Sultani
Sultani Freelancer

Senang menulis kreatif berbasis data

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

Kesejahteraan Marbot: Antara Ibadah dan Kebutuhan Perut

7 April 2024   15:29 Diperbarui: 8 April 2024   18:35 2932
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kesejahteraan Marbot: Antara Ibadah dan Kebutuhan Perut
Ilustrasi sosok marbot (Sumber: Kompas.id)

Kesejahteraan Marbot: Antara Ibadah dan Kebutuhan Perut

Oleh: Sultani

Marbot yang menjadi tulang punggung dalam menjaga kebersihan dan kelancaran aktivitas ibadah di masjid, sering kali diabaikan hak-hak mereka dalam memperoleh kesejahteraan finansial. Mereka menghadapi ketidakadilan yang tidak terlihat di balik tirai keheningan. Sudah seharusnya mereka mendapat perlakuan yang setimpal atas kontribusi dari pekerjaan mereka selama ini.

Perdebatan seputar kesejahteraan para marbot atau orang-orang yang bertanggung jawab atas pengurusan masjid dan aktivitas ibadah di dalamnya telah menjadi sorotan penting dalam berbagai kalangan. Kesejahteraan mereka sering kali luput dari perhatian kita semua meskipun peran mereka dalam menjaga kebersihan, ketertiban, dan kelancaran aktivitas ibadah di masjid sangatlah krusial.  

Sudah menjadi rahasia umum bahwa para marbot atau pengurus masjid sering kali bekerja di bawah kondisi upah yang rendah, tanpa jaminan sosial, dan kurangnya perlindungan hukum. Kondisi ini lalu memicu berbagai perdebatan tentang pentingnya meningkatkan kondisi kerja dan kesejahteraan bagi mereka.

Sebagian kalangan menginginkan para marbot mendapatkan penghargaan yang layak, yaitu upah yang memadai dan fasilitas kesehatan. Sudah seharusnya mereka memiliki akses perlindungan sosial dan kesempatan untuk pengembangan diri, seperti pelatihan keterampilan dan pendidikan.

Penghargaan ini setara dengan dedikasi mereka dalam dalam menjalankan tugas keagamaan. Di sisi lain, ada yang beranggapan bahwa kesejahteraan para marbot seharusnya ditangani oleh komunitas lokal atau otoritas keagamaan setempat, bukan menjadi tanggung jawab pemerintah.

Perdebatan ini sendiri dipicu oleh minimnya kesejahteraan para marbot sementara tuntutan atas tugas dan tanggung jawab mereka sangat tinggi. Marbot bertugas membersihkan fasilitas masjid seperti tempat wudu dan toilet, juga ikut membersihkan lingkungan sekitar masjid. Ada marbot yang diminta ikut serta memberikan tenaga dalam kegiatan seperti renovasi masjid.

Dilema Marbot

Tanggung jawab utama marbot adalah mengumandangkan azan untuk salat 5 waktu. Namun, tanggung jawab ini sering bertambah sesuai kebutuhan dan kondisi tiap-tiap masjid. Akan tetapi, umumnya marbot bisa merangkap menjadi  pengajar dalam pengajian anak-anak dan membantu pengajian orang dewasa.

Untuk beberapa kasus, marbot harus ikut memikirkan perencanaan sampai dengan penyelenggaraan kajian keagamaan. Bahkan, marbot terkadang harus siap menjadi pengganti imam apabila imam utama berhalangan.

Tugas dan tanggung jawab marbot yang terus bertambah hingga melampaui batas tanggung jawabnya yang normal tersebut dipicu oleh tidak adanya kontrak kerja yang jelas antara masjid dengan marbot. Kondisi ini membuat marbot menjalani pekerjaan tanpa peraturan tertulis.

Akibatnya, pekerjaan marbot seolah tidak mengenal batasan jenis pekerjaan dan jam kerja, sehingga tanggung jawabnya pun bisa disesuaikan seenaknya berdasarkan kesiapan kegiatan yang ada di masjid. Ironisnya, masyarakat malah menganggap pekerjaan marbot ini sebagai sesuatu yang mudah dan harus dijalankan dengan ikhlas dan penuh tanggung jawab. Marbot yang enggan mengikuti kegiatan informal dari lingkungan sosial bisa dicap sebagai orang yang malas.

Kondisi kerja seperti ini menuntut marbot harus selalu siap sedia menyediakan waktunya kapan saja untuk menjamin kelancaran aktivitas di masjid terutama  menyiapkan peralatan menjelang salat termasuk harus mengumandangkan azan.

Ilustrasi marbot dari kalangan mahasiswa (Sumber: Kompas.id)
Ilustrasi marbot dari kalangan mahasiswa (Sumber: Kompas.id)

Dilema marbot ini kerap melibatkan pertimbangan budaya dan nilai-nilai agama. Beberapa kalangan berpendapat bahwa mengurusi masjid adalah bagian dari pelayanan kepada Allah yang harus dilakukan tanpa memperhitungkan imbalan materi. Sementara kalangan lainnya justru menganggap bahwa memberikan kesejahteraan kepada para marbot adalah bagian dari tanggung jawab sosial dan keagamaan yang mesti dipenuhi.

Dilema ini muncul karena beberapa masjid menghadapi keterbatasan dana dan sumber daya untuk memperbaiki kondisi kesejahteraan para pengurus masjid, sementara para marbot ini juga memerlukan pendapatan sebagai prasyarat untuk hidup layak.

Marbot adalah Ibadah

Selama ini masyarakat kita sering kali menghubungkan pekerjaan marbot dengan pengabdian kepada Allah. Pasalnya, marbotlah yang secara langsung terlibat dalam menjaga kebersihan, ketertiban, dan mengatur perlengkapan ibadah demi kelancaran aktivitas ibadah di masjid.

Dalam konteks ini, pekerjaan mereka dipandang sebagai bentuk pengabdian kepada Allah dan masyarakat Muslim yang menggunakan masjid sebagai tempat ibadah.

Bekerja tanpa pamrih kecuali hanya mengharap ridha Allah semata menjadikan marbot dipandang sebagai pekerjaan yang lebih sarat dengan muatan ibadah ketimbang kesejahteraan ekonomi. Pemahaman ini kemudian menstimulasi stigma bahwa sudah seharusnya marbot berkorban sepenuhnya tanpa memperhatikan kesejahteraan mereka.

Anggapan bahwa pekerjaan marbot sebagai wujud dari ibadah kepada Allah ketimbang mendapatkan gaji mungkin berasal dari pemahaman tentang konsep pengabdian dalam Islam. Dalam ajaran Islam, pengabdian kepada Allah dan masyarakat sering kali dianggap sebagai tindakan yang mulia dan diberkahi, dan tindakan tersebut dapat mencakup berbagai aktivitas, termasuk mengurus masjid.

Ibadah atau mengabdi kepada Allah merupakan bagian penting dari kehidupan seorang Muslim. Aktivitas yang dilakukan dengan niat ikhlas untuk memperoleh ridha Allah dianggap memiliki nilai spiritual yang tinggi. Pekerjaan mengurus masjid seperti marbot, sering kali dipandang sebagai peluang untuk memperoleh pahala dan mendekatkan diri kepada Allah.

Ilustrasi seorang marbot yang bekerja sebagai bentuk pengabdian atau ibadah kepada Allah SWT (Sumber: Kompas.id)
Ilustrasi seorang marbot yang bekerja sebagai bentuk pengabdian atau ibadah kepada Allah SWT (Sumber: Kompas.id)

Keyakinan tersebut diperkuat lagi dengan anggapan bahwa menjadi marbot sebagai realisasi dari amal saleh atau perbuatan baik yang dapat membawa pahala bagi seorang Muslim. Mengurus masjid dianggap sebagai salah satu bentuk amal saleh yang dapat meningkatkan keberkahan hidup seseorang. Akibatnya, marbot lebih fokus pada pahala dalam bekerja ketimbang pertimbangan finansial.

Tradisi dan budaya juga berkontribusi dalam “mendoktrin” pikiran marbot agar lebih mementingkan ibadah dalam pekerjaannya. Dalam masyarakat yang kental dengan nilai-nilai agama, mengurus masjid sudah dipandang sebagai panggilan rohani dan kesempatan untuk mendekatkan diri kepada Allah.

Pandangan ini menguatkan tradisi dan budaya untuk menghormati marbot karena mereka bekerja lebih mengutamakan ibadah kepada Allah daripada kepuasan materi.

Realitas Kebutuhan Hidup

Meskipun tradisi dan budaya tersebut memiliki dasar yang kuat dalam agama, eksistensi marbot sebagai manusia yang memiliki kebutuhan material juga penting untuk diperhatikan. Mereka memerlukan penghasilan untuk memenuhi kebutuhan sehari-hari dan juga keluarga yang perlu dihidupi.

Seperti pekerjaan lainnya, para marbot juga berhak mendapatkan upah yang adil sesuai dengan pekerjaan dan kontribusi mereka. Mereka bekerja untuk mendapatkan penghasilan guna menyambung hidup diri sendiri dan keluarganya. Upah yang mereka terima penting untuk memenuhi kebutuhan dasar seperti makanan, tempat tinggal, pendidikan, dan perawatan kesehatan.

Beribadah kepada Allah tidak selalu harus berarti mengorbankan kesejahteraan finansial. Dimensi ibadah dalam pekerjaan marbot justru harus dipandang sebagai pekerjaan yang dilakukan dengan sungguh-sungguh dan penuh dedikasi. Atas dedikasi itulah marbot harus diberikan imbalan yang layak.

Oleh karena itu, pekerjaan mereka harus dihargai dengan memberikan upah yang layak sesuai dengan kontribusi mereka dalam mengurus masjid dan memfasilitasi aktivitas ibadah umat Muslim.

Ilustrasi marbot sedang membersihkan tempat wudu dan toilet (Sumber: Kompas.com)
Ilustrasi marbot sedang membersihkan tempat wudu dan toilet (Sumber: Kompas.com)

Di beberapa masjid marbot sudah digaji setiap bulan menggunakan “pendapatan bulanan” masjid. Dana tersebut diperoleh dari kotak amal sehingga nilainya fluktuatif dan tentu akan berdampak pada kesejahteraan marbot. Mereka biasanya akan menerima upah per bulan dengan nominal yang berbeda-beda karena pendapatan masjid harus dibagi lagi untuk acara dan kegiatan lain.

Sumber pendapatan masjid selain dari kotak amal adalah unit usaha yang dimiliki oleh masjid. Bisa berupa bisnis kecil-kecilan sekadar untuk menghidupi kegiatan masjid. Unit usaha ini mungkin saja memberikan santunan kepada marbot untuk meringankan sedikit beban hidup mereka.

Mengacu pada sumber-sumber pendapatan masjid, ada beberapa klasifikasi upah marbot yang diberikan masjid sebagai apresiasi untuk kontribusi mereka dalam menjaga fasilitas masjid dan mendukung kelancaran aktivitas ibadah di masjid.

Nilai upah yang diberikan mengacu pada lama bekerja marbot. Masjid besar mampu memberikan marbot gaji Rp1,5 juta per bulan. Di bawahnya ada masjid yang menggaji marbot sebesar Rp1 juta dan Rp750 ribu.

Upah yang kecil sering kali diklaim sebagai kompensasi dari fasilitas yang telah diberikan masjid seperti makanan per hari, alat mandi, dan lain-lain. Soal fasilitas makan, para marbot mendapatkan fasilitas ini berbeda-beda. Ada yang harus memasak sendiri, ada juga yang mendapatkan bantuan makanan dari takmir.

Pada dasarnya pemenuhan kesejahteraan marbot tidak sekadar memenuhi tuntutan kebutuhan finansial, tetapi juga untuk mencegah mereka meninggalkan pekerjaan ini. Apa pun motifnya, pemenuhan kesejahteraan marbot tetap diperlukan demi menghormati kontribusi mereka.

Kendati demikian, penting untuk mencari solusi yang dapat mengakomodasi kebutuhan semua pihak terkait melalui dialog terbuka antara komunitas masjid, otoritas keagamaan, pemerintah, dan kelompok-kelompok masyarakat lainnya. Dialog ini akan membuat perdebatan tentang kesejahteraan para marbot bisa menghasilkan langkah-langkah konstruktif untuk meningkatkan kesejahteraan mereka sekaligus menjaga keberlangsungan ibadah di masjid.

Dalam merawat masjid, marbot juga merawat keutamaan dan kedamaian kita semua. Mari satukan tekad dalam perjuangan untuk mengangkat derajat dan kesejahteraan para marbot.

Depok, 7 April 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun