Sultani
Sultani Freelancer

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Ramadan dan Ketegangan Politik, Meredam Konflik dengan Puasa

4 Maret 2024   20:33 Diperbarui: 12 Maret 2024   14:11 1175
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ramadan dan Ketegangan Politik, Meredam Konflik dengan Puasa
Sumber: lampung.nu.or.id

Kurang lebih sepekan lagi umat Islam di seluruh dunia ini menyambut datangnya bulan suci Ramadan, bulan yang dimuliakan oleh Tuhan dengan limpahan berkah, ampunan, dan pembebasan dari siksa api neraka. Ramadan selalu diagung-agungkan oleh umat Islam sebagai bulan yang suci karena di dalamnya terdapat ibadah puasa sebagai amalan utama yang diyakini sebagai metode untuk membersihkan diri dari perbuatan dosa. Salah satu keutamaan dari puasa tersebut adalah meatih diri untuk menahan atau mengendalikan diri dari amarah dari terbitnya fajar hingga Maghrib tiba.

Umat Islam di Indonesia sudah memiliki tradisi tersendiri untuk menyambut kedatangan bulan yang paling dinantikan ini. Ramadhan tahun ini memang "agak laen" karena kita akan memasukinya sambil membawa ketegangan politik yang belum mereda. Ketegangan politik yang berlarut-larut selama bulan Ramadan berpotensi untuk menghambat terjadinya rekonsiliasi, yang menjadi tujuan utama dari ibadah puasa. Tensi konflik yang terus memanas membuat ketegangan sulit reda, sehingga menyulitkan terjadinya dialog dan perdamaian.  

Sumber: Kompas.com
Sumber: Kompas.com

Pasca-Pemilihan Presiden dan Pemilu 2024, pihak-pihak yang bersaing masih terbelah secara mendalam sehingga memicu ketegangan politik di antara pendukung kandidat. Perbedaan pilihan politik memicu emosi yang kuat dan menciptakan celah yang sulit untuk dipulihkan. Celah ini meninggalkan konflik terpendam sehingga menciptakan atmosfer tegang di antara keluarga, teman, dan komunitas, bahkan di lingkungan kerja dan tempat ibadah. Sentimen politik yang memanas ini memengaruhi interaksi sehari-hari, bahkan berpotensi memicu perselisihan dan ketegangan yang lebih besar.

Kemarahan dan dendam bisa menghalangi kita untuk merasakan kedamaian dan kebersamaan yang seharusnya dirasakan di bulan suci ini. Konflik politik justru menciptakan ketegangan di antara keluarga dan sesama Muslim. Dalam suasana politik yang masih diwarnai ketegangan tersebut, kita perlu mewaspadai bahaya konflik terpendam yang dapat merusak kesucian Ramadhan.

Konflik Terpendam

Konflik terpendam yang muncul dari ketegangan politik di Indonesia pasca Pemilihan Presiden dan Pemilu 2024 dapat bermacam-macam bentuknya. Perbedaan sikap antarpendukung capres terhadap hasil pemilihan presiden yang masih berlangsung hingga sekarang sudah mulai menampakkan tanda-tanda perpecahan akibat konflik terpendam setelah pilpres dan pemilu. Reaksi pendukung Anies -- Muhaimin dan Ganjar -- Mahfud yang tetap menolak hasil pilpres dengan aksi unjuk rasa menunjukkan sikap benci terhadap kandidat pemenang dan pendukungnya. Selain itu, mereka juga ingin mendiskreditkan pemenang pilpres dan hasil pilpres dengan tuduhan curang.

Penolakan pendukung capres yang kalah menunjukkan ketidakpuasan terhadap penyelenggaraan pemilihan, hasil pemilihan, dan pemenang pemilihan yang diduga curang, sebagai bentuk ketidakadilan penguasa dalam proses pemilihan. Ketidakpuasan dari sebagian masyarakat ini mencerminkan adanya konflik terpendam yang bisa berkembang menjadi konflik terbuka jika tidak ditangani dengan baik oleh pemerintah dan institusi terkait.

demo-oknewscom-65e5d899c57afb1fd503e692.png
demo-oknewscom-65e5d899c57afb1fd503e692.png

                                                                                                                 Sumber: Okezone.com

Di tingkat elite politik sendiri terjadi ketegangan politik yang tinggi melalui konflik antara pemerintah dengan oposisi. Perbedaan pendapat dalam kebijakan publik dan pandangan politik dapat memperburuk hubungan antara kedua pihak dan berpotensi memicu konfrontasi. Salah satu bentuk konflik terpendam antara pemerintah dengan oposisi adalah beredarnya wacana penggunaan hak angket oleh kubu oposisi untuk menyelidiki praktik kecurangan pemilu yang diduga melibatkan pemerintah.

Konflik terpendam lainnya yang berkaitan dengan pemilu adalah konflik antara kelompok-kelompok etnis, agama, atau ideologi sebagai ekses dari ekploitasi politik identitas dalam pemilihan presiden. Ketegangan politik yang tinggi bisa memperkuat perpecahan berbasis SARA (suku, agama, ras, dan antargolongan) yang pada gilirannya bisa menyebabkan konflik di antara mereka.

Pemerintah, partai politik, masyarakat sipil, dan warga masyarakat harus bisa mengelola konflik terpendam sebagai komitmen untuk menegakkan perdamaian setelah pemilu. Pendekatan yang inklusif, dialog terbuka, dan penegakan hukum yang adil dapat membantu mencegah eskalasi konflik dan mempromosikan rekonsiliasi di tengah ketegangan politik pasca-pemilu.

Ketegangan politik yang berlarut-larut selama bulan Ramadan memiliki potensi untuk menghambat proses rekonsiliasi, yang menjadi tujuan utama dari ibadah puasa. Meskipun puasa sekarang berlangsung di tengah ketegangan politik, kita tetap wajib untuk menjaga kesucian Ramadhan dengan mengutamakan perdamaian, persaudaraan, dan kesatuan sebagai umat Muslim dan sebagai bangsa Indonesia. Bersama-sama, kita jadikan Ramadan tahun ini sebagai momen yang membawa kedamaian dan keberkahan bagi kita semua.

Redam Konflik 

Di tengah gemuruh konflik dan amarah, puasa Ramadan menawarkan sebuah mekanisme yang kuat untuk meredam emosi yang membara. Puasa Ramadan adalah instrumen yang efektif untuk meredam konflik dan konfrontasi yang memicu amarah dan kebencian. Dengan berpuasa, umat Islam diajarkan untuk mengontrol reaksi emosional mereka, sehingga lebih mampu merespons situasi dengan tenang dan penuh pertimbangan.

Puasa Ramadan bukan hanya sekadar menahan lapar dan haus, melainkan juga merupakan sebuah latihan pengendalian diri yang mendalam. Sebagaimana yang diajarkan Islam, puasa menuntut umatnya untuk menahan diri dari segala bentuk nafsu dan emosi negatif, termasuk amarah. Dalil-dalil agama menekankan pentingnya kontrol diri, sehingga seseorang tidak hanya menjadi lebih sabar, tetapi juga lebih bijaksana dalam menanggapi konflik.

Kita peru merangkul nilai-nilai kasih sayang, toleransi, dan pengampunan di tengah situasi politik yang penuh dengan ketegangan. Caranya adalah dengan menahan amarah dan terus memperjuangkan perdamaian. Artinya, Ramadhan dengan ibadah puasanya harus menjadi momentum untuk meredam amarah, memperbaiki hubungan yang retak, dan mencari solusi damai dalam konflik politik yang terjadi di sekeliling kita.

Dalam suasana politik yang tegang, Ramadan memberikan kesempatan kepada kita untuk menenangkan jiwa dan meningkatkan toleransi terhadap perbedaan pandangan politik. Kita masih memiliki kesempatan untuk menjalin kembali kebersamaan dalam suasana yang penuh tantangan ini dalam rangka memperkuat ikatan persaudaraan seluruh anak bangsa, apa pun latar belakang sosialnya.

Sumber: Antaranews.com
Sumber: Antaranews.com

Mari kita sambut Ramadan dengan penuh antusiasme dan kesadaran akan bahaya konflik terpendam meskipun di sekeliling kita terdapat ketegangan politik yang bisa meruntuhkan harmoni dan kerukunan hidup masyarakat. Ramadhan bukan hanya tentang menahan lapar dan haus selama siang hari, tetapi juga tentang introspeksi, toleransi, dan perdamaian. Ramadhan juga menjadi inspirasi bagi kita dalam mengambil langkah-langkah positif menuju rekonsiliasi dan keselarasan, sesuai dengan ajaran dan nilai-nilai luhur yang diajarkan Islam.

Mari gunakan Ramadan sebagai momentum untuk menyucikan hati dan jiwa kita dari segala bentuk kemarahan dan dendam. Marilah kita jadikan bulan suci ini sebagai peluang untuk mempererat hubungan sesama umat, menghargai perbedaan, dan menciptakan kedamaian dalam diri kita sendiri serta di sekitar kita. Mari tegakkan puasa kita untuk meredam konflik terpendam antar-sesama anak bangsa. 

Oleh: Sultani

Depok, 4 Maret 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun