Cerpen | Jelang Ramadan, Comblang, dan Isteri Teroris
"Oh, begitu ya? Rumah sudah bersih, siap menerima tamu agung. Tapi persiapan shaum bagaimana? Apakah kondisi fisik sehat, hati bersih, dan target ibadah-amaliah sudah tersusun rapi?"
"Nah, itulah persoalannya, Mas. Kalau sudah ketemu dengan Wak Ja'far semua renana bisa buyar. Makan sahur terlambat, tarawih tidak khusuk. Dan siang habis untuk tidur. Catur ternya dapat juga menjadi racun ya. . . !"
"Apa saja yang melalaikan orang untuk beribadah dan beramaliah itu setan, racun, zombie, atau apapun sebutan lainnya. Jauhi. Minimal selama bulan Ramadan. . . .!" ucap Bu Tini yang sudah membawa cangkir dengan kopi susu kesukaan Lik Sumar.
"Memang minggu pertama Ramadan depan Wak Ja'far mau pulang ke seberang. Sampai Lebaran. Mudah-mudahan shaumku kali ini lebih baik. . . .!" jawab Lik Sumar sambil membayangkan bakal melewatkan banyak malam tanpa buah catur.
"Aamiin. Minumlah kopimu. Ini siang terakhir kita minum kopi. Besok dan seterusnya siang-siang begini hidung tidak boleh sampai terendus aroma kopi. Bisa batal. . . hehe!" komentar Mas Bejo. "Eh, ngomong-ngomong ada perlu apa, Lik Sumar? Agaknya penting?"
Lik Sumar menunggu Bu Tini kembali ke dapur, sebelum ia berbisik: "Kalau aku melamar Mbak Murwo kira-kira diterima nggak, Mas? Tolong comblangi aku untuk memastikan mau tidaknya. . .!"
Mas Bejo tersenyum, dan ganti berbisik. "Kalau soal comblang-mencomblang, ini urusan perempuan. Nanti kubilang ke Bu Tini ya. Kalau kamu bersungguh-sungguh, dan mudah-mudahan berhasil. . .!"
"Mudah-mudahan. . . .!" jawab Lik Sumar. Lalu buru-buru menghabiskan kopinya, dan pamit. "Tolong dirahasiakan dari siapapun, Mas. Terutama dari Wak Ja'far.kalau ia tahu rencanaku bisa-bisa ia mendahului. Dan pasti aku kalah. Ia lebih keen dan banyak uang. Tidak mungkin kulawan. . . !"
"Siap, Komandan. . . .!" sahut Mas Bejo dengan berbisik pula.
Lalu keduanya terkekeh berbareng, diakhiri dengan jabat tangan. Mas Bejo membatin, bahkan urusan cinta pun Ketua RT harus dilibatkan.
*