Menghindari Memaksakan Diri
Hal yang bukan memaksakan diri itu adalah melakukan sesuatu karena alasannya tepat, tujuannya jelas, visi-misi sesuai, langkahnya benar, pertimbangannya matang, mengukur diri, tahu diri, punya empati-simpati, dukungannya sesuai, kemampuannya kompeten, dan rendah hati berpondasi cerdas intelegensi, personality, dan analisis.
(Supartono JW.10042022)
Apakah saya orang yang suka memaksakan diri bila ingin melakukan sesuatu atau ingin punya sesuatu dan lainnya?
Ibadah Ramadhan fase 10 hari pertama (rahmat, berkah), belum berakhir, tetapi di berbagai ruang publik, sudah mulai terdengar tentang persiapan mudik Idul Fitri 1443 Hijriah.
Banyak masyarakat, tahun ini tetap akan memaksakan mudik, meski secara persiapan finansial, tak siap. Alasannya kebanyakan karena sejak hadirnya pandemi, terpaksa mudik pun tak dapat terlaksana karena adanya larangan dari pemerintah.
Kini, seiring pandemi corona mereda, pemerintah membebaskan masyarakat untuk mudik, meski tetap ada aturan yang wajib dipatuhi, bila mau mudik.
Nampaknya, meski tetap ada aturan protokol kesehatan dan banyak masyarakat yang tak siap secara finansial untuk ongkos dan biaya mudik, dapat dipastikan, akan banyak rakyat yang tetap memaksakan diri mudik. Walau bagaimana pun caranya. Terpenting sampai kampung halaman. Bertemu sanak saudara dan handai taulan. Apalagi bagi masyarakat yang masih memiliki orang tua di kampung. Maka, mudik menjadi harga mati. Tak dapat ditawar.
Mengapa kini mulai jalan-jalan kampung, jalan raya, di berbagai wilayah Indonesia sering macet? Jawabnya jelas. Jalannya tidak ditambah atau tak dilebarkan, tapi kendaraan (motor, mobil) terus bertambah.
Dari kasus ini, salah satu penyebabnya adalah banyaknya masyarakat yang memaksakan diri untuk memiliki kendaraan, meski dengan cara utang/kredit. Karena penjual kendaraan juga mempermudah cara masyarakat utang/kredit kendaraan, meski secara finansial, sebenarnya mustahil memiliki kendaraan, sebab untuk makan saja susah. Sudah begitu, tak memikirkan punya garasi pribadi. Jangankan garasi, rumah pun tak punya.
Kasus-kasus memaksakan diri padahal tak memiliki kemampuan yang seharusnya, di berbagai lini kehidupan masyarakat Indonesia, setiap detik terus terjadi.
Inilah salah satu ciri negara berkembang, yang katanya sudah bukan kategori berkembang lagi.
Bagaimana rakyat tidak akan ikut-ikutan memaksakan diri. Para pemimpin di negeri ini, pun meneladani memaksakan diri dalam berbagai hal. Untuk dapat kursi duduk di pemerintahan daerah atau DPR atau pemerintah pusat, siapa yang murni atas dasar kemampuan dan kompetensi?
Sudah terbaca dan fakta, mereka mendapatkan kursi harus dengan cara utang, karena dimodali oleh cukong. Akibatnya, tak konsentrasi untuk amanah sebagai pemimpin, tapi malah sibuk bagaimana caranya mengembalikan utang dan balas budi kepada cukong.
Lihat, berapa triliun utang Indonesia sekarang. Siapa yang utang? Siapa yang suruh membayar? Sepertinya Indonesia akan menjadi milik asing seperti terjadi di negara lain, karena tak sanggup membayar utang.
Lihat, berapa banyak rakyat yang sok-sok an bergaya hidup hedon? Padahal faktanya bukan orang kaya. Lihat betapa bangganya orang-orang yang dijuluki crazy rich (super kaya) saat disorot kamera? Benarkah mereka super kaya sejati? Tapi ternyata hampir semuanya yang bangga disebut super kaya adalah sosok orang kaya baru (OKB).
Pokoknya, dari A sampai Z, persoalan memaksakan diri bagi rakyat hingga pemimpin di Indonesia, terjadi di semua lini.
Kapan memaksakan diri?
Sejatinya, untuk menjalani kehidupan yang keras sekarang, akan ada situasi di mana saya/kita harus memaksakan diri agar semuanya berjalan dengan seharusnya. Memaksakan diri di sini, adalah dalam bentuk positif, yaitu spirit atau semangat. Sehingga, bila apa yang saya/kita lakukan tergolong memaksakan diri, maka ada pembenaran (justifikasi) bahwa itu karena semangat.
Semangat melakukan atau berbuat sesuatu agar tak dibilang memaksakan diri, memang wajib terukur, wajib dilakukan dengan kecerdasan intelegensi, kecerdasan personaliti (emosi), dan kecerdasan analisis.
Oleh karena itu, pahami dengan baik, apa saat saya memaksakan diri untuk sesuatu itu sudah benar? Kira-kira apa indikatornya, saat saya memaksakan diri dalam arti positif, semangat itu sudah benar-benar, benar?
Bila hasil dari apa yang saya atau kita lakukan, perbuat adalah berakhir buruk, rugi, mengecewakan, maka sejatinya, saya bukan melakukan sesuatu karena semangat positif, tapi benar karena saya memaksakan diri, tak mengukur diri.
Selanjutnya, bila dalam proses melakukan, berbuat sesuatu, saya sering emosi dan labil, maka itu adalah indikator saya memaksakan diri.
Selanjutnya, bila saya tidak tahu seberapa besar batasan kemampuan saya dalam memaksakan diri, tentu yang ada malah berakibat buruk. Apalagi bila saya juga tidak tahu seberapa besar ketahanan fisik dan mental saya.
Lebih dari itu, bila tak cerdas intelegensi, emosi, dan analisis, saat saya melakukan sesuatu yang dipaksakan, tidak akan sukses karena tak diperhitungkan, tak dipertimbangkan dengan matang dan akurat. Yang ada adalah hanya sekadar menuruti ego, gaya-gayaan, atau karena demi kepentingan.
Indikasi melakukan sesuatu karena memaksakan diri juga dapat diidentifikasi dengan memahami, apakah yang saya lakukan, prosesnya ada tahapan? Tahapan itu ada yang secara ilmiah, ada yang secara organisasi, dan lain sebagainya.
Dari indikator-indikator tersebut, bila.yang saya lakukan benar seperti itu adanya, maka benar, saya orang yang memaksakan diri.
Jadi, sekali lagi, hal yang bukan memaksakan diri itu adalah melakukan sesuatu karena alasannya tepat, tujuannya jelas, visi-misi sesuai, langkahnya benar, pertimbangannya matang, mengukur diri, tahu diri, punya empati-simpati, dukungannya sesuai, kemampuannya kompeten, dan rendah hati berpondasi cerdas intelegensi, personality, dan analisis.