Idulfitri, Sepi, dan Puisi
Lebaran masih sama meriahnya, hanya saja, kita semakin dewasa dan rasanya semua tak lagi sama seperti sedia kala.
Di sela-sela heningnya senja, ingatan tentang rumah untukku pulang membuncah tak henti-henti, lalu menjelma air mata setelah diajarkan tabah oleh perpisahan tanpa tapi. Aku merasakan ramai dalam sepi, jiwa-jiwa kembali bersih, putih, dan menggema, menggelegar di langit-langit Ilahi atas kemenangan yang hakiki.
Takbir telah berkumandang, tanda Ramadhan telah pergi, berlalu, lalu marilah kita sambut Syawal penuh dengan riang gembira, laksana bayi yang baru lahir tanpa dosa dan noda. Jadikanlah kemenangan ini menjadi rahmat bagi sesama, mari belajar menjadi manusia yang seutuhnya. Lebaran masih sama meriahnya, hanya saja, kita semakin dewasa dan rasanya semua tak lagi sama seperti sedia kala.
Tetap menata hati, walaupun bulan suci telah pergi. Layaknya hidup bukan tentang dipukul lalu membalas, tapi tentang bagaimana kita tetap berdiri tegak walau banyak pukulan yang menindas.
Di lebaran kali ini, aku mencoba bertanya dalam diri; apa yang mau engkau wujudkan untuk membahagiakan orang tersayang? Banyak hal yang belum aku selesaikan di lebaran ini.
Saat sepi melanda di keremangan, aku berharap semoga lebaran kali ini mendatangkan semua yang baik-baik entah itu kesehatan, kebahagiaan, kedamaian, untuk kita maupun keluarga. Semangat. Tidak ada yang istimewa dariku, aku hanya orang sederhana dan bahagia dengan cara yang sederhana pula.
Saat malam bersemayam di tubuh puisi, aku menadah harap dari segala keresahan yang hampir kehilangan arti, lalu kemudian aku berpuisi sebagai tanda ratapan lain menanti. Menyambut lebaran tidak seantusias dulu.
Gemuruh angin bertandang, aku pun sadar Takbiran dan Lebaran, moment yang tidak akan terasa nikmat seperti dahulu kala. Memang benar manusia tidak akan pernah paham, sampai dia berada di situasi yang sama?
Akankah suatu saat nanti kehidupan selalu membuka topeng dari orang-orang palsu? Kenapa seseorang bisa saling membenci sampai mati ketika bersama, tapi saling merindukan sampai tutup usia ketika berpisah? Kesepian, suramnya kota, gaduh di kepala, dan hidup melelahkan hanya itu-itu saja adalah mungkin juga cara kita untuk menikmati hidup.
Dan bersiaplah untuk berkelahi dengan pertanyaan yang sering muncul saat hari lebaran:
"Sekarang kerja di mana?"
"Kuliah di mana? Jurusan apa?"
"Gimana skripsinya? Kok belum lulus?"
"Kapan nikah? Udah umur segini lho!"
Semua pertanyaan ini akan aku jawab dengan "doain aja yaaa" karena bahasa cinta paling liar itu banyak dan yang paling jujur ialah doa. Tetaplah memaafkan, walaupun tak bisa dilupakan.
Teruntuk langit yang bercanda, kita harus senantiasa ikhlas menerima menjadi diri sendiri. Mungkin semesta sedang berusaha menyatukan sepi di beberapa kepingan sunyi, sebelum ia memulai menulis jalan yang kering kerontang untuk rindu ini. Tetapi angin yang lembut sudah mengabarkan sebuah kabar tentang kehidupan harus tetap dirayakan walau penuh dengan misteri panjang tuk menjalani hari-hari.
Sabar adalah kunci tuk kuatkan diri ketika tidak ada yang peduli, dan ikhlas merangkul segala bentuk kekecewaan yang telah terjadi. Mari berdamai dengan hal-hal yang tidak bisa diubah, mari mengikhlaskan hal-hal yang sudah kita lewati. Dan mari melanjutkan hidup dengan versi terbaik dari diri kita. Dan ketahuilah bahwa, beberapa hal hanya ditakdirkan kita kejar tanpa kita miliki.
Beberapa lagi hanya ditakdirkan untuk kita perjuangkan tanpa kita capai. Terkadang garis akhirnya itu bukan hanya soal mendapatkan, tapi berhasil tumbuh dalam perjalanan.
Gerimis bertamu dan bangunkan aku dari lamunan. Sebenarnya aku ingin sekali segera pulang, lalu berbagi cerita dengan tenang bersama sanak keluarga. Kutahu pasti, rumah berarti pulang.
Namun, bagaimana kita menerjemahkan kata pulang bagi setiap yang melihat dengan rasa ketakutan yang membara? Aku mencoba berdamai dengan diri, lalu menerjemahkan debar yang tak mempunyai tempat untuk pulang diantara semua tempat yang paling sunyi di muka bumi, dadaku yang paling sering ia tempati dengan rindu yang panjang tanpa temu, tanpa jemu. Tapi bagi mereka yang menerjemahkan pulang sebagai rasa, mungkin saja setiap pergi bisa jadi ialah pulang.
Lalu akhirnya aku dapatkan beberapa cerita, yang sengaja disimpan sebagai kenangan. Biarpun ia sudah lama tak terjamahkan, kucoba tuliskan dengan rapi di relung hati itu sudah cukup untuk redamkan rinduku kepada masa dulu dan hal ini tidak mungkin kembali lagi.
Aku sendiri, menikmati hangatnya kopi puisi pagi ini, dan dengan senang hati mengucapkan selamat hari raya Idul Fitri. Kita adalah semusim rindu, sebatas lalu, hilang, dan abadi dalam ingatan yang dilupakan dengan sukarela. Idul Fitri adalah waktu untuk memperbaiki, memaafkan dan merenung.
Selamat merayakan hari yang Fitri. Mari jadikan momentum hari kemenangan ini, untuk menjadi insan yang semakin baik dalam ketaatan serta tenang, bersyukur, sabar, ikhlas dan juga fokus. Diatas bumi ini bukan tentang apa yang kita mau, tapi tentang apa yang Tuhan ridhoi.
Terima kasih untuk diriku sendiri, karena sudah berjuang mati-matian walaupun bisa dengan mudahnya menyerah. Kuat-kuat ya. Kamu hebat sudah berjalan sejauh ini, meskipun sedikit berdarah-darah. Ayo tetap kuat untuk langkah-langkah selanjutnya yaaa. Tetap ingat, semua badai akan berlalu dan awan cerah segera datang.
Paji Hajju