementara atau manusia dari setiap perbuatan yang sedang kita persembahkan kepada Tuhan. Bukankah setiap apa yang kita kerjakan adalah sebagai persembahan untuk Tuhan?
Kita mengenal bahwa konsep ibadah tidak hanya berkutat pada seputar suatu ritual tertentu atau dalam konsep fiqh kita mengenalnya sebagai 'ibadah al-mahdhah. Konsep ibadah yang kita pahami adalah sangat luas karena meliputi segala aspek kegiatan kita sehari-hari. Maka dari itu semua perbuatan kita dalam konteks islam adalah bernilai ibadah, apapun perbuatan kita, dari yang bersifat privat maupun publik.
Terdapat satu kata menarik yang perlu disoroti dalam hikam ini, yaitu khummul. Ibnu 'Ajibah mendefinisikan kata khummul ini dengan sebuah kalimat suquth al mazilah 'inda an nas yaitu ketika kita membenamkan diri pada suatu keadaan dimana orang-orang tidak bisa melihat ataupun mengenali kita.
Dari sini kita mengetahui bahwa yang perlu diwaspadai adalah perbuatan kita di ruang publik, walaupun pada kenyataan godaan berbuat maksiat di ruang privat juga besar, tetapi yang ingin dikritik oleh Ibnu Atha'illah adalah bagaimana kita bergerak di keramaian dapat menimbulkan sesuatu yang menghasilkan dampak negatif bagi diri kita khususnya maupun bagi orang lain secara umum.