"Pengejar mimpi yang tak pernah tidur!" Salah satu Kompasianer Backpacker... Keluarga Petualang, Mantan TKW, Indosuara, Citizen Journalist, Tukang icip kuliner, Blogger Reporter, Backpacker,
Geumsig Teugbyeolhan (Puasa Istimewa)
Bulan puasa kali ini sangat istimewa untuk saya. Diawali dengan pertengkaran keluarga, lalu nyinyiran tetangga karena kami memilih beda. Sungguh geumsig teugbyeolhan (puasa yang istimewa).
Jelang puasa, ibu saya marah. Ia salah paham mengira saya dan adik saya tidak ziarah ke makam almarhum bapak. Padahal, saya bersama anak dan suami sudah ke makam bapak beberapa hari sebelum hari nisfu. Begitu juga adik saya, ia bersama istri dan anaknya nyekar ke makam bapak yang dimakamkan di pemakaman keluarga besar dari pihak ibu itu hari Sabtu sore, sepuluh hari menuju bulan Ramadan.
"Soalnya tidak ramai-ramai. Biasanya kan sekalian papajar, barengan ke sananya." Ibu saya mengungkapkan keheranannya.
"Mah, beda lagi atuh sekarang mah kan lagi musim corona." Adik saya menjelaskan.
Tapi maklum orang tua, mungkin baginya tidak mudah untuk merubah tradisi. Meski sudah merasakan sendiri bagaimana sakit dan menderita karena corona virus.
Ya. Ibu saya akhir tahun 2020 ditakdirkan positif covid-19. Saat itu ibu bersama rombongan majelis taklim dari kecamatan habis menghadiri acara peringatan Maulid Nabi di kota. Dari sekian banyak yang berangkat, ada lima orang teman ibu yang bersamaan jatuh sakit dengan gejala yang sama. Dua orang diantaranya meninggal dunia. Termasuk seorang ustadz pembimbing.
Selama sebulan lebih, kami merawat Ibu secara bergantian. Apalagi setelah melakukan isolasi mandiri di rumah, kami semua anak cucunya pasrah. Yang bisa kami upayakan tetap melakukan protokol kesehatan sesuai anjuran tim medis.
Awal tahun 2021 alhamdulillah ibu sudah lebih sehat. Namun saya dan adik sepakat untuk tidak membiarkan ibu beraktivitas seperti sebelumnya. Adik saya yang tinggal satu kampung dengan ibu bertugas mengawasi ibu. Takutnya ibu ngeyel masih mau datang ke pengajian, atau lupa tidak menerapkan 3M.
Bukan kami membatasi kebebasan ibu, tapi sesuai informasi dari satgas covid-19 Kabupaten, bahwasanya penyebaran covid-19 sudah sampai di daerah Selatan. Termasuk daerah dimana saya dan ibu tinggal yang hanya tetangga kecamatan ini. Saya dan adik tidak mau ambil resiko. Bukankah lebih baik mencegah daripada mengobati?
Namun mungkin prasangka ibu, kami anak-anaknya ini bersikap beda. Dianggapnya kami sudah tidak mengindahkan kebiasaan berziarah ke makam orang tua. Termasuk ketika sebelum puasa tiba saat ziarah ke makam bapak, kami yang biasanya barengan, kemarin memang berangkat terpisah. Salah kami juga sih tidak memberitahukan semua rencana ini lebih dahulu kepada ibu.
Dulu, kalau ziarah suka janjian. Kebetulan lokasi makam bapak berada dekat dengan rumah paman dan para sepupu kami. Biasanya setelah dari makam kami langsung ngaliwet dan makan bersama rame-rame di rumah adik laki-laki satu-satunya dari ibu. Papajar istilahnya, makan bersama menyambut datangnya bulan suci Ramadan.
Tahun lalu, kami masih menjalankan tradisi itu. Saya bersama anak dan suami yang tinggal beda kecamatan dijanjikan kapan berangkat sehingga bisa tiba bersamaan di rumah paman dengan adik dan ibu. Istri paman dan anak cucunya sudah siap belanja mempersiapkan nasi liwet menyambut kami. Ziarah rasa silaturahmi, nyekar jelang bulan Ramadan sekaligus sambil papajar atau munggahan.
Tahun ini, saya dan adik sepakat tidak melakukan hal itu lagi. Pikir kami, saat pemerintah juga gencar menerapkan protokol kesehatan, cukup ibu saya saja yang sudah merasakan penderitaan terkena virus corona. Kesembuhan ibu ibarat mukjizat. Kami tidak mau lengah lagi. Meski ternyata ujungnya berbuah kemarahan ibu yang diakibatkan kesalahpahaman.
Tapi itu lebih baik daripada kami menyalahi aturan protokol kesehatan yang sekarang meluas menjadi 5M. Toh ibu bisa mengerti dan memahami setelah dijelaskan alasannya. Ibu tidak marah lagi.
Tarawih Ramadan kali ini pun saya kerjakan berjamaah bersama anak dan suami di rumah. Bukan kami bersikap beda seperti yang digunjingkan tetangga, tetapi kembali lebih kepada karena kami ingin belajar dari pengalaman sebelumnya.
Tahu sendiri bagaimana kondisi protokol kesehatan di kampung banyak disepelekan. Masyarakat tidak peka meski salah seorang sesepuh masjid di kampung kami telah dinyatakan positif covid-19 oleh tim medis dari RSUD Pagelaran seminggu sebelum bulan puasa.
Suami bukan anti berjamaah di masjid kampung, tapi setidaknya, untuk saat ini kami ingin belajar lebih baik saja dalam segalanya. Belajar dari pengalaman ibu saya yang sudah merasakan bagaimana tersiksanya kena virus corona, saya dan suami memilih menjaga diri dan keluarga dengan tidak dulu berinteraksi secara langsung dengan lingkungan terdekat.
Oke, kita bisa menerapkan protokol kesehatan dengan ketat, tapi bagaimana dengan anak saya? Tidak ada yang berani menjamin, bukan?
Karena itu bulan puasa kali ini betul-betul saya anggap sebagai geumsig teugbyeolhan (puasa yang istimewa). Karena selain situasi dan kondisi pandemi yang bikin berbeda, tanggapan orang tua dan tetangga pun terhadap pilihan yang kami tempuh ini demi kesehatan dan keselamatan bersama ternyata sangat istimewa pula.
Tidak mengapa, yang penting kita semua sehat dulu ya...