Alumni psikologi Unair Surabaya. Ibu lima anak. Tinggal di Bondowoso. Pernah menjadi guru di Pesantren Al Ishlah, konsultan psikologi dan terapis bekam di Bondowoso. Hobi membaca dan menulis dengan konten motivasi Islam, kesehatan dan tanaman serta psikologi terutama psikologi pendidikan dan perkembangan. Juga hobi berkebun seperti alpukat, pisang, jambu kristal, kacang tanah, jagung manis dan aneka jenis buah dan sayur yang lain. Motto: Rumahku Mihrabku Kantorku. Quote: "Sesungguhnya hidup di dunia ini adalah kesibukan untuk memantaskan diri menjadi hamba yang dicintai-Nya".
Menunggu Blanggur di Kampungku
Menunggu Blanggur di Kampungku
Blaaanggr...!!! Bunyi yang mirip suara meriam meletus itu tiba-tiba menggelegar seakan-akan memecah langit Surabaya. Anak-anak yang sedang bermain engkle di sebuah kampung sambil menunggu waktu buka sontak bersorak kegirangan mendengarnya. Aku pun demikian. Karena, tak lama setelah itu adzan Maghrib di masjid kampungku berkumandang. Dan kami pun segera pulang untuk membatalkan puasa.
Ramadan sekian puluh tahun yang lalu. Sekitar pukul 02.00 malam. Beberapa remaja berjalan kaki mengelilingi kampung. Mereka berteriak sambil membunyikan 'klotekan' untuk membangunkan orang sahur. "Sahuuur! Sahuuur!" Tek, tek, tek! Tek, tek, tek! Sahuuur! Sahuuur! Tek, tek, tek!"
Bunyi 'klotekan" yang keras itu, membuat aku terbangun. Setelah berhasil melawan kantuk, aku segera pergi ke kamar mandi. Aku mencuci muka. Lalu makan sahur.
Pagi. Kira-kira pukul tujuh. Ibu menyuruhku berbelanja ke Pasar Pacuan Kuda. Ibu memberiku sejumlah uang untuk membeli tempe, cabe rawit, tomat dan bahan sayur sup seperti wortel, kentang dan buncis. Ibu juga menyuruhku membeli blewah. Harganya kalau tak salah lima puluh rupiah sebuah.
Sorenya. Aku membantu Ibu memasak di dapur. Menu buka hari ini adalah sayur sup, tempe goreng dan sambal tomat. Aku yang mengupas sayurnya dan ibu membumbuinya.
Menjelang Maghrib. Ibu sudah sibuk menyiapkan minuman untuk berbuka di meja. Aku membantunya. Kami hendak membuat es blewah. Kali ini kami tidak membuat es cincau hitam. Karena, es cincau hitam memerlukan sirup gula merah yang direbus dengan daun pandan. Sehingga memakan waktu lama.
Ibu melarutkan gula ke dalam segelas air matang untuk sirup es blewah. Aku memarut blewah memakai parut gobet. Adik laki-lakiku membersihkan es batu yang ia beli di warung Cak Fulan.
Siapakah Cak Fulan? Cak Fulan adalah agen es batu balok terbesar di wilayah tempat tinggalku. Pelanggannya banyak sekali. Tidak hanya para warga sekitar tetapi juga pemilik warung makanan di beberapa tempat. Pak Fulan sendiri mendapatkan kiriman es batu dari pabrik es batu di Jl. Petojo. Lokasinya dekat fakultas Kedokteran Gigi Unair.
Setelah selesai membuat es blewah, aku bergabung dengan anak-anak tetangga. Kami menunggu blanggur sambil bermain. Biasanya kami bermain engkle, gobak sodor, lompat tali atau petak umpet. Sayangnya, mainan tersebut cukup menguras energi. Sehingga kami memilih bermain bekel di teras rumah teman.
Tiba-tiba terdengar suara letusan yang sangat keras. "Blaaanggr...!!!" Tanpa ada yang mengomando, kami pun segera bubar. Dan pulang ke rumah masing-masing dengan gembira.