Tak Bisa Memberi Materi, Kami Mewarnai Hari
Suatu hari, di libur Nyepi dan awal puasa, awal pekan. Biasanya, hari libur kami manfaatkan untuk beberes rumah, atau jalan-jalan dengan anak. Kali ini, istriku ingin menginap di kampung.
Mau bagaimana pun, suasana di kampung selalu dirindukan. Apalagi pas bangun pagi, disambut sinar mentari hangat menembus jendela dan tirai, diiringi nyanyian si jago. Kalau hari sedang dingin, bisa berdiang di depan api tungku.
Setiap ke rumah Mbah, anak kami mendapat kesempatan untuk belajar banyak hal. Bisa melihat bis dan berupa kendaraan di jalan tol, bisa bermain dengan ayam dan macam-macam hewan, maupun memetik cabe yang ditanam Mbah. Atau sekedar mengumpulkan batuan kecil, diangkut ke truk mainannya. (BTW, di rumah Mbah banyak batu di sekeliling. Konon, untuk membangunkan rumah anaknya.)
Secara, di kampung lahannya masih luas, banyak tanaman maupun hewan bisa dibudidayakan. Tidak seperti di kompleks perumahan, ruang geraknya sejauh batas tembok tetangga.
Meski begitu kami bersyukur, bisa tinggal di kompleks yang dekat dengan kota, akses dan mobilitas lebih mudah. Namun bisa sering berkunjung ke rumah Mbah di kampung, jaraknya relatif dekat. Sesekali menginap kalau libur.
Dalam agenda menginap kali ini, aku kurang sependapat dengan istri. Libur akhir pekan ditambah dua hari, bisa dipakai untuk istirahat, atau beberes rumah. Lebih nyaman tinggal di rumah. Tapi, kalau cuma mau rebahan di rumah bisa dilakukan setiap waktu.
Ada baiknya, libur tambahan ini mengunjungi orang tua, dan menginap. Sekedar menemani orang tua, sebab kedua anaknya sudah berumahtangga masing-masing. Istriku itu memang cantik tak hanya luar, tapi dalam hatinya. Bersyukurnya aku.
Biasanya, kami membantu beberes ladang Mbah. Kapan lalu kami menanam pohon buah bersama anak kami, sambil membereskan rumput dan gulma karena ladang yang tidak terawat. Lahan bekas sawah itu dibiarkan karena tekstur tanahnya sulit untuk diolah. Hanya ditanami pisang, singkong, dan umbi-umbian.
Ibu dan Bapak kini fokus menggarap lahan di tepian jalan tol untuk ditanami sereh. Lahannya luas, terbuka, jaraknya dekat dari rumah, dan relatif subur. Sereh juga mudah ditanam, cepat panennya. Beberapa tetangga yang kesehariannya mengurus rumah tangga mengikuti jejak Ibu. Ia memang inspiratif meski buta huruf.
Bude kami tengkulak hasil bumi termasuk sereh. Jadi pasarnya sudah ada. Mutualisme untuk Bude dan beberapa warga. Para petugas kebersihan dan perawatan jalan tol sesekali mengingatkan warga agar menanam hanya tanaman berukuran kecil. Mereka juga mengucapkan terima kasih, sudah ikut membersihkan got di lereng sekitar jalan tol.
Waktu menginap itu, kami datang agak malam. Bapak sudah tidur, mungkin kelelahan. Kami mengobrol sebentar dengan Ibu, lalu menidurkan si kecil.