Titik Nur Farikhah
Titik Nur Farikhah Penulis

Menulis adalah bekerja untuk keabadian

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Turut Rasakan Solidaritas Scooterist Vespa di Masa Silam

9 Mei 2020   22:44 Diperbarui: 9 Mei 2020   22:42 1111
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Turut Rasakan Solidaritas Scooterist Vespa di Masa Silam
Dokumen : cover youtube bima rifa

Cerita kali ini tentang film berdurasi pendek bertema Solidaritas garapan Bima Rifa. Sebuah kisah yang membentangkan rasa empati dan setia kawan. Siapa lagi kalau bukan pecinta vespa

Film berdurasi 4 menit 58 detik ini berhasil menyuguhkan tontonan apik. Sederhana tapi sarat makna. Terlebih saat adegan seorang pengendara sepeda motor terpaksa berhenti mendadak karena tiba-tiba mesinnya macet di detik ke 22.

Usahanya gagal saat mencoba menghidupkan mesin dan ternyata dia pun tak membawa peralatan untuk bongkar mesin. Tak ada yang bisa dilakukan di jalanan sepi kecuali mendorong vespanya. Berat, pastilah. Kan bodi vespa itu gede.

Tapi siapa sangka, pertolonganpun akhirnya datang. Sesama pengendara vespa dari arah berlawanan perlahan menghampiri di menit 2.05'. 

Dokumen : pixabay
Dokumen : pixabay
Tanpa basa basi, ia langsung mengulurkan tangan membantu rekannya. Setelah mesin dicek ternyata businya sudah aus alias mati. Beruntung si penolong membawa cadangan busi dan langsung memasangkan. Beruntung, mesinpun langsung hidup.

Di situlah perkenalan terjadi. Ternyata si penolong bernama Reza dan si pemilik vespa merah yang sempat macet disapa Agus. Sesaat kemudian mereka langsung terlihat akrab.

Ada hal yang menggelitik. Usai menolong, Reza malah mengajak Agus ke suatu tempat untuk sekedar makan bareng. Bisa jadi karena Reza tak tega melihat Agus yang terlihat letih usai mendorong vespanya. Begitulah solidaritas pecinta vespa memang tak diragukan lagi. Inilah wajah Indonesia, yang masih akrab dengan budaya ketimuran. Rasa empati, jiwa solidaritas, dan budaya tolong menolong begitu akrab bahkan tanpa memandang agama, ras, suku, bangsa, dan budaya.

Melihat sekilas adegan dalam film itu ingatanku melayang ke masa silam. Yah....35 tahun yang lalu, saat aku masih duduk di bangku Sekolah Dasar. Tepatnya tahun 1985. 

Ayahku seorang pecinta vespa. Kendaraan berbentuk unik ini berhasil mencuri perhatiannya. Vespa biru muda pun nangkring di parkiran rumah. Sejak kecil aku jadi akrab dengan kendaraan bersuara gemuruh ini. Aku pun terbiasa menunggui saat ayah bongkar pasang mesin vespa, jadi sedikit pahamlah tentang seluk beluk pemeliharaannya.

Beliau begitu rajin membersihkan busi. Aku yang hanya melihat aktivitas ayah akhirnya terlatih bongkar busi, membersihkan lalu memasangnya kembali. Nrithik, kalau orang Jawa bilang. Begitulah sejak kecil aku memang suka mengamati gerak-gerik saat orang melakukan sesuatu, terus mencoba sendiri. Dan ternyata bisa. Tapi karena waktu itu aku masih kecil, jadi belum kuat menopang bodi vespa apalagi sampai menghidupkan mesinnya.

Perjalanan menyusuri Kota Gudeg bersama almarhum ayah adalah kenangan terindah. Suara khas motornya terkadang selalu kunanti, saat jelang sore tapi ayah belum pulang kerja. Satu lagi yang kuingat, bodi vespa yang besar ternyata mampu menampung banyak bekal. Jadi kadang cukup simpel kalau hendak bepergian bersama si vespa.

Pengalaman berkendara bersama vespa pernah juga menyisakan kepiluan. Mungkin karena usia ayah saat itu tak lagi muda, jadi tak sekuat waktu masih kerja. 

Namun kesetiaannya dengan vespa tak jua surut. Vespa biru muda tetap setia menemani hingga beliau purna tugas. Bisa jadi ini juga yang menurun padaku. Tak suka ganti-ganti kendaraan, meskipun ada kesempatan untuk membeli yang baru. Eh...ternyata sifat setia ayah menurun juga padaku.

Kisah pilu ini, sempat kualami beberapa kali. Saat aku membonceng vespa dan terjatuh di jalan. Karena bodinya yang besar, kadang ayah jadi oleng saat mengendarainya. Ya maklumlah karena ayah tak sekuat dulu. 

Namun saat itulah pertolongan selalu datang dari komunitas vespa. Padahal ayah sama sekali tak pernah bergabung dengan komunitas itu. Begitulah, solidaritas tanpa pamrih tetaplah membawa kedamaian dimanapun berada. Bersyukur banget, karena kehadiran merekalah kami bisa kembali ke rumah dengan selamat.

Film Solidaritas ini adalah sebuah gambaran, betapa empati itu sangat bermakna besar dan membawa kebaikan bagi semua pihak. Berharap wajah Indonesia saat ini tetap mengedepankan solidaritas dan empati terlebih di saat bulan suci Ramadan. Karena hanya dengan rasa itu bangsa Indonesia bisa kembali bangkit menatap masa depan usia diterjang badai corona.

Artikel ini dipersembahkan dalam event Kompasiana Satu Ramadan Bercerita Samber 2020 Hari 13 & Samber THR Tebar Hikmah Ramadan.

Semoga Bermanfaat

Titik Nur Farikhah

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun