Kreasi Makanan Berbuka Puasa Anak Kos 90-an
Kreasi Makanan Berbuka Puasa Anak Kos 90-an
Oleh: Sultani
Mystery Topic 1 dalam Ramadan Bercerita hari 12 ini benar-benar akan menyingkap sebuah cerita misteri tentang kreasi makanan berbuka anak kos tahun 90-an. Cerita ini akan membuka kembali nostalgia masa-masa kuliah dan hidup Saya sebagai anak kos selama 7 tahun di sebuah kawasan kampus yang berlokasi di kawasan selatan Jakarta. Kisah hidup anak kos di bulan puasa dengan latar kehidupan dekade 90 tentu beda jauh dengan kehidupan anak kos generasi milenial tahun 2000 hingga sekarang.
Saya mulai menjalani kehidupan sebagai anak kos ketika diterima menjadi mahasiswa dari salah satu universitas negeri yang ada di Jakarta, tahun 1991. Kos yang Saya tempati berada di lingkungan masyarakat Betawi, penduduk asli kota Jakarta. Budaya mereka yang terbuka dan ramah terhadap orang luar membuat Saya cepat berbaur dan betah tinggal di situ. Lingkungannya pun masih asri karena di sekitar bangunan kos masih tumbuh pepohonan terutama pohon rambutan dan jambu. Di sekitar lingkungan kos juga masih banyak kebun singkong dengan pohon duren, cempedak, dan tanaman produktif lainnya.
Di lingkungan tempat tinggal Saya banyak sekali bangunan kos yang dibuat khusus untuk menampung mahasiswa dari kampus ini dan beberapa kampus di Jakarta Selatan. Meski demikian, bangunannya belum rapat dan padat seperti sekarang. Saat itu, udara segar dari kebun masih meniupkan angin yang sejuk pada pagi hari. Tanah kosong dan lapangan juga masih luas terbentang.
Bangunan kost di lingkungan ini ada yang berdampingan langsung dengan pemiliknya, ada yang terpisah. Mayoritas bangunan kost di sini dimiliki oleh warga setempat, selebihnya merupakan milik orang-orang dari luar. Hubungn antara mahasiswa penghuni kost dengan penduduk sekitar relatif baik dan akrab. Kalau warga ada hajatan, para penghuni kost juga diundang atau paling tidak dikirimi besek atau berkat ke kamarnya masing-masing.
Selain bangunan kost dan rumah penduduk, bangunan yang penting untuk Saya ceritakan di sini adalah masjid. Selama saya tinggal di situ, tempat ibadah yang paling eksis hanya masjid, meskipun penduduk di situ ada yang non-Muslim. Kalau Saya gambarkan secara imajiner, lingkungan kost Saya dikelilingi oleh masjid dan mushola dari empat arah penjuru angin.
Dengan gambar imajiner tadi, Saya akan hitung jumlahnya dalam radius 2 kilometer dari kost Saya. Dari depan kost ada satu masjid Jami’ yang berafiliasi dengan Muhammadiyah. Dari sisi kiri juga ada masjid Jami’ yang berafiliasi dengan Nahdlatul Ulama (NU). Sementara di belakang dan sisi kanan hanya mushola, tapi letaknya paling dekat dengan kost.
Dengan komposisi letak tersebut bisa dibayangkan, betapa ramenya suasana hari ketika masuh waktu shalat 5 waktu. Suara azan yang keluar dari speaker yang dipasang di menara atau kubah masjid akan mampir ke kuping secara bersamaan dari empat penjuru. Suasana ini akan terdengar syahdu ketika bulan Ramadan. Suara tadarus, murotal, dan azan adalah audio yang menjadi ikon Ramadan di kampung ini.
Ramadan di Kampung
Suasana Ramadan di kampung ini masih didominasi oleh budaya masyarakatnya yang mayoritas adalah orang Betawi. Tradisi berpuasanya sangat kental dipengaruhi oleh afiliasi organisasi keagamaan yang diikuti, yaitu Muhammadiyah dan NU. Kekentalan ini bisa dilihat dari masjid tempat berbuka puasa dan salat tarawe.
Dalam kekentalan tradisi ini satu hal yang membuat mereka tetap sama adalah makanan untuk berbuka puasanya. Baik jamaah yang berafiliasi dengan Muhammadiyah maupun NU kalau berbuka puasa makannya adalah gorengan, lontong, nasi uduk, cendol atau kolak yang merupakan makanan asli orang Betawi.
Kondisi lingkungan yang masih “agraris” membuat puasa di sini serasa di kampung, di mana hidupnya masih dikelilingi oleh lingkungan alam yang hijau dan asri. Di sekitar masjid atau musholah masih banyak kebun dan pepohonan yang subur. Jalan tanah yang becek dan lembab pun masih menjadi tempat yang dilewati masyarakat. Ditambah lagi dengan kondisi saat itu, sepeda motor dan mobil masih jarang yang berseliweran di jalan seperti sekarang.
Cerita Buka Puasa
Buka puasa merupakan momen yang paling ditunggu oleh mahasiswa penghuni kos lantaran suasananya yang menyenangkan. Selain audio penanda yang sudah dihidupkan dari masjid atau musala sekitar satu jam sebelum berbuka, hilir mudik para mahasiswa mencari takjil di pasar takjil atau warung juga menjadi pemandangan khas menjelang buka. Selain itu, kesibukan warga menyediakan makanan berbuka juga terasa sekali dalam bentuk dialog di dalam keluarga. Suasana-suasana seperti inilah membuat Ramadan benar-benar terasa hadir di kampung ini.
Apakah suasana indah Ramadan ini juga hadir dalam hidup Saya? Tentu iya. Karena Saya pernah dikirimi makanan berbuka masakan keluarga pemilik kos, pernah juga belanja takjil di lokasi yang sudah disediakan oleh kelurahan, dan merasakan ketenangan ketika mendengarkan audio penanda Ramadan dari masjid dan musala.
Tidak setiap hari pemilik kos mengantarkan makanan berbuka untuk saya. Belanja di pasar takjil pun tidak setiap hari juga. Kalau pun belanja, yang dibeli paling bakwan atau lontong. Dalam hitungan, Saya lebih banyak tidak belanjanya daripada belanja.
Kondisi finansial memang sangat menentukan dalam memilih cara untuk mendapatkan takjil atau makanan berbuka puasa saat itu. Kalau lagi dapat kiriman wesel dari kampung, lebih cenderung membelinya di pasar takjil atau berburu takjil rada jauhan dari kampung ini. Tapi ketika musim paceklik alias tidak ada kiriman wesel sama sekali, Saya punya cara alternatif untuk mengatasi masalah buka puasa.
Buka Puasa Tahun 90-an
Kalau kreasi makanan berbuka puasa dimaksudkan sebagai bentuk kreativitas menyediakan sendiri makanan mulai dari bahan mentah hingga memasaknya jadi makanan, atau mengombinasikan takjil yang dibeli dari pasar takjil lalu disiapkan sebagai makanan berbuka, maka Saya tidak bisa bercerita tentang itu.
Saya termasuk mahasiswa daerah dari golongan ekonomi lemah yang selalu bermasalah dengan soal finansial. Jangankan untuk berkreasi membuat makanan berbuka puasa setahun sekali, untuk memenuhi kebutuhan makan setiap hari Saya harus puasa senin-kemis supaya finansial tetap stabil sampai dapat kiriman wesel berikutnya.
Persoalan-persoalan keuangan ini juga sering terjadi di bulan Ramadan yang godaan untuk makan enaknya tinggi sekali. Kalau sedang ditimpa “musibah” ini maka kebutuhan takjil untuk berbuka puasa akan saya penuhi dengan cara-cara alternatif yang spontan.
Minum air putih pas saat berbuka merupakan cara berbuka yang lumrah dilakukan oleh orang lain. Bagi Saya air putih adalah satu-satunya menu buka puasa saya karena tidak ada takjil pendamping apa-apa. Minum air putih adalah pilihan berbuka puasa paling darurat kalau kondisi ekonomi sedang tidak bersahabat di bulan puasa.
Air putih terasa begitu nikmat begitu pertama kali membasahi tenggorokan yang selama sehari kering sama sekali. Nikmatnya air putih segelas atau dua gelas yang masuk ke dalam perut langsung membuat perut terisi, menggantikan rasa lapar yang sudah ditahan sejak fajar. Air putih meskipun sangat berguna bagi kesehatan, rasanya yang hambar tentu belum sempurna mengisi perut kalau tidak ditambah makanan pendamping.
Anak kos yang hidup dalam keterbatasan ekonomi harus kuat untuk menahan keinginan dan fantasinya untuk menikmati menu buka puasa yang enak-enak. Ingat, panjang angan-angan itu haram hukumnya. Apalagi dalam bulan Ramadan yang memang Allah ciptakan sebagai bulan ujian sekaligus bulan pendidikan.
Namun, kalau keinginan untuk mencicipi makanan lain, setelah minum air putih Saya selalu mencoba peruntungan dengan niat untuk shalat Maghrib secara berjamaah di masjid atau musholah. Biasanya, ada makanan dan minuman manis untuk berbuka yang selalu disediakan warga sekitar.
Kalau beruntung, Saya masih bisa mencicipi makanan yang masih tersaji di atas piring. Biasannya makanan yang paling banyak sisa adalah gorengan dan produk turunannya seperti tahu, bakwan, tempe, singkong, ubi, dan sukun. Selain gorengan, makanan lain yang biasa tersedia di musholah adalah lontong, nasi uduk, kolak dan cendol. Makanan-makanan ini merupakan kiriman warga di sekitar masjid atau musholah untuk musafir serta shaimin dan shaimah.
Cara berikutnya adalah bergabung bersama jamaah lain di musholah atau masjid yang sering menyediakan takjil untuk buka puasa bersama. Kreasi makanan berbuka Saya di sini jelas mengikuti menu yang sudah disediakan oleh ta’mir musholah.
Musholah di tempat kost kreasi makanan berbukanya cukup variatif antara gorengan dengan kue-kue manis, karena semua makanan tersebut diantar warga untuk kebutuhan buka puasa ta’mir dan musafir. Ta’mir tinggal membuka kemasan makanan dan menyajikan secara langsung apa adanya sesuai bentuk wadah masing-masing. Jamaah tinggal mencomot dan mencicipinya begitu azan Maghrib berkumandang. Makanannya bisa gorengan, lontong, kolak, cendol, ditambah kurma atau buah dan minuman kotak.
Makanan berbuka di musala dan masjid dikreasi dengan menempatkan wadah makan atau box mengikuti garis sajadah. Para jamaah tinggal duduk berhadapan di depan makanan yang sudah diatur. Kalau musala kecil, barisan orang-orang yang hendak berbuka puasa dibuat hanya satu baris. Kalau ukurannya besar seperti masjid, barisannya dibuat seperti saf pada salat berjamaah. Tempatnya bisa di teras masjid atau di dalam masjid. Jamaahnya beragam, mulai dari takmir masjid, warga sekitar, hingga musafir.
Para jamaah duduk secara tertib di tempat yang sudah disiapkan paket takjilnya sambil mengobrol dengan yang lain. Begitu azan Maghrib berkumandang makanan yang diletakkan di atas sajadah satu persatu dibuka oleh jamaah kemudian dicicip sebagai buka puasa.
Kreasi Buka Puasa Sekarang
Tiga puluh tahun lebih sudah kenangan buka puasa model anak kos dilalui dan tersimpan sebagai nostalgia yang lucu. Semenjak bekerja dan berkeluarga, kreasi makanan berbuka puasa berubah drastis. Setiap Ramadan tiba, menu untuk berbuka puasa di kantor berbeda dengan menu berbuka di rumah. Kalau di kantor makanan berbuka puasa dipilih sendiri sesuai selera hari itu.
Makanan favorit adalah kolak pisang. Dulu, Saya sampai punya warung langganan kolak pisang setiap Ramadan. Porsinya lebih banyak dengan variasi kolaknya lebih beragam. Harganya memang agak mahal, tetapi puas. Satu porsi saja sudah kenyang. Untuk menemani sang kolak, biasanya saya pilih makanan yang berbeda-beda setiap harinya. Tapi pada umumnya yang bercita rasa manis seperti kue basah, roti, dan kurma.
Kalau di rumah kreasi makanan berbukanya sepenuhnya berada di tangan istri. Saya cuma kebagian tugas untuk belanja bahan makanan yang ditunjuk. Tapi ada satu pola yang sama dalam kreasi makanan berbuka di kantor dengan di rumah, yaitu kolak pisang dan kurma sebagai menu utama Saya. Untuk makanan pendampingnya biasanya dicomot dari makanan yang sudah diatur istri. Untuk minuman teh manis saja sudah cukup, ditambah dengan air putih sebagai penutup buka puasa.
Depok, 22 Maret 2024