Sultani
Sultani Freelancer

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

Tradisi Ramadan bagi Generasi Z yang "Digital Native"

6 Maret 2024   13:13 Diperbarui: 12 Maret 2024   13:30 1977
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tradisi Ramadan bagi Generasi Z yang "Digital Native"
Sumber: Kompas.id

Sekarang kita melihat tradisi membangunkan warga untuk sahur yang berasal dari beberapa daerah di Indonesia. Masyarakat Cirebon, Jawa Barat menjadikan seni Obrok-obrok sebagai cara untuk mengingatkan datangnya waktu sahur. Kesenian ini selalu muncul pada dini hari selama bulan Ramadan untuk mengawal warga makan sahur. Alat musiknya terdiri dari tambur, rebana, gitar, dan seruling yang mengiringi lagu tarling khas Cirebon dan lagu-lagu islami.

Sumber: Kompaspedia.Kompas.id
Sumber: Kompaspedia.Kompas.id

Di Jawa Timur ada tradisi Patrol atau berkeliling kampung atau melakukan ronda sambil memukul gendang dan bernyanyi. Patrol dilakukan oleh rombongan warga dengan tujuan membangunkan siapa saja yang berpuasa, untuk segera menyiapkan sahur. Tradisi serupa juga ada di Tegal, Jawa Tengah. Namanya Koprekan. Tradisi membangunkan warga untuk sahur ini dilakukan dengan berkeliling kampung sambil memukuli kentungan bambu.

Masyarakat Bungku, Kabupaten Morowali, Sulawesi Tengah juga mempunyai tradisi membangunkan warga yang unik. Namanya Ndengu-ndengu. Sekelompok remaja dan anak-anak memainkan seperangkat alat musik yang terdiri dari gong, ganda otolu---sejenis gong kecil berjumlah tiga, gendang, dan simbal. Mereka bermusik sambil keliling kampung untuk memberi tanda bahwa waktu sahur telah tiba.

Sumber: Kompaspedia.Kompas.id
Sumber: Kompaspedia.Kompas.id

Selanjutnya tradisi menjelang akhir Ramadan yang dikenal sebagai peristiwa nuzulul qur'an dan malam lailatul qadar. Hampir semua daerah di Indonesia memiliki tradisi yang unik untuk menghormati peristiwa paling penting dalam puasa yaitu malam turunnya Al Qur'an dan malam seribu bulan.

Masyarakat Bengkulu punya tradisi khusus untuk menghormati nuzulul qur'an yang jatuh pada malam ke-27 bulan Ramadan. Mereka menyebutnya Nujuhlikur. Tradisi ini dilakukan dengan membakar tempurung kelapa yang disusun berjajar rapi di pekarangan hampir setiap rumah warga. Kegiatan membakar tempurung disebut Marak Lunjuk. Nyala dari bakaran tempurung tersebut menjadi penerang jalan desa di tengah gelapnya malam. Tradisi Nujuhlikur sendiri diperingati dengan berbuka puasa bersama di masjid.

Masyarakat Lombok juga punya tradisi khusus untuk menandai dimulainya malam lailatul qadar atau malam yang kebaikannya melebihi seribu bulan. Warga menyalakan  lampu jojor yang diletakkan di tempat tertentu, seperti dekat wadah menyimpan beras, sudut-sudut rumah, seputar pohon kayu dan bong atau gentong penyimpan air wudhu, air minum dan keperluan mencuci peralatan rumah tangga. Lampu jojor ini berfungsi sebagai penuntun arah ke mana lailatul qadar singgah. Lampu jojor sendiri dibuat dari biji jarak atau biji jamplung yang dikeringkan dan ditumbuk halus kemudian dililitkan pada bilah bambu.

Di Semarang ada tradisi Selikuran yang diadakan pada malam menjelang hari ke-21 Ramadan yang dikenal sebagai malam lailatul qadar. Masyarakat merayakan malam Selikuran di mata air Sendang Senjoyo, tempat yang dianggap suci dan dikeramatkan. Masyarakat setempat percaya bahwa pada malam Selikuran itu Sendang Senjoyo akan mengeluarkan lenga tala atau air suci. Malam Selikuran sendiri merupakan salah satu bentuk akulturasi budaya Islam dengan budaya Jawa atau kejawen yang hidup di masyarakat sekitar Sendang Senjoyo.

Untuk menyambut kemenangan setelah berpuasa sebulan, masyarakat Gorontalo merayakannya dengan tradisi Tumbilotohe, yaitu menyalakan dian atau pelita kecil selama tiga hari menjelang Idul Fitri. Nyala pelita harus dijaga terus selama tiga hari untuk menyambut datangnya hari kemenangan. Dulu, masyarakat memakai pelita berupa kayu damar dan sejenis janur yang disebut daun woka, kalau dibakar mengeluarkan aroma harum. Sekarang, modernisasi telah menggeser pelita menjadi lampu untuk merayakan tradisi Tumbilotohe. Meski demikian, makna perayaan tradisi ini tidak bergeser, karena secara harfiah, Tumbilotohe artinya adalah 'menyalakan penerang'.

Sumber: Kompaspedia.Kompas.id
Sumber: Kompaspedia.Kompas.id

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun