"Ramadan SocFEST", Ngaji Sosiologi, Perkuat Toleransi
Ngaji selama Ramadan tidak melulu tentang duduk bersilah lalu membaca kitab. Berada di pelataran ruang publik sambil ngabuburit membahas wacana sosiologi juga menjadi aktivitas menarik di bulan suci.
Seperti sore kemarin (25/05) tepatnya di pelataran Benteng Orange, Ternate berbagai kalangan berkumpul mengikuti Ngaji sosiologi bertajuk bacarita (bincang-bincang, red) Politik Kebudayaan. Pemateri yang dihadirkan adalah Murid Toniro, Herman Oesman, H. Husen Sjah (Sultan Tidore), Aziz Hasyim dan Sofyan Daud.
Bacarita seputar sosiologi merupakan rangkaian acara SocFEST (Sosiology Festival) atau Festival sosiologi. Kegiatan ini diinisiasi Himpunan Mahasiswa Jurusan Sosiologi Fakultas Sosial dan Ilmu Politik Universitas Muhammadiyah Maluku Utara. SocFEST bisa dimasukkan ke dalam list ngabuburit pekan ini khususnya bagi masyarakat kota Ternate. Mengingat kegiatan ini berlangsung dari 25 sampai 27 Mei 2018.
Bacarita Politik kebudayaan semacam menjadi oase di tengah isu intoleransi dan pelbagai problematika sosial masyarakat yang kian hari kian menyeruak.
Bacarita dimulai pada pukul 16.30 WIT. Herman Oesman menjelaskan bahwa SocFEST menjadi wadah untuk belajar dan membagi pengalaman. Revolusi industri 4.0 dan era Internet of Things (IoT) menjadi tantangan sekaligus ancaman bagi masyarakat dewasa ini begitu ungkap Penulis Buku Ruang Kata Ruang Kita. Selanjutnya ditambahkan bahwa IoT harusnya menjadikan kita (masyarakat secara kolektif) untuk tetap santun dalam bertindak, terlebih pada penggunaan media sosial.
Ketersediaan broadband internet yang semakin meningkat juga didukung biaya koneksi yang semakin murah, begitu juga harga alat pengembangan teknologi menjadikan IoT sempurna untuk digunakan. Di tengah kemudahan IoT masyarakat dituntut cerdas dalam penggunaannya. Tidak boleh menebar ujaran kebencian, hoax atau membagikan content yang berbau SARA dan Terorisme. Hal ini tidak terlepas dari bagaimana kita sebagai masyarakat menempatkan diri dalam melakukan tindakan sosial. Perlu berpikir matang sebelum klik tombol like and share.
Pemaparan yang menarik dari pemateri sontak menghilangkan dahaga yang terasa seharian penuh. Suplemen-suplemen ilmu tentang politik kebudayaan semakin memberikan pencerahan kepada kita akan bagaimana menjadi masyarakat yang melek politik kebudayaan.
Matahari semakin condong ke barat. Tak lama lagi waktu berbuka akan tiba tetapi pengunjung SocFEST yang terdiri dari mahasiswa hingga masyarakat umum ini masih tetap antusias. Mereka mengamati dengan baik pemaparan dari Murid Toniro, Sultan Tidore, Sofyan Daud dan Aziz Hasyim.
Kebudayaan Moluku Kie Raha merupakan aset bagi masyarakat Maluku Utara. Murid Toniro dalam bacarita lebih menekankan pada pemahaman kita (masyarakat, red) terhadap Politik Kebudayaan itu sendiri. Beliau menegaskan bahwa politik kebudayaan adalah tentang menggunakan kebudayaan secara politik untuk kepentingan bersama. Budaya yang mana? Yaitu budaya Maluku Utara.
Dipertegas oleh Sofyan Daud bahwasanya kita seharusnya tidak terjebak dalam "Politik Kebudayaan", hati-hati menafsirkannya pada budaya politik karena sebenarnya adalah politik kebudayaan. Ataupun jangan sampai terjerambab pada politisasi kebudayaan. Sehingga, politik kebudayaan menurut Sofyan Daud merupakan bagaimana cara kita menggunakan upaya-upaya kebudayaan untuk meretas masa depan.