Tulisan Ade Primadini, Survivor Gagal Ginjal, Sebelum Meninggal
Deg! Rasanya baru kemarin ia curhat ingin berpuasa pada hari dia harus cuci darah. Saya menyarankan, "Kamu udah dapet rukhshoh dari Allah, ga puasa ya ga papa." Baru kemarin kami bersama alumni lainnya mengumpulkan foto untuk video Dies Natalies UNJ dan sudah diedit oleh Dini menjadi video yang indah. Baru tadi pukul delapan pagi ia mengunggah status WA, "Sebelum mengopor dan merendang, kita cuci darah dulu."
Sesalehah itu seorang Ade Primadini yang kukenal. Sebelum cuci darah saja masih berpikir ingin memasak opor dan rendang untuk keluarga. Ia beruntung karena dikelilingi suami dan anak-anak yang menyayangi dan selalu mendukungnya. Saat yang lain di rumah, ia harus ke rumah sakit untuk kontrol dan cuci darah secara berkala.
"Innalillahi wa inna ilaihi rojiun. Saya suami Ade, ingin mengabarkan Ade meninggal dunia. Mohon doa agar husnul khatimah," tulis suami Ade kemarin.
Bagai tersengat ribuan volt, saya dan teman-teman sedih sekali. Padahal, sudah lama kenal karena kuliah di kampus yang sama dan pernah ikut raker bajarak di NF Bogor. Momen kami saat raker NF dekat masjid raya itulah pelukan terakhir aku dan Ade. Selama ia sakit, aku tidak bisa menjenguknya, cuma bisa WA-an dan saling mendoakan. Sekarang kami sudah tidak bisa chat dan bertukar stiker WA lagi.
Berikut tulisan yang pernah dibagikan Ade di grup WA kesayangan kami.
"TIBA-TIBA ALLAH MENGANUGERAHI ANDA PENYAKIT KRONIS?
Saya telah melalui fase-fasenya, yakni:
Fase pertama
Kesal, marah, benci, marah pada pasangan, marah pada semua orang, marah sama masa lalu yang tidak menjaga gaya hidup sehat, marah pada semuanya deh, bahkan mungkin terselip juga marah pada Allah (Astaghfirullah). Tidak terima mengapa saya harus jadi begini dan merasa sudah berkorban banyak kok harus menerima kondisi seperti ini? (nah, ini nih kesombongan dan ujubnya. Astaghfirullah).
Fase kedua
Mengasihani diri sendiri. Baper, hopeless, merasa nyusahin orang lain, jadi beban buat orang lain. Di kepala yang ada cuma pikiran, "Udah, kayaknya lebih baik Allah cepat panggil saya saja deh..."(tidak siap hidup dan merasa siap mati dengan kebaperannya/ke-mellow-annya). Bahkan kematian jadi nightmare tiap hari. Pertanyaannya, sebenarnya sudah siap mati gak, sih?
Fase ketiga
Mulai mau menerima keadaan. Ya sudah memang harus gini kali, tapi masih terselip "ya sudah" yang belum benar-benar ikhlas hehe..., tidak bisa melawan takdir, tidak mungkin. Jadi ya terima saja, pasrah yang belum tawakal judulnya kali, ya.
Fase keempat
Saat menerima keadaan dan mau mulai berkenalan dengan si penyakit, mulai ingin berikhtiar untuk bisa sembuh. Sayangnya, karena saking semangatnya, ikhtiarnya jadi kebablasan yang tidak disertai kesabaran bahwa kesembuhan aka proses pengobatan itu adalah sebuah proses. Seringkali panjang seolah tak berujung. Pengennya coba obat ini langsung cespleng. Coba terapi itu langsung bisa aktivitas normal. Coba ini, coba itu. Dan kalau tak kunjung membaik malah tambah pundung, tambah baper, tambah hopeless.
Fase kelima
Fase dibenturkan oleh Allah dan fakta bahwa penyakit terkadang bukan musibah dan bukanlah suatu ujian, melainkan anugerah. Dengan sakit ini kita jadi punya banyak waktu bertafakur, berpikir, bermuhasabah diri sambil berbaring bahwa Allah selama ini sudah memberikan banyak sekali nikmat tak terhitung, tetapi saking sibuknya kita wara-wiri dengan agenda demi agenda kehidupan (walau bercover dakwah atau demi suami, demi anak, demi dll.) kita lupa memaknai nikmat tersebut. Lupa bersyukur. Syukurnya masih di lisan, yang sekedar berupa ucapan hamdalah disertai bisikan di hati ,"Kan ini juga berkat usaha gue." Astaghfirullah.