Mudik: Dari "Paran" Kembali ke "Sangkan"
Mudik berkelindan dengan lebaran. Bahkan tak berlebihan kiranya jika ada yang mengatakan bahwa mudik sudah menjadi bagian dari tradisi yang berkembang dalam masyarakat kita.
Tulisan ini mencoba meneroka mudik sebagai fenomena yang tidak sekedar siklus "ritual" kunjungan keluarga pulang kampung untuk kemudian kembali lagi ke tanah rantau untuk mencari nafkah, dan mudik kembali pada lebaran tahun berikutnya.
Tulisan sederhana berikut ini mencoba merefleksikan makna mudik, sebagai sebuah metafora perjalanan hidup manusia, yaitu perjalanan hidup dari paran kembali ke sangkan, perjalanan dari permulaan kehidupan manusia untuk kembali kepada hakikat kehidupan tersebut bermula.
Mudik: Sebuah Pertemuan Asa
Mudik... Mungkin kata inilah yang selalu terngiang dalam ruang batin sebagian besar perantau ketika bulan Ramadan tiba, selain tentunya sembari bertekun diri memantapkan iman dengan beribadah di bulan suci. Mereka mempersiapkan segala daya dan upaya untuk bisa mudik dan berlebaran di tanah kelahiran.
Hal inipun berbanding lurus dengan keluarga yang ada di kampung halaman. Mereka juga sangat berharap keluarga yang berada di tanah rantau bisa mudik dan berkumpul di kampung halaman. Sungguh sebuah pertemuan asa yang sangat mulia: saling berdoa serta berpadu harapan untuk bisa berkumpul dan bersilaturahmi.
Terbayang suasana yang begitu indah penuh makna : sebuah harmoni dalam ruang perjumpaan bersama dengan orang tua, keluarga, sanak saudara, dan teman-teman di kampung halaman yang ditinggal selama dalam perantauan.
Mudik: Aktualisasi Ikatan Batin dengan Tanah Kelahiran
Mudik, dalam bahasa percakapan sehari-hari berarti pulang ke kampung halaman atau ke tanah kelahiran. Mudik menunjukkan bahwa ada ikatan batin antara seseorang dengan kampung halaman atau tanah kelahirannya.
Tanpa adanya ikatan batin yang begitu kuat, amat sangat mustahil terjadi pergerakan manusia sebegitu besarnya untuk pulang ke kampung halaman dalam waktu bersamaan pada saat mudik.
Lalu, apa yang membuat ikatan batin tersebut terasa begitu kuat sehingga mendorong para perantau untuk mudik ke tanah kelahiran mereka? Beberapa hal yang membuat ikatan batin antara para perantau dengan tanah kelahirannya begitu kuat, antara lain sebagai berikut.
1. Aktualisasi bakti kepada orang tua (birrul walidain)
Bentuk ikatan batin yang paling kuat adalah ikatan batin dengan orang tua. Ikatan batin antara anak dengan orang tua merupakan naluri dan fitrah setiap manusia Coba bayangkan, kita dilahirkan oleh orang tua, sedari kecil kita hidup bersama dalam buaian kasih sayang orang tua, kemudian ketika kita bekerja atau menuntut ilmu ternyata harus berpisah dengan orang tua untuk waktu yang cukup lama. Ketika saat lebaran tiba, kita seolah-olah tidak sabar ingin segera mudik untuk bertemu dengan orang tua kita dan bersimpuh di kaki mereka.
Orang tua kita pun juga sangat menantikan kita, sebagai wujud kasih mereka terhadap anak-anaknya. Mudik memang salah satu hal yang bisa menyenangkan hati dan rasa orang tua kita, karena mudik menjadi media pertemuan antara orang tua dengan anak-anaknya.
Jika kita teroka, maka mudik adalah salah satu dari sekian banyak cara untuk berbuat baik dan berbakti kepada orang tua kita (birrul walidain). Berbuat baik dan berbakti kepada orang tua merupakan amalan paling utama yang dicintai Allah SWT. Hal tersebut sesuai dengan hadist yang diriwatkan oleh HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi berikut ini.
Dari 'Abdullh bin Mas'ud r.a.: "Aku bertanya kepada Rasulullah "Amalan apakah yang paling afdhal (utama)?" Rasul menjawab, "Shalat pada waktu-waktunya." Aku bertanya lagi, "Kemudian apa lagi?" Beliau menjawab lagi, "Berbakti kepada kedua orang tua." Aku bertanya kembali." "Kemudian apa lagi?" "Kemudian jihad fi sabilillah." Kemudian aku terdiam dan tidak lagi bertanya kepada Rasulullah . Andaikan aku meminta tambahan, maka Beliau akan menambahkan kepadaku". (HR. Bukhari, Muslim, Ahmad, dan Tirmidzi). Ternyata, begitu luar biasa makna mudik! Mudik merupakan aktualisasi ikatan batin dan kasih sayang anak dengan orang tua. Ketika mudik tiba, kita sejenak pulang untuk menjenguk "surga" di tanah kelahiran kita.
2. Nyekar : pengingat asal mula dan ke mana tujuan hakiki hidup kita
Setiba di kampung halaman, para pemudik biasanya melakukan tradisi nyekar atau ziarah kubur keluarga secara bersama dengan menabur bunga. Hal ini merupakan bentuk ikatan batin antara yang mereka yang masih hidup dengan keluarga dan kerabat yang sudah meninggal. Ikatan batin ini sebenarnya memiliki dua makna yang sangat penting bagi proses untuk mematangkan batin manusia.
Pertama, melalui nyekar kita (yang masih hidup) diingatkan kepada sisi sejarah asal muasal kita. Ada perjuangan, kasih sayang, kenangan, dan teladan yang bisa kita petik dari mereka yang sudah meninggalkan kita menghadap Sang Pencipta. Kedua, nyekar mengingatkan pada "masa depan" kita, ketika kita sudah sampai di ujung kehidupan kita di dunia, yaitu kematian.
Imam Qurthubi r.a. pernah meriwayatkan bahwa Ad Daqqaq berkata: Barangsiapa yang banyak mengingat mati, maka ia akan dimuliakan dengan tiga perkara, yaitu bersegera bertaubat, hatinya merasa cukup, dan semangat dalam beribadah.
Sebaliknya, barangsiapa yang melupakan kematian, maka ia akan dihukum dengan tiga perkara, yaitu menunda taubat, tidak ridha dengan rasa cukup, dan malas dalam beribadah. Nyekar adalah pengingat asal mula kita sekaligus pengingat bahwa hidup kita akan berakhir dengan kematian. Sabda Rasulullah :
"Cukuplah kematian itu sebagai pengingat".
Kematian sebenarnya sudah cukup untuk menjadi nasihat supaya umat manusia selalu ingat dan beribadah kepada Allah SWT. Hidup yang fana ini adalah wahana bagi umat manusia untuk menabung pahala sebanyak-banyaknya sebagai bekal menghadapi hidup sesudah mati yang kekal dan abadi.
Momen mudik di satu sisi dan lebaran (Hari Raya Idul Fitri) di sisi lain, adalah perpaduan saat yang tepat untuk berbagi rasa setelah sekian lama hidup dalam dimensi waktu yang sama namun pada ruang/tempat yang berbeda dan berjauhan: yaitu tanah rantau dengan kampung halaman.
Mudik pada saat lebaran adalah wahana untuk membina dan mempererat hubungan kasih sayang dan persaudaraan antarmanusia, baik sebagai sesama kerabat (keluarga dan sanak saudara) maupun dalam hubungan yang lebih luas lagi, seperti sahabat, teman sekolah, teman seprofesi, dan sebagainya.
Mudik: Dari Paran Kembali ke Sangkan
Mencermati tulisan di atas, ternyata dapat ditemukan hubungan yang erat antara mudik dengan asal-muasal penciptaan manusia. Mudik adalah aktifitas pulangnya seseorang dari tanah paran (tanah rantau) ke sangkan (asal/tanah kelahiran) mereka. Melalui nyekar, manusia juga diingatkan mengenai realitas sangkan (asal muasal penciptaan) dan paran (tujuan akhir) kejadian (dumadi) manusia atau dalam konsep budaya Jawa dikenal dengan Sangkan Paraning Dumadi-nya manusia.
Seperti halnya mudik yang kembali ke tanah kelahirannya, kita juga (pasti) akan kembali kepada asal-muasal kita, kepada Sangkan Paraning Dumadi kita. Ternyata, hidup kita ini tidak sekedar siklus lahir-hidup-mati saja (seperti halnya siklus mudik kemudian merantau lagi dan mudik lagi pada tahun berikutnya), namun kita perlu meneroka rasa lebih dalam lagi. Meneroka rasa tentang mudik bisa menjadi pemantik pemikiran bagi kita ketika berproses mencari bekal bermakna di dalam kesejatian hidup: dari mana kita hidup, bagaimana kita hidup, untuk apa kita hidup, dan ke mana sesungguhnya arah tujuan hidup manusia.
Tiap-tiap yang berjiwa akan merasakan mati, begitu firman Allah SWT di dalam Al Quran Surat Ali Imran ayat 185. Selain itu, di dalam Al Quran Surat Ar Rahman ayat 26 Allah SWT berfirman bahwa semua yang ada di dunia ini juga akan binasa. Dua firman Allah SWT tersebut menjadi pengingat dan penguat keyakinan kita bahwa setiap dari kita pasti akan kembali ke asal muasal penciptaan kita.
Sebab adanya kita adalah untuk kembali kepada tempat bermula dan tempat berakhirnya kita: Allah SWT, Sang Sangkan sekaligus Sang Paran. Apabila kita menyadari hal tersebut, maka seharusnya spirit hidup kita di alam fana yang hanya sesaat ini adalah spirit ibadah (membangun harmoni dengan Sang Pencipta sebagai sumber kehidupan) serta membangun kebaikan sebanyak-banyaknya terhadap sesama manusia dan alam sekitar.
Tulisan ini saya tutup dengan syair Jalaluddin Rumi:
Aku adalah pelancong,
Kaulah jalanku,
Aku berjalan dariMu,
kepadaMu
Sumber:
Dikutip dengan beberapa penyesuaian dari buku berjudul Meneroka Rasa (Kumpulan Essai Moral dan Kemanusiaan) yang saya tulis pada 2022 dan diterbitkan oleh Penerbit Alienaku Yogyakarta -- 2022