Hanya orang biasa yang menekuni dan menikmati hidup dengan santai. Hobi menulis dan bermain musik. Menulis adalah melepaskan lelah dan penat, bermusik adalah pemanis saat menulis kehidupan.
Lebaran di Mata Disabilitas Netra
Saat bersilaturahmi saya mencoba enjoy dengan suasana lebaran kali ini.
Aroma masakan, tawa para tamu, dan beberapa sajian camilan saya dengungkan di kepala untuk menghajar rasa minder, takut, dan malas yang menggelayut saat diharuskan bertemu dengan banyak orang baru. Syukurnya teknik tadi lumayan membuat saya sedikit enjoy.
Nah, suasana enjoy itu lumayan meningkat saat saya diperlakukan dengan tidak berlebihan.
Masyarakat yang bisa berinteraksi sewajarnya, selayaknya mereka bertemu dengan manusia pada umumnya, makin menambah ketenangan jiwa. Makan nextar pun jadi dokoh.
Apalagi mereka yang memosisikan saya sebagai contoh inspiratif kadang bikin cuping hidung kempas-kempis.
Namun tidak sesederhana itu. Masih ada banyak hal-hal menggelitik dari penduduk desa tentang seputar disabilitas netra. Terutama adu argumen hingga pertanyaan nyeleneh yang bikin saya mengulum astor tiga biji.
"Masnya itu berarti berkuliah di kampus khusus disabilitas? Pasti wajib menggunakan huruf braille, ya?" tanya salah satu tamu.
"Oh, tidak pak. Kebetulan saya berkuliah di kampus umum, bukan seperti konsep sekolah luar biasa yang anda sampaikan. Jadi saya tetap menggunakan laptop yang terinstal aplikasi yang membantu saya membacakan apa pun yang ada di layar laptop." Jawab saya sesederhana mungkin.
"Wah! Masnya hebat ya. Tapi itu pasti laptopnya pake huruf braille," simpul tamu sepihak.
Nah, beberapa model pertanyaan seperti itu yang kadang menggelitik saya.
Padahal sudah saya jabarkan kalau laptopnya itu device seperti pada umumnya. Hanya saja terinstal software pembaca layar yang membantu mengoprasikan laptop.