Wachid Hamdan
Wachid Hamdan Mahasiswa

Hanya orang biasa yang menekuni dan menikmati hidup dengan santai. Hobi menulis dan bermain musik. Menulis adalah melepaskan lelah dan penat, bermusik adalah pemanis saat menulis kehidupan.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Meraih Makna, Rasa, dan Tawa saat Lebaran meski Tanpa Penglihatan

26 April 2024   12:56 Diperbarui: 26 April 2024   14:49 1194
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Meraih Makna, Rasa, dan Tawa saat Lebaran meski Tanpa Penglihatan
Tebar Hikmah Ramadan. Sumber ilustrasi: PAXELS

Lebaran 2024 merupakan tahun ke-empat diriku tidak lagi asyik menatap gemrlap hari raya idul fitri. Sebab sudah sejak 2020 mataku pensiun dari menatap cahaya dunia. Ia kini tengah istirahat damai. Mungkin juga sambil ngopi. Yups, diriku merupakan penyandangg disabilitas netra. Kini semua serba gelap dan tidak ada kerlip cahaya. Meski gitu, aku harus bisa bahagia di lebaran tahun ini.

Kalo ngomong soal lebaran, kawan-kawanku sudah berkicau ke mana-mana. Ada yang Mudik, Wisata, Lamaran, Ajang pdkt, dan sebagainya. Lha aku? Hmmm. Ya, gitu. Menyesap kopi, merenung, diam dan mencoba mencari celah rasa bahagia dari obrolan mereka. Lha gimana? Mereka sharing tentang pemandangan, tempat yang cocok buat shoot foto instagram, dan obrolan yang aku Cuma bisa mbatin lainnya.

"Hid, dirimu ndak mau cari tempat foto keluarga?" tanya salah satu teman.

"Ndak usah lah. Entah kenapa. Akhir-akhir ini aku sering foto, cuman aku ndak bisa lihat diriku sendiri," celetukku .

"Ehh! Bukan gitu maksudnya, bos. Kamu itu sukanya dark jokes gitu," balasnya glagapan tapi sambil tertawa.

Dari kesemua aktivitas lebaran itu, diriku mencoba rileks saja memaknai semua hal. Mulai mudik, beli baju, silaturahmi, dan hal lain, kucoba tak sikapi dengan santai. Karena esensi dari Idul Fitri adalah hari yang bersih, suci, dan seperti kain putih tiada noda. Jadi, over thinking terkait kondisi mataku, jelas ndak tak pikir nemen-nemen.

Tetap Bisa Bersyukur dengan Keadaan

Enaknya memiliki kondisi sepertiku ini, pastinya tidak terlalu terganggu dengan diskon ugal-ugalan, flashsale, cash back, dan pernak-pernik lebaran yang bertebaran di akhir-akhir Ramadhan. Jadi rasanya itu slow dan tiada beban untuk mencari tempat yang penuh diskon. Sehingga tidak makin menyiksa dompet yang udah sangat tipis.

Karena setelah mengalami kebutaan, diriku cukup banyak mendapatkan hhikmah kehidupan. Semua itu kupahami sebagai esensi dan fungsi. Estetika tidak lagi menjadi hal wajib. Jadi, aku merasa baju tidak harus baru dan sebagainya. Karena bahagia lebaran itu bukan dari baju baru, melainkan rasa syukur kita masih diberi waktu untuk silaturahmi dan berbagi tawa dengan saudara kita.

"Lho ndak beli baju, kak?" tanya adikku saat buka puasa.

"Belum minat, dek. Soalnnya bajuku masih banyak yang bagus. Jadi, mending uangku tak pake yang lain," balasku santai.

"Lho kan lebaran itu kalo bisa bajunya baru, mas. Biar keren kalo di pake instal story," lanjut adikku.

"Emang ada perintah agama, kalo lebaran itu adalah hari raya beli baju? Kan tidak. Hari raya ini kan untuk silaturahmi ke saudara. Bukan ke penjaja pakaian," jawabku sambil menyeruput kopi.

Belajar Menjadi Jiwa yang Bijaksana

Saat memasuki salat Idul Fitri, tentu aku memiliki banyak ketakutan. Karena Ketika lebaran ini akan banyak kemungkinan yang terjadi. Bisa jadi bahan gosip, diolok-olok, atau dihargai. Keraguan batin dan akal itu terus berdengung ketika khatib mimbar memberikan ceramah. Hingga hari ini pun, bertemu dengan banyak orang yang tidak paham akan disabilitas, bagiku sangat menguras tenaga dan emosi. Tapi kan ndak mungkin aku alasan ndak mau berangkat salat, ikut silaturahmi, dan sebagainya hanya karena alasan aku takut ketemu orang.

Akhirnya aku mencoba untuk tidak terlalu mengubris pikiran negatif. Perlahan kucoba untuk memandang segi positif dari hari raya. Mulai dari pahala silaturahmi, berjabat tangan, bertegur sapa, dan nasihat-nasihat lain, kucoba jejalkan di kepala ini. Untuk kutandingkan dengan pemikiran negatif di atas. Hasilnya aku jadi lebih berani untuk keluar rumah, bertemu orang, dan berjalan ke masjid.

"Waah! Mas Wachid bisa saja. Sampean suka melawak ya mas. Salut saya," ujar Pak Dukuh sambil tertawa terpingkal-pingkal, saat mendengar kisahku pergi kuliah tapi malah nyasar. Karena tak bawa santai dan ditambah unsur humor, ternyata kondisiku bisa menjadi hiburan bagi orang lain.

Di sini kusimpulkan bahwa semua itu tingggal apa yang kita cari. Bila kita mencari suasana ramah, santai, dan saling menghargai, ternyata itu yang ditemui. Mungkin begitu pula sebaliknya. Jadi, Ada banyak kesan positif yang kudapat saat silaturahmi di Lebaran kali ini. Apa ndak ada kisah yang menjengkelkan? Tentu ada. Tapi diriku lebih menikmati hal-hal positifnya. Soal-soal negatif, biar jadi ladang pahalaku.

" Terimakasih Allah atas segala kebaikan-Mu"

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun