Damai dalam Keberagaman, Peringati Waisak di Tengah Ramadan
Bangsa Indonesia terkenal sebagai bangsa yang berbudi luhur, menjunjung tinggi adat istiadat, saling menghormati, teposeliro, dan menghargai setiap perbedaan. Bukan saja perbedaan dalam hal bahasa, adat istiadat namun juga keberagaman dalam beragama.
Bangsa Indonesia akan tetap merasakan kedamaian selama bangsa ini menjunjung tinggi semboyan “Bhinneka Tunggal Ika” yang tertulis dalam lambang negara Indonesia Garuda Pancasila. Yang berarti Berbeda-beda tetapi tetap satu merupakan frasa yang berasal dari Bahasa Jawa Kuno.
Semboyan ini digunakan untuk menggambarkan persatuan dan kesatuan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia yang terdiri atas beraneka ragam budaya, bahasa daerah, ras, suku bangsa, agama, dan kepercayaan.
Kalimat ini merupakan kutipan dari sebuah kakawin Jawa Kuno yaitu Kakawin Sutasoma karangan Mpu Tantular semasa kerajaan Majapahit sekitar abad ke-14. Kakanwin ini istimewa karena mengajarkan toleransi antar umat Hindu Siwa dengan Umat Buddha.
Perkembangan Agama Budha di Indonesia
Sebagai agama yang tertua di dunia termasuk di Indonesia, Agama Budha yang berasal dari India pada abad ke-6 SM tetap bertahan hingga saat ini. Agama Budha pertama kali masuk ke Indonesia sekitar adab ke-5 Masehi dibawa oleh Fa Hsien, pengelana dari China.
Kerajaan Budha pertama kali yang berkembang di Nusantara adalah Kerajaan Sriwijaya yang berdiri pada abad ke-7, di Kerajaan inilah pernah menjadi salah satu pusat pengembangan agama Budha di Asia Tenggara. Namun setelah berkembangnya kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia, jumlah pemeluk Agama Budha semakin berkurang. Agama Islam masuk ke Nusantara dibawa oleh pedagang-pedagang yang bermukim di daerah pesisir.
Penganut Agama Budha terus mengalami penurunan terlebih masa penjajahan Portugis karena bangsa Eropa membawa misionaris untuk menyebarkan agama Kristen di Nusantara.
Mengenal Sosok Buddha
Umat Budha percaya pada Siddhartha Gautama, seorang pangeran yang dilahirkan dalam keluarga kaya di abad ke-5 SM. Siddhartha menyadari kekayaan dan kemewahan tak menjamin kebahagiaan. Sehingga ia melepaskan diri dari segala kemewahan untuk belajar lebih banyak tentang dunia hingga melihat penderitaan di dunia.