Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Freelancer

Penulis Kumpulan Cerita Separuh Purnama, Creativepreuner, Tim Humas dan Kemitraan Cendekiawan Nusantara

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Kuat Menahan Haus dan Lapar, Kuat Juga Meredam Marah dan Seteru Selama Ramadan

26 Mei 2019   21:57 Diperbarui: 26 Mei 2019   22:08 223
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kuat Menahan Haus dan Lapar, Kuat Juga Meredam Marah dan Seteru Selama Ramadan
sumber https://www.webstagram.info/media/BwYUCPZFARW

Sedikit-sedikit marah, sedikit-sedikit berseteru. Alangkah tidak nyamannya berada di sekitar orang yang temperamental , tidak mampu meredam amarah. Secara psikis kondisi tersebut dengan mudahnya memantik perseteruan, cekcok hingga ribut besar dengan orang lain. 

Tidak sedang mengeda mgada atau mengarang cerita, minggu pertama menjalankan puasa di Ibukota, saya yang tetap melakukan mobilitas dengan trasnportasi umum merasakan sendiri ketidaknyamanan di tempat umum akibat seseorang yang tidka bisa mengendalikan amarah hingga terjadi perseteruan kecil. Dalam perseteruan tersebut sungguh tidak dicari siapa yang kalah dan siapa yang menang. 

Siang itu jauh sebelum peristiwa kerusuhan 22 mei saya naik Trans Jakarta Harmoni- Blok M. Bus Penuh sedari pemberangkatan awal di halte Harmoni. Penumpang terus bertambah naik dari monas hingga dukuh atas. Seperti biasa, bagi yang tidak mendapatkan tempat duduk, berdiri dengan tetap berbagi ruang sempit bagi penumpang lain adalah sebuah seni naik moda trasnportasi massa. 

Pada pemberhentian Bendungan Hilir, seorang bapak terdengar marah-marah ke petugas penjaga pintu bus. Dengan nada bicara keras, menghardik petugas untuk tidak memasukkan penumpang lagi karena dia menilai bus sudah penuh. 

Bak gayung bersambut, petugas mencoba menenangkan si Bapak dan memintanya untuk bergeser ke tengah agar penumpang tetap bisa masuk. Tidak disangka, amarah Bapak tersebut makin menjadi. 

Semua omongan keluar tanpa kontrol karena amarah menyelimuti. Adu mulut antara laki-laki yang terlihat setengah baya itu terjadi begitu saja dengan petugas. Satu, dua penumpang mencoba melerai. Tak mempan yang ada malah seteru meluas antar penumpang. Sorakan huuuuu....bagai koor terdengar dari penumpang di belakang yang juga mulai gerah dengan omongan si Bapak yang semakin melantur.

Jujur, saya memilih diam. Setidaknya saya tidak ingin ikut terpancing amarah dan terlibat dalam perseteruan kecil. Bus sempat tertahan dalam hitungan menit. Hingga akhirnya hampir semua penumpang meminta si Bapak turun dari dalam bus Trans Jakarta. Bersungut-sungut bapak tersebut turun dan barulah bus diminta kembali jalan. 

Helaan nafas panjang saya lakukan. Ini salah satu tips sederhana ketika saya berada ditengah situasi yang menguras emosi. Menarik nafas dalam-dalam kemudian menghembuskanya kencang. Huhhhhh, berharap emosi kembali stabil dan mampiu mengusir segala bentuk amarah yang menghampiri.

Saya bukan orang yang suka berseteru. Biasanya saya memilih diam atau menyingkir ketika ada yang sudah mulai mengusik emosi dan amarah saya. Apalagi di bulan puasa. Alangkah sayang menahan lapar haus dahaga seharian, jika tidak bisa dibarengi dengan menahan segala bentuk amarah dan emosi yang tidak stabil yang justru jadi pemicu kita berseteru. 

Amarah dan Seteru tidak saja yang bersifat langsung berhadapan. Di media massa pun kita kerap mengahapi perangai yang memancing marah hingga seteru politik. Jika sudah demikian, no komen atau tidak menanggapi komentarnya jauh lebih baik dibandingkan melanjutkan debat kusir yang berujung pada perseteruan yang tak memiliki subtansi. Diam itu jauh lebih baik ketika marah menghampiri.

heejrah.co
heejrah.co
Namun jika dirasa diam dan menghindar  serta menarik nafas dalam-dalam dan menghembuskanya dirasa tidak cukup mempan, Jangan rusak hakikat puasa kita dengan amarah dan seteru yang ada. Bisa juga dicoba sunnah Rosul ketika harus menahan amarah. Antara lain Membawa taawudz, berwudlu, mengubah posisi baik ketika duduk ataupun berbaring, memilih diam( nahh kan?) atau bersujud. 

Yuks dicoba sedari sekarang. Jangan sampai ya puasa kita kalah hanya karena amarah dan seteru yang tidak bermutu. Apalagi sekedar seteru media sosial. Jadikan puasa Ramadan menjadi faktor yang signifikan untuk membuka babak baru bermedia sosial, tanpa aramah apalagi seteru yang memjadikan kita sebagai orang-orang yang kalah dalam beribadah,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun