Widi Kurniawan
Widi Kurniawan Human Resources

Pengguna angkutan umum yang baik dan benar | Best in Citizen Journalism Kompasiana Award 2022

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Artikel Utama

Mudik Backpacker, Inilah Gaya Kami Kurangi Jejak Karbon

21 Maret 2025   04:54 Diperbarui: 30 Maret 2025   14:28 759
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mudik Backpacker, Inilah Gaya Kami Kurangi Jejak Karbon
Bersiap naik kereta api (foto: widikurniawan)

Rasanya tidak sabar lagi untuk memulai perjalanan mudik ke kampung halaman jelang lebaran tahun ini. Sebuah perjalanan yang memang selalu dinanti, demi menuntaskan kerinduan dan merayakan kebahagiaan.

Mudik ke kampung halaman saat momen lebaran, bukan seperti hendak pergi ke mal atau ke pasar yang bisa dadakan ketika keinginan dan waktu tersedia. Mudik butuh perencanaan, terlebih jika ratusan kilometer akan dilalui dalam perjalanan.

Temanggung, sebuah kabupaten kecil di kaki Gunung Sumbing dan Sindoro, adalah kampung halaman tempat saya mesti menuntaskan rindu dan sungkem kepada orang tua. Mencapai Temanggung hanya butuh sekitar 2 jam dari Semarang, atau 2,5 jam dari Yogyakarta lewat perjalanan darat.

Pertengahan Februari lalu, saya sudah berhasil mendapatkan tiket kereta api ke Semarang dan demikian juga untuk tiket baliknya yang saya pilih keberangkatan dari Yogyakarta menuju Jakarta.

Seperti tahun-tahun sebelumnya, saya, istri, dan dua anak saya, selalu antusias menikmati perjalanan mudik ke Temanggung. Kereta api menjadi pilihan paling mengasyikkan sekaligus masuk akal bagi kami meskipun stasiun terdekat hanya ada di Semarang ataupun Yogyakarta.

Antusias mudik naik kereta api (foto: widikurniawan)
Antusias mudik naik kereta api (foto: widikurniawan)

Bisa saja kami memilih naik bus dan langsung turun di Temanggung, tak perlu ganti moda setelah turun dari kereta api. Juga bisa saja kami membawa kendaraan pribadi atau dimungkinkan pula naik kendaraan travel. Tapi, momok berupa kemacetan bakal selalu menghantui sepanjang perjalanan.

Jika direnungkan lebih dalam, pilihan mudik naik kereta api secara tidak langsung memberikan kontribusi yang signifikan dalam rangka mengurangi jejak karbon serta perlindungan lingkungan secara umum.

Saat ini, kereta api untuk perjalanan jarak jauh dari Jakarta ke bagian lain Pulau Jawa, masih menjadi pilihan paling ramah lingkungan. Penggunaan kendaraan pribadi yang berbahan bakar fosil sudah pasti bakal menghasilkan banyak polusi dan menyumbang emisi gas rumah kaca.

Bayangkan saja betapa bumi seolah tak bisa bernafas lega ketika kendaraan bermotor memadati jalanan ketika mudik. Bahkan berdasarkan data Jasa Marga, diprediksi sejumlah 2,18 juta kendaraan bermotor bakal melakukan perjalanan mudik saat libur lebaran 2025 nanti.

Maka, sekarang pilihan ada pada masing-masing pemudik.

Sejak beberapa tahun lalu, ketika anak bungsu saya sudah kami anggap mampu mengikuti ritme perjalanan orang tua dan kakaknya, mudik sambil berpetualang selalu menjadi tema perjalanan kami.

Mudik "backpacker", itulah kami menyebut diri kami sendiri. Kami tidak pernah membawa koper, tapi barang bawaan disimpan menggunakan ransel atau backpack.

Backpack untuk mudik dan tumbler (foto: widikurniawan)
Backpack untuk mudik dan tumbler (foto: widikurniawan)

Masing-masing punya tanggung jawab terhadap barang bawaannya sendiri. Inilah salah satu cara saya untuk mengajarkan kemandirian terhadap kedua anak saya.

Bahkan sebelum berangkat, masing-masing orang harus bisa memperhitungkan berapa jumlah baju dan celana, serta barang pribadi lainnya yang mesti dibawa dalam backpack-nya.

Misal, secara total kami bakal menghabiskan enam hari mudik ditambah wisata tipis-tipis, maka saya tekankan betul kepada anak-anak agar pakaian yang dibawa bisa cukup dan seefisien mungkin.

Bagi kami, lebaran tak harus membeli baju baru. Meski untuk anak-anak barangkali memang perlu membeli karena ukuran tubuhnya bertumbuh tiap tahun.

Saya sendiri nyaris tiap lebaran selalu memakai kemeja koko yang sama, dan tidak ada masalah ketika sesi berfoto dengan keluarga besar.

Setidaknya, dengan demikian saya turut berkontribusi dalam hal mengurangi jejak karbon lewat penggunaan pakaian yang berkelanjutan dan berumur panjang.

Jenis pakaian yang dibawa pun mayoritas berbahan nyaman seperti kaos, sehingga dalam satu hari tidak sering berganti pakaian dan tentunya lebih hemat bawaan di dalam ransel kami.

Ternyata dengan gaya mudik seperti ini, kami merasa lebih nyaman dan tidak berlagak seperti pelancong pada umumnya. Terlebih ada kemungkinan kami juga banyak berjalan kaki untuk mengakses titik tujuan yang tidak terlalu jauh.

Inilah gaya kami, mudik hijau untuk kurangi jejak karbon.

Soal bekal minuman dan makanan, tentu kami sudah terbiasa membawa tumbler atau botol minuman isi ulang ke manapun pergi. Terlebih sejak 2023, KAI telah menyediakan layanan gratis untuk isi ulang air minum bagi penumpang di beberapa stasiun.

Jelas hal ini menjadi dukungan bagi para pemudik dalam menerapkan prinsip ramah lingkungan.

Selain itu, jika memang harus jajan di perjalanan. Saat ini sudah banyak kafe atau rumah makan yang tak berkeberatan jika mengisi langsung pesanan minuman yang dituang langsung ke dalam tumbler milik pembeli.

Suasana di stasiun saat musim mudik (foto: widikurniawan)
Suasana di stasiun saat musim mudik (foto: widikurniawan)

Perjalanan mudik biasanya juga kami selipkan perjalanan wisata, terutama saat perjalanan balik. Dan tentunya, agar efektif dan efisien, maka destinasi yang kami kunjungi adalah yang bersifat sekalian mampir. Jadi bukan yang memang disengaja untuk melakukan perjalanan jauh demi berkunjung ke destinasi tersebut.

Misal saja, ketika saya sudah membeli tiket kereta api balik dari Yogyakarta sekitar jam sepuluh malam, maka sejak pagi kami sudah punya jadwal mampir ke destinasi yang searah menuju Stasiun Lempuyangan, tempat kami akan naik kereta api.

Banyak destinasi yang bisa kami singgahi sepanjang perjalanan dari Temanggung ke Yogyakarta. Bisa saja kami mampir ke Borobudur, lalu lanjut ke taman bermain seperti Ibarbo Park di Sleman.

Kemudian menuju ke arah Kota Yogyakarta bisa melipir ke Pasar Kranggan yang tak jauh dari Tugu. Lanjut lagi belanja ke Pasar Beringharjo atau singgah berfoto di ujung Malioboro dan Benteng Vredeburg. Semua destinasi tersebut bisa disinggahi sambil mampir karena relatif searah.

Saat malam menjelang barulah merapat ke sekitar Stasiun Lempuyangan, jangan lupa makan malam bakmi Jogja yang tersohor di dekat Pasar Lempuyangan.

Dengan rangkaian perjalanan searah seperti itu, maka tidak banyak jejak karbon yang kami hasilkan. Kecuali kami melakukan perjalanan lintas yang bikin boros bahan bakar dan tenaga, misalnya dari Borobudur lanjut ke Prambanan dan balik lagi menuju Kota Yogyakarta.

Tentu pola perjalanan seperti itu tidak praktis dan efisien karena tidak sembari mampir, dan mengingat suasana lebaran pastinya lalu lintas kendaraan akan sangat macet dan bakal banyak membuang waktu serta energi.

Barangkali cara kami mudik sambil berwisata hanyalah tindakan kecil yang dianggap biasa saja oleh orang lain. Tetapi sebenarnya dapat memiliki dampak besar jika diterapkan secara kolektif oleh banyak orang.

Siapa lagi yang bisa melindungi lingkungan dan turut mengatasi perubahan iklim, jika bukan diri kita sendiri sebagai penduduk bumi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

Nunggu Bedug Makin Seru di Bukber Kompasianer

Selain buka puasa bersama, Kompasiana dan teman Tenteram ingin mengajak Kompasianer untuk saling berbagi perasaan dan sama-sama merefleksikan kembali makna hari raya.

Info selengkapnya: KetemudiRamadan2025

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun