Hanif Sofyan
Hanif Sofyan Full Time Blogger

Buku De Atjehers series

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Tepatkah Mengajak Anak Beribadah Ramadhan Dengan Reward

5 April 2022   06:58 Diperbarui: 5 April 2022   23:24 1548
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Tepatkah Mengajak Anak Beribadah Ramadhan Dengan Reward
post-image-1576519483943-624b85dbbb4486276f1ab0f2.png

fissilmikaffah

Salah satu kesulitan sebagai orang tua ketika godaan perkembangan informasi digital dan maraknya penggunaan gadget begitu kuat, adalah mengajak anak-anak belajar tentang ilmu keagamaan, termasuk memanfaatkan waktu selama Ramadhan untuk beribadah.

Minimal menguatkan kemampuannya dalam menghafal juz 30 atau Juz Amma. Bagian dari Al-Qur'an yang berisi surat-surat pendek yang jumlahnya 37 surat. Atau belajar tentang Fikih- fikih yang berisi berbagai aturan tentang tata cara beribadah kita sehari-hari.

Misalnya tentang Tayammun, yakni berwudhu tanpa menggunakan air karena kondisi darurat.

Ketika sedang berada di daerah yang kekurangan air, atau sedang melakukan perjalanan dalam pesawat udara yang tidak memungkinkan untuk menggunakan air ketika berwudhu, saat akan shalat.

Tak banyak anak-anak yang memahami tata cara tersebut. Begitu juga dengan hal-hal sederhana lainnya seperti shalat sambil duduk atau sambil rebahan ketika kita sakit.

Artinya dalam beribadah ada saatnya kondisi darurat yang tidak memaksa kita harus melakukan shalat sambil berdiri. Intinya shalat tetap harus dilakukan, bahkan jika hanya dapat menggunakan isyarat saja karena dalam kondisi sakit yang parah.

Ada kalanya jika kita menggunakan kesempatan di bukanya kelas Pesantren Kilat Ramadhan di sekolah.

Kelas khusus akan menjadi kesempatan memaksa anak-anak bisa menguasai beberapa hafalan surat Juz Amma, dan beberapa hal tentang Fikih tersebut. Anak-anak cenderung sulit menolak jika telah menjadi aturan sekolah.

Gunakan Reward 

Beberapa cara dapat dilakukan, jika sejak lama kita telah mengajarkan disiplin untuk belajar da beribadah, mungkin tak lagi menjadi persoalan, karena anak-anak telah membiasakan diri.

Misalnya dengan membiasakan shalat berjamaah di rumah atau mengajaknya secara rutin ke masjid, jika kita selalu memiliki waktu luang diantara kerja-kerja rutin kita di kantor atau bisnis.

Atau membiasakan berdiskusi dengan menggunakan bacaan buku-buku fikih modern yang telah dilengkapi dengan cara pembahasan yang begitu tehnis dan mudah. Sehingga kita cukup membacakannya dan mendiskusikannya.

Jika kita hanya menyarankan untuk membacanya belum tentu anak-anak akan dengan sukarela mau melakukannya.

Seperti jika kita memerintahkan anak-anak untuk mengaji dan pergi shalat, namun kita tidak ikut melaksanakannya. Sehingga anak-anak bisa melakukan penolakan sebagai bentuk protesnya.

Melalui diskusi dan dialog ringan sehabis shalat, misalkan Maghrib saja, setiap hari akan ada input baru tentang fikih atau pembelajaran tentang tata cara beribadah yang baik.

Termasuk juga menjadi kesempatan bagi kita para orang tua mengulang kembali bacaan dan ilmu tentang fikih tersebut.

Namun banyak dari kita karena kesibukan kantor dan lainnya, termasuk kemampuan kita yang justru masih juga belajar agama, sehingga kita menyerahkan pembelajaran itu kepada orang lain.

Baik melalui kegiatan keagamaan di sekolah atau di masjid yang secara khusus mengadakan kegiatan dalam rangka Ramadhan.

Jika anak menolak, langkah yang mungkin bisa dilakukan adalah mengajarkan sendiri di rumah. Jika kita melakukan perintahnya secara keras, juga belum tentu akan berhasil.

Termasuk jika kita melakukan sistem reward. Namun apakah cara tersebut efektif dan bisa memberi manfaat positif bagi perkembangan pendidikan agama anak dimasa depan?.

Inilah dilema sistem reward dalam mengajarkan tidak saja masalah agama, tapi juga pelajaran umum lainnya disekolah.

Tahapan memulai Sistem Reward 

Jika kita menggunakan sistem reward and punishment, harus disepakati dari awal selama bulan Ramadhan dan kita harus melakukannya secara konsisten dengan terlibat secara langsung.

Pertama; memberikan atau menyiapkan bahan pembelajaran. Mengajak anak-anak berkunjung ke toko buku di awal Ramadhan, mencari buku referensi yang akan kita jadikan kesepakatan untuk belajar bersama.

Kedua; Kesepakatan sistem yang akan digunakan, misalkan dengan menggunakan waktu Maghrib atau Subuh sebagai tempat untuk menyetor hafalan doa.

Ketiga; Membuat jadwal rincian surat yang akan dihafal setiap hari dan harus disetorkan hasil hafalannya. Membuat jadwal selingan diskusi ringan, lengkap dengan materinya. Karena ini menjadi kesempatan kita membacakan tentang ilmu Fiqih dengan tema yang juga sudah ditentukan sejak awal.

Misalkan hari pertama tentang Wudhu dan Tayammum, hari kedua tentang Shalat Jamak dan Qasar (shalat yang dirangkap dan dipendekkan dalam satu waktu akrena kondisi sedang dalam perjalanan dan lainnya).

Keempat; menyepakati jenis reward yang akan kita berikan jika anak-anak mematuhi kesepakatan. Dan harus dilakukan secara konsisten, tanpa pengecualian yang dapat melemahkan sistem tersebut.

Kelima; Konsistensi orang tua sebagai pelaksana kegiatan, tanpa contoh yang baik dan konsistensi-berupa disiplin menjalankan sistem, bisa menyebabkan anak-anak menganggap kita sebagai orang tuanya tidak serius.

Kekuatiran tentang Mindset 

Memang ada sedikit kekuatiran, sekalipun kita menjalankan sistem reward ini secara konsisten dan persuasif dalam format "bermain sambil belajar".

Anak-anak dikuatirkan akan terbiasa meminta reward atau penghargaan ketika akan melakukan kegiatan bersifat ibadah. Padahal hal itu merupakan salah satu kewajiban yang harus dilakukan.

Mengapa reward ini dipilih, karena anak-anak dalam tumbuh kembangnya masih membutuhkan banyak stimulan dan contoh langsung dari orang tuanya sebagai "gurunya' di rumah.

Bagaimanapun tetap ada hasil positif yang akan diperoleh jika semuanya berjalan sesuai rencana.

Jika yang disasar adalah menambah banyaknya hafalan surat pendek dalam Juz Amma, minimal dalam waktu efektif 25 hari Ramadhan, anak-anak kita akan mendapat tambahan kemampuan baru menghafal 25 ayat pendek dan 25 ilmu fikih baru.

Manfaat paling minimal, akan membantu memudahkan anak-anak di sekolah, jika mereka mendapatkan tugas belajar berkaitan dengan hafalan surat pendek. Atau materi pembelajaran tentang fikih seperti yang pernah diajarkan di rumah.

Dalam jangka panjang, bekal kemampuan hafalan surat pendek dapat berguna ketika ia menjadi imam dalam kegiatan sekolah seperti di pramuka, kegiatan rohis-rohani Islam, atau kegiatan eskul  lain, bahkan jika ia terlibat dengan kegiatan sosial kemasyarakatan yang digagas pihak sekolah.

Menurut Vera Itabiliana Hadiwidjojo, S.Psi, M.Psi., psikolog anak dan remaja dari Lembaga Psikologi Terapan Universitas Indonesia, pemberian reward  atau iming-iming hadiah memang merupakan salah satu strategi yang digunakan untuk mendorong anak menjalankan ibadah. 

Pemberian reward  itu dilakukan bila anak mampu menjalankan ibadah, termasuk puasa. Pertimbangannya, harus melihat tahap pemikiran anak. Apalagi ayng masih usia di bawah 10 tahun, karena umumnya hanya memahami hal-hal yang kongkrit saja. Apalagi jika dikaitkan dengan masalah pahala, karena pahala adalah konsep abstrak yang masih sulit dipahami anak-anak.
 
Dalam tahap perkembangannya, anak-anak masih didominasi motivasi ekstrinsik, yaitu keinginan akan mendapat keuntungan dari orang lain bila melakukan sesuatu. Inilah yang membuat mereka lebih bersemangat bila mendapat hadiah. 

Pembelajaran penting yang harus disampaikan kepada anak-anak adalah bahwa, semua manfaat hasil ibadah adalah untuk anak-anak sendiri, bukan untuk orang lain, termasuk pahalanya.

Hal ini bertujuan menumbuhkan motivasi intrinsiknya, yakni keingingan melakukan sesuatu atas dasar kemauan diri sendiri, bukan akrena orang lain.

Sehingga pada akhirnya pemahaman mereka seimbang, mengapa mereka mendapatkan hadiah dan mengapa mereka harus beribadah untuk manfaaat bagi dirinya. Harus digarisbawahi, bahwa reward tidak berlebihan diberikan, bahkan rewarding experience seperti apresiasi juga merupakah hadiah. 

Membangun kebiasaan beribadah dengan sukarela memang butuh waktu dan proses yang tidak sederhana. Sehingga dibutuhkan banyak cara dan strategi, dan kerja ekstra keras dari apra orang tua.

referensi: 1,

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun