Rakha Stevhira
Rakha Stevhira Penulis

Peminat kajian sufistik dan pemikiran islam

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

Menjaga Cermin Hati (Kontemplasi 1)

4 April 2024   20:15 Diperbarui: 4 April 2024   21:26 576
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Menjaga Cermin Hati (Kontemplasi 1)
sindonews

"كَيْفَ يُشْرِقُ قَلْبٌ صُوَرُ الأَكْوَانِ مُنْطَبِعَةٌ فِى مِرْآَتِهِ ؟"

"Bagaimana mungkin hati akan bersinar, sedangkan cerminnya dikotori oleh gambar-gambar yang bersifat materi"

Pada bagian puncak ini akan terbagi menjadi 3 kontemplasi yang pada intinya adalah bagaimana kita untuk dapat bisa mencapai syuhud atau menghadirkan Tuhan secara batin di hati kita. Maka untuk penjelasannya tidak akan terlalu banyak mengaitkan dengan konteks kekinian, karena fase ini benar-benar murni untuk para salik yang sudah menjalani fase sebelumnya dan kemudian ingin melanjutkan perjalan batinnya menuju Tuhan.

Kita sering mendengar bahwa Tuhan adalah entitas yang transenden, terlebih pada madzhab akidah kita asy'ari, yaitu konsep tanzih  dimana Tuhan adalah entitas yang tidak ada yang serupa dengan-Nya, secara wujud, tempat dan waktu. Lantas bagaimana maksud dari perkataan "menempatkan Tuhan di hati?" sedangkan Tuhan tidak bertempat?

Sebelum menjawabnya, alangkah baiknya kita meniti dari keadaan yang paling awal ketika ingin menghadirkan Tuhan di hati kita, yaitu dengan membuat hati kita terhindar dari hal-hal selain Tuhan.

Seperti yang sudah disinggung pada hikam bagian yang lalu mengenai posisi hati yang menjadi raja yang merajai anggota tubuh kita. Perbuatan dan perilaku kita adalah cerminanan dari bagaimana keadaan hati kita. Jika hati kita baik, maka baik pula segala pekerjaan dan perbuatan kita dan jika buruk maka sebaliknya. Lantas bagaimana agar menstabilkan kondisi hati ini yang pada faktanya sudah kita ketahui bersama bahwa hati mudah sekali untuk terombang-ambing?

Ketahuilah bahwa hati menyerupai kaca, kebersihan atau kekotorannya tergantung dengan apa yang ada dihadapannya. Ibnu 'Ajibah mengatakan hati layaknya cermin yang dimana dia hanya akan menerima satu sudutpandang yaitu tergantung objek apa yang ada dihadapannya. Jika yang ada dihadapannya adalah hal baik, maka yang akan terpancarkan adalah kebaikan dan jika tidak maka sebaliknya. Begitupun jika yang ada dihadapannya adalah hal yang fana maka entitas yang suci dari sesuatu yang bersifat temporer tidak akan bisa bersemayam disana.

Pada hikam bagian ini Ibnu 'Atha'illah ingin mencoba mempersiapkan kita pada fase puncak. Fase dimana agar kita benar-benar bisa merasakan kehadiran Tuhan secara batin. Tetapi secara metode perlulah ada perantara untuk dapat mencapainya. Perantara tersebut adalah hati.

Maka beliau ber-dawuh bagaimana seseorang hatinya dapat memancarkan pancaran sinar Tuhan sedangkan dia masih menghiasi dan mengisi hatinya dengan hal-hal fana atau duniawi. Seperti yang sudah dijelaskan bahwa hati menurut beliau bagaikan kaca yang hanya dapat fokus pada satu objek dihadapannya, tidak bisa dua bahkan lebih. Maka suatu hal yang mutlak jika hati ingin memancarkan sinar dari pancaran Tuhan yang perlu dilakukan adalah menghilang segala sesuatu dari hati kita selain hal-hal yang membuat kita tidak fokus kepada Tuhan.

Bahkan para ulama-ulama yang sudah mencapai derajat 'arif  mereka mengkategorikan situasi dimana ketika mereka hanya tersirat dihatinya saja sesuatu selain Tuhan maka itu adalah bentuk kelalaian dan dosa. Itu hanya tersirat, tidak sampai memikirkannya atau bahkan menginginkannya. Begitu sangat ketatnya mereka mendidikan hatinya gara selalu fokus pada satu hal saja yaitu Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun