Kuluban Daun Mangkokan, Selingan Makanan Berbuka Anak Kos di Ujung Minggu
Penah menjadi anak kos? Saya pernah menjadi anak kos, ketika menjadi siswa Sekolah Pendidikan Guru (SPG) Negeri Kebumen, Jawa Tengah.
Rumah saya sebenarnya hanya berjarak 21 kilometer ke arah barat, tepatnya di desa Gombong. Akan tetapi saya lebih memilih kos daripada pergi pulang setiap hari.
Kendaraan antarkota dalam provinsi dan bus antarkota antarprovinsi bisa menjadi sarana transportasi harian. Namun, rasa capek apalagi bila ada kegiatan sore membuatku jera untuk melaju. Apalagi, pagi-pagi harus bangun sangat pagi agar tidak terlambat sampai di sekolah. Oleh karena itu, menjadi anak kos menjadi pilihan.
Tiga hari pertama, memasak bahan mentah yang dibekali orang tua dari rumah: sayuran, telur, beras, termasuk tempe dan tahu. Hari keempat mulai menggunakan uang saku yang sudah ditakar cukup untuk membeli makan hingga hari Sabtu dan ongkos kendaraan.
Begitulah rutinitas ketika kos selama hampir tiga tahun di sekolah menengah pencetak guru-guru sekolah dasar itu.
Menu Buka Puasa
Ketika Ramadan tiba, ada beberapa hari libur di pangkal maupun penghujung bulan menjelang lebaran. Dua minggu di antaranya, kami masuk sekolah seperti biasa. Paling-paling jam pelajaran dikurangi sehingga bisa pulang lebih pagi.
Pada sore hari, nah ini yang sering terjadi, menu berbuka yang pasti adalah segelas air teh manis. Gula, kopi, dan teh, biasanya dibekali ibu dari rumah.
Air panas sudah disiapkan di dalam termos hasil menjerang air siang menjelang maghrib. O, iya. Kompor pun dibawa sendiri. Kompor bersumbu dengan bahan bakar minyak tanah. Kompor ini alat yang penting. Selain untuk menanak nasi, memasak sayuran, dan mejerang air, kompor bernyala api biru kami gunakan untuk menyeterika.
Seterika kuningan kecil dengan kepala gambar ayam jago, saya isi dengan batu dan pecahan genteng. Kemudian, seterika itu dipanggang pada nyala api. Setelah diusapkan pada daun dan kain tahan panas, lalu digosokkan pada baju yang hendak diseterika.
Kembali ke makanan pada waktu berbuka, ketika bahan makanan mentah masih ada, saya mengolahnya menjadi oseng dan gorengan. Sambal goreng adalah menu yang ada pada setiap berbuka.
Di pertangahn minggu biasanya bahan mentah itu habis. Maka, saya mengajak teman untuk memetik daun mangkokan muda. Pagar sekolah kami sebagian ditanami dengan tanaman mangkokan. Itu, lo, tumbuhan berdaun lebar seperti mangkok.
Daun yang masih muda saya rebus. Jika air rebusan menjadi kehijauan dan daun dipijit terasa lunak tanda daun mangkokan itu telah matang.
Lalu, saya pergi ke warung sebelah. Saya membeli sepotong kecil kelapa yang telah dikupas. Kelapa itu saya bersihkan, lalu saya panggang pada bara api. Saya menumpang memanggang di tungku kayu ibu kos. Kebetulan ibu kos adalah pengusaha tempe kecil-kecilan. Saya kerap membeli tempe kepada ibu kos untuk digoreng atau dibakar sebagai lauk makan.
Setelah kelapa mentah itu berbau harum, kemudian saya ambil dan dinginkan lalu diparut. Saya menyiapkan bumbu berupa cabai, bawang putih, garam, gula merah, terasi bakar, dan kencur. Jika kencur tidak ada dan segan meminta kepada ibu kos, bumbu kuluban yang saya buat tidak menggunakan kencur.
Bumbu itu saya giling mentah-mentah menjadi sambal berwarna merah kecoklatan karena ada gula merahnya. Lalu, kelapa matang hasil memanggang saya parut di atas sambal itu dan dicampur merata. Setelah itu rebusan daun makokan yang ditiriskan saya campurkan dengan sambal kelapa itu. Jadilah makanan yang kami menyebutnya dengan kuluban atau keluban.
Meskipun nasinya dingin karena bertanak ketika Ashar, kuluban daun mangkokan masih terasa hangat. Berbuka puasa pun terasa nikmat.
Awalnya, malu-malu karena laki-laki memetik daun tanaman mangkokan yang menjadi pagar hidup. Namun, karena terbiasa. menu kuluban daun mangkokan kadang malah berbagi dengan teman satu kos. Wuih, sedapnya!
Musi Rawas, 22 Maret 2024
PakDSus