Tamita Wibisono
Tamita Wibisono Freelancer

Perangkai Kata, Penikmat Citarasa Kuliner dan Pejalan Semesta. Pecinta Budaya melalui bincang hangat, senyum sapa ramah dan jabat erat antar sesama

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN

La Tahzan!, Teladani Jejak Kebangkitan Nasional - Tetap Bahagia Saat Lebaran

20 Mei 2020   23:33 Diperbarui: 20 Mei 2020   23:40 665
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
La Tahzan!, Teladani Jejak Kebangkitan Nasional - Tetap Bahagia Saat Lebaran
Sumber Jiwa santri.com

Hari Kebangkitan Nasional atau yang kerap disingkat dengan Harkitnas diperingati setiap tanggal 20 Mei. Memang bukanlah termasuk dalam kalender yang berwarna merah. Lantas apa makna Harkitnas bagi nafas dan degub nadi kebangsaan ditengah Pandemi?

Mari sejenak kita buka kembali catatan sejarah  bangsa kita, jauh sebelum merdeka. 112 tahun yang lalu, pada tanggal dan bulan yang sama yakni 20 Mei 1908 lahirlah Boedi Utomo. Bukan nama seorang anak laki-laki, melainkan nama sebuah organisasi.

Bukan nama sembarang nama. Nyatanya Boedi Utomo mampu membangun kiprah kebangsaan di kalangan pelajar dan pemuda kala itu. Sosok bernama Wahidin Soedirohoesodo dikenal sebagai pendiri sekaligus penggerak organisasi yang namanya bermakna Kepribadian yang luhur. 

Dari Boedi Utomo lahirlah banyak organisasi kepemudaan berbasis daerah hampir di setiap wilayah yang tersebar di Indonesia. Belanda pun melihat pergerakan kaum muda terpelajar ini sebagai sebuah tanda bahwa Indonesia mengalami kebangkitan kala itu.

Sepak terjang Wahidin yang notabene seorang dokter patut menjadi suri tauladan bagi segenap bangsa kita. Terlebih ditengah wabah Korona, Pandemi yang belum kunjung teratasi. 

Dedikasi seorang dokter Wahidin mampu memantik semangat kebangsaan dikalangan pemuda untuk bangkit bersatu dengan semangat nasionalisme yang tak padam oleh beda suku,bahasa, agama, warna kulit, bentuk rambut hingga strata sosial sekalipun.

Ya, Harkitnas dan kilas balik sejarah yang menyertainya patut kita sinergikan dan kembali gelorakan di masa seperti ini. Termasuk saat kita harus "berdamai dengan Pandemi" tanpa harus bebas melanggar aturan hingga justru menyebabkan Corona kian menyebar.

Apalah arti narasi "Berdamai dengan pendemi" jika kita tak mampu menjaga jarak, menahan diri untuk berdiam di rumah, Menjaga kesehatan dan aturan kebersihan? Ya, narasi hanyalah tetap narasi.

Semangat persatuan dan kesatuan untuk sama-sama menjaga agar Corona tidak membabi buta itu justru utama. Sikap dan aksi nyata tiap kita untuk menghadapi realita Korona itulah yang terpenting.

Jika tahun 1908 dengan segala keterbatasan dukungan, akses komunikasi, dukungan technologi yang masih minim saja, Boedi Utomo mampu menciptakan momentum kebangkitan nasional, kenapa kini ditengah kedaulatan yang dimiliki, kita justru jauh dari sengatan untuk bangkit bersama menghentikan penyebaran Korona?

Tahun 2020, Indonesia punya jutaan dokter, tenaga medis hingga kemampuan untuk membuat alat pelindung (APD), membuat masker dan menggalang donasi dari berbagai lini.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun