Supartono JW
Supartono JW Konsultan

Mengalirdiakunketiga05092020

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Saya, Miskin Hati?

25 April 2022   06:29 Diperbarui: 25 April 2022   07:18 4919
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Saya, Miskin Hati?
Ilustrasi Supartono JW.


Gaya hidupnya orang punya, banyak harta, tetapi miskin berderma. Yang miskin harta, ikut-ikutan gaya hidup orang punya. Itulah fenomena dan fakta, orang-orang yang miskin hatinya.

(Supartono JW.25042022)

Miskin hati itu, meski kaya harta, jangankan berbagi dengan orang lain, untuk dirinya sendiri saja kikir, bertabiat orang fakir, gayanya tajir.

(Supartono JW.25042022)

Tentu kita sering mendengar atau membaca atau melihat tulisan: "Kaya harta, tetapi miskin hati" atau "Sudah miskin harta, miskin hati".

Atas ungkapan itu, pantas rasanya saya/kita bersedih. Sebab, orang-orang yang memiliki tabiat itu, mungkin belum mendapatkan hidayah. Atau mungkin gagal dalam pendidikan di lingkungan keluarga mau pun lingkungan formal. Pun gagal dalam beragama.

Semoga, saya, keluarga saya, orang-orang yang dekat dan bersinggungan dengan saya, serta masyarakat pada umumnya, senantiasa dijauhkan dari sifat dan tabiat itu, kikir dan miskin hati. 

Bila faktanya masih miskin harta, tetaplah kaya hati (pemurah). Bila faktanya sudah kaya harta, tetaplah kaya hati. Aamiin.

Wajib saya camkam! Kekayaan tidak selalu terkait dengan hal yang konkret, tapi terkait juga pada hal yang abstrak. Oleh sebab itu, bersyukur adalah wujud dari kaya hati yang menembus kualifikasi kaya harta. Kaya harta yang dapat membuat seseorang lebih meningkatkan keimanan kepada Allah, lalu dengan adanya harta tersebut seseorang lebih bersyukur dan digunakan untuk menyodaqohkan kepada yang lebih membutuhkan maka, akan muncul hal abstrak bernama kekayaan hati. 

Orang yang kaya atau pun miskin harta, dan pandai bersyukur, dengan mendermakan hartanya kepada orang lain, adalah orang yang kaya hati. Bukan miskin hati (tak bersyukur dengan apa yang dimiliki, menjadi kikir).

Euforia Lebaran

Menyambut Idul Fitri 1443 Hijriah, terlebih jelang berakhirnya fase 10 hari ketiga ibadah Ramadhan, dalam suasana yang berbeda dengan dua tahun sebelumnya, karena pandemi corona, kini melihat masyarakat Indonesia pada umumnya, tak akan habis kita bertanya. 

Pasalnya, antara realita atau kenyataan yang dihadapi dengan gaya hidup tetap saja bertolak belakang. Masyarakat tetap saja banyak yang memaksakan diri. Hal yang paling mencolok mata adalah fakta bahwa khususnya hampir semua tempat penjual pakaian, atau tempat kebutuhan untuk Lebaran, mau toko pakaian bekas mau pun baru, dari toko kecil, pasar tradisional, sampai mal, semua dipadati masyarakat.

Dari beberapa masyarakat yang saya tanya, katanya Lebaran kan setahun sekali, jadi beli kue Lebaran atau baju baru dan lainnya, seolah menjadi hal wajib dan tidak boleh ditawar. Yang mewajibkan, dirinya sendiri, tanpa mengukur kondisi keuangannya mendukung atau tidak. 

Singkat kata, faktanya memang masih banyak masyarakat yang ekonomi lemah atau miskin harta, tetapi melihat gaya hidup masyarakat lain yang memang cukup atau berkecukupan uang dan harta, masyarakat yang tak berpunya, jadi ikut-ikutan memaksakan diri. 

Baru dapat rezeki berupa uang bantuan sosial atau uang donasi atau uang apa pun, langsung saja tanpa pikir panjang langsung dibelanjakan untuk kebutuhan Labaran yang tak primer. Sementara yang primer terlupakan oleh euforia (gembira berlebihan) Lebaran dan gaya hedon.

Pendidikan dan budaya

Masyarakat kita yang miskin harta, banyak yang sangat kesulitan memegang atau menyimpan uang, tapi sangat mudah membelanjakan pada hal-hal yang tak prioritas, karena dorongan psikologis mau pun dorongan sosialnya lebih besar dibanding pola berpikirnya.

Sebaliknya, masyarakat kita yang kaya harta, juga sangat sulit melepas atau berbagi hartanya dengan atau untuk orang lain,  karena sifat dan tabiatnya.

Hal ini, di antara penyebabnya adalah:
Pertama, kegagalan pendidikan dalam keluarga yang turun-temurun.
Kedua, kegagalan pendidikan formal.
Ketiga, pengaruh budaya hidup hedon di keluarga dan lingkungan masyarakat.
Keempat, pengaruh budaya kikir di dalam keluarga dan lingkungan masyarakat.
Kelima, kegagalan pendidikan agamanya.
Keenam, kaget menjadi orang kaya baru (OKB) atau terbiasa miskin harta.

Istimewanya 10 hari terakhir

Dari fenomena tersebut, agar saya/kita terhindar dari atau menjadi orang yang kikir dan miskin hati, teruslah berusaha menyadari bahwa bulan Ramadhan ini adalah bulan istimewa. Sebab, dalam setiap waktunya, detik, menit, jam, hari, minggu, hingga satu bulan ibadah Ramadhan, semuanya adalah waktu yang istimewa.

Terlebih, 10 hari terakhir Ramadan malah sangat istimewa. Ada banyak keutamaan di sepertiga bulan terakhir ini.

Dari berbagai pendapat dan ajaran para ulama, yang meneladani Nabi Muhammad SAW, sepuluh hari terakhir merupakan penutup bulan Ramadan yang penuh berkah, dan setiap amalan manusia dinilai dari amalan penutupnya.

Fase terakhir adalah malam-malam yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW. Adanya kerinduan akan keindahan lailatul qadar atau malam kemuliaan yang keutamaan beribadahnya melebihi beribadah sepanjang 1000 bulan. Karenanya, Nabi Muhammad SAW. memberikan contoh kepada umatnya agar tidak terlena dalam kesibukan mempersiapkan kebutuhan hari raya sehingga melupakan keutamaan beribadah di 10 hari terakhir.

Sebab istimewanya, maka keutamaan 10 hari terakhir bulan Ramadhan (pembebasan dari api neraka) harus dimanfaatkan sebaik-baiknya, termasuk banyaklah berderma meski tak kaya harta, tetapi tetap kaya hati. Banyaklah melakukan ibadah terutama iktikaf baik di masjid, musala maupun di rumah serta tilawah Al Quran. Aamiin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun