Masjid Langgar Tinggi Berlantai Rendah dan Tahun Masehi yang Salah
Jalan-jalan saya di kawasan Kampung Arab Pekojan di Kecamatan Tambora, Jakarta Barat masih belum selesai. Setelah sempat mampir ke masjid An Nawir yang lumayan megah dengan pilar-pilarnya yang bergaya neo-klasik, masih ada satu lagi tempat menarik yang ada dalam daftar tujuan saya siang itu.
Saya menyusuri Jalan Pekojan Raya yang siang itu tidak terlalu ramai. Di sini masih terdapat banyak rumah dan bangunan tua yang sebenarnya memiliki arsitektur yang sangat indah dan khas. Sayang sebagian besar dalam keadaan tidak terawat dan banhkan ada pulan yang kosong ditinggalkan begitu saja oleh pemiliknya.
Sekitar 3 atau empat menit berjalan kaki, di deretan seberang jalan yang berdekatan dengan sungai yang ada di tepian Jalan Tubagus Angke, terletak Masjid yang saya cari, yaitu Masjid Langgar Tinggi. Sekilas bangunannya tampak lebih tua dan misterius dibandingkan dengan Masjid An-Nawir. Bangunan ini bertingkat dua dan uniknya walau Bernama Langgar Tinggi lantai bagian bawahnya seakan-akan sudah tenggelam dan berada di bawah permukaan jalan Pekojan Raya.
Pada sebuah papan putih tertulis nama Langgar Tinggi sebagai cagar budaya berikut Undang-Undang serta ancaman denda ratusan juta bagi pihak-pihak yang merubah bangunan ini. Saya berjalan terus sambil melihat bangunan berlantai dua ini. Ternyata di bagian bawah digunakan untuk berbagai gerai toko yang menjual berbagai barang-barang yang sering digunakan etnis Arab, seperti berbagai macam minyak wangi dan juga Buhur atau sejenis dupa wewangian untuk pengharum ruangan.
Akhirnya saya sampai di pintu masuk masjid yang sekaligus terdapat tangga menuju lantai dua. Di atas pintu tertulis nama Langgar Tinggi Didirikan pada 1249 H atau 1829 M, Jakarta Kota sementara di atasnya tertulis dalam aksara Hijaiah informasi yang sama. Uniknya kata Langgar Tinggi ditulis dengan huruf Jawi.
Saya kemudian mundur sedikit agak menjauh ke seberang jalan untuk lebih data menikmati keindahan dan kemisteriusan gedung ini secara lebih menyeluruh. Wah tampak sekali arsitekturnya yang unik karena mirip juga dengan sebuah rumah panggung model Palembang.
Walau merupakan satu kesatuan gedung yang lumayan besar, bagian sebelah kiri tampak terbuat dari batu dan di bagian atas terdapat beberapa pilar bulat yang kokoh berwarna putih. Sementara di bagian sebelah kanan di mana di lantai bawahnya dijadikan toko, terdapat balkon dan pagar yang terbuat dari kayu berwarna coklat.
Walau pun begitu, kalau diperhatikan lebih lanjut lagi masjid atau langgar ini ternyata mempunyai sentuhan gaya Portugis, Tionghoa, dan juga Jawa serta Eropa. Ini mungkin masih dugaan saya pada awalnya yang ternyata kemudian terbukti ketika saya mencari referensi yang menyatakan bahwa dulu masjid ini disebut dengan nama Langgar Moor karena banyak orang keturunan Arab dan India yang datang dan menginap di bagian bawah yang dijadikan penginapan. Pengaruh Portugis atau Eropa terapat pada pilar-pilar besarnya, sedangkan pengaruh Tionghoa pada penyangga atapnya dan ternyata juga ada hiasan berupa cerobong asap di atap yang merupakan pengaruh Moor. Sedangkan pengaruh Jawa terdapat pada denah dan tata letak bangunan ini.
Menaiki tangga batu langgar ini, saya sampai di lantai atas yang memiliki semacam beranda yang suasana nya unik. Sebuah beranda bagaikan di sebuah gedung tua dengan tiang-tiang besar yang menawan. Dan kalau saya melihat ke seberang kali ke Jalan Tubagus Angke, terlihat pemandangan perkampungan khas Jakarta yang dari masa tempo dulu dengan pagar tepi kali yang dipenuhi jemuran pakaian.
Pintu masuk ke langgar tidak terlalu besar dan terbuat dari kayu jati warna coklat. Di sampingnya ada dua jendela kecil dan di pintu terdapat sebuah QR yang bisa dipindai untuk memberikan donasi kepada langgar ini. Di atap langit-langit pas di depan pintu ada sebuah lampu gantung yang bentuknya juga antik dan khas. Langit-langitnya lantai atas ini juga terbuat dari kayu dengan warna yang sama. Nuansa tempo dulu memang sangat terasa di masjid yang sudah berusia hampir dua abad ini.
Saya masuk ke ruang salat. Siang itu sepi dan sunyi. Lantainya terbuat dari kayu dengan warna cokelat yang sama dengan warna pintu dan jendela. Hanya sebagian lantai alias beberapa saf di bagian depan saja yang ditutupi deretan sajadah warna hijau kuning dan merah yang terlihat sudah agak sedikit kusam.
Lampu di ruangan dalam juga sedang dimatikan namun pencahayaan masih bisa masuk melalui jendela-jendela kayu ukuran besar yang ada di kedua sisi dinding masjid baik yang menghadap ke jalan maupun Kali Angke.
Mihrab masjid ini tampak sederhana dengan lengkungan yang cantik dan di atasnya ada hiasan bertuliskan Dua Kalimat Syahadat. Selain itu ada dua buak lampu antuk kecil mengapit mimbar dan sebuah jam dinding. Sementara mimbar terbuat dari kayu dan berukiran gaya Palembang yang cukup cantik dan ternyata didatangkan dari Palembang pada 1859 ketika masjid ini direnovasi oleh Kapitan Arab yang Bernama Said Naum.
Sekitar 15 menit saya berada di dalam ruangan masjid dan kemudian keluar ke beranda, menikmati kembali suasana jadoelnya sambil mencari informasi tambahan mengenai masjid ini. Uniknya lagi ketika saya mencoba mencocokkan tahun 1249 Hijriah, ternyata tahun 1249 Hijriyah itu bertepatan dengan tahun 1833 dan 1834 Masehi. Sehingga sudah pasti informasi yang ada di papan nama masjid itu ada kesalahan sedikit.
Tetapi walaupun salah, tetap saja masjid Langgar Tinggi ini memberikan kesan yang mendalam karena di masjid ini kita merasa sejenak dapat merasakan suasana masa lampau melalui arsitekturnya yang unik. Disebut Langgar Tinggi tetapi lantai dasarnya sudah tenggelam.