Syahiduz Zaman
Syahiduz Zaman Dosen

Penyuka permainan bahasa, logika dan berpikir lateral, seorang dosen dan peneliti, pemerhati masalah-masalah pendidikan, juga pengamat politik.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Di Mana Batas Kualitas Itu?

3 April 2024   06:24 Diperbarui: 3 April 2024   06:44 332
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Di Mana Batas Kualitas Itu?
Ilustrasi pasangan poligami. (Sumber foto: https://iluminasi.com)

Jika Anda pergi ke pusat perbelanjaan, dengan mengendarai mobil, tentu Anda akan memarkir mobil Anda di tempat yang disediakan dengan membayar biaya parkir dan Anda akan diberi selembar karcis parkir. 

Tak sadarkah Anda bahwa Anda telah dihina. Mobil mewah Anda hanya dihargai selembar kertas yang kalau dijual tak akan laku.

Demikian juga ketika Anda lulus dari perguruan tinggi, jerih payah Anda selama 4 tahun akan dihargai 2 lembar kertas, yang diberi nama ijazah dan transkrip nilai. 

Padahal selama 4 tahun Anda menghabiskan berpuluh-puluh juta rupiah. 

Ini masih lumayan dibandingkan karcis tadi, kertas yang Anda sebut ijazah dan transkrip nilai tadi masih berguna buat bungkus permen atau kacang.

Lebih parah lagi, istri atau suami Anda dihargai dengan buku kecil 10 halaman, yang biasa disebut buku nikah. 

Padahal butuh perjuangan yang tidak ringan bahkan dengan biaya puluhan juta agar Anda dapat pengakuan itu adalah istri atau suami Anda. 

Seandainya Anda akan menjual buku itu, pasti tak akan bisa. 

Walaupun bisa, Anda jangan coba-coba menjualnya, Anda pasti dimarahi pasangan Anda , karena paling banter berharga 100 rupiah.

Beberapa contoh di atas, menggambarkan bagaimana tidak berharganya sesuatu yang kita anggap sangat bernilai tinggi ternyata sangat rendah dibanding dengan nilai-nilai yang lain. 

Banyak nilai-nilai di dunia ini yang dibuat manusia untuk mengukur kadar suatu benda/jasa. 

Ukuran atau kadar itu kalau mau kita perinci lagi sebenarnya hanya permainan dari angka-angka semu.

Mengejar kekayaan, sesungguhnya hanyalah mengejar angka-angka yang tertera dalam rekening bank kita.

Belajar siang malam, hanyalah mengejar angka-angka berupa IP dalam KHS yang dibagikan tiap akhir semester. 

Jangan-jangan, salat tiap hari yang kita lakukan hanya untuk mengejar angka 5 waktu atau 17 rakaat saja. 

Atau mungkin juga, ketika kita berzikir, hanyalah mengejar angka 33, 10, 100, 1000 atau berapapun yang kita inginkan. 

Sungguh ironis, semuanya berorientasi pada angka, dan mengabaikan esensi atau makna dari angka-angka tersebut.

Jika kita renungkan, kita seringkali terbuai oleh ukuran kuantitas, bukan pada kualitas

Kuantitas sering kita agung-agungkan dalam berbagai kesempatan. 

Kita sering membual tentang jumlah rumah yang kita miliki, besar dan luasnya rumah kita, jumlah mobil yang kita miliki, atau bahkan jumlah istri kita . 

Kita sering melupakan tentang makna kualitas. 

Seharusnya kualitaslah yang menjadi tujuan, bukan kuantitas. 

Kuantitas hanyalah ibarat bingkai lukisan, semahal apapun harganya sebuah bingkai --yang dilihat sesungguhnya adalah indahnya lukisan yang terbingkai tersebut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun