Yossie Fadlila Susanti
Yossie Fadlila Susanti Guru

Travelling susur tempat bersejarah seperti candi-candi peninggalan nenek moyang, bangunan kuno, dan mengulik sejarahnya adalah hal yang sangat saya sukai disamping profesi sebagai pendidik anak usia dini.

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Ketika Dia Pergi (Part I)

15 April 2023   12:49 Diperbarui: 16 April 2023   13:32 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ketika Dia Pergi (Part I)
Sumber Ilustrasi : Pixabay

            Sampai menjelang dini hari, mata Yu Partinah belum bisa terpejam. Langit-langit kamar, jam dinding tua yang tertempel di dinding kamar, selembar mukena yang tergantung di kapstok, dan semua sudut kamar telah ia pandangi satu-persatu. Dengan tatapan kosong. Pikirannya serasa berada di alam antah berantah. Melayang-layang, terkadang beberapa kejadian masa lalu  muncul dan menari-nari di pikirannya. Lalu sekejap, berbalik bayangan ketakutan tentang masa depan bersama Ardan, putranya. Ia belum tahu bagaimana membiayai pendidikan Ardan nantinya.

            "Allah Maha Besar Mbakyu, Ia tak akan membiarkan hambaNya bersedih, pasrahkan semua, Allah Maha Pengatur, yakin Mbak," kata Maryam suatu hari saat Yu Partinah menangis usai mengajar.  Maryam mengambil sebuah petikan ayat yang diambil dari Al-Qur'an pada surat At-Taubah ayat 40.

            "La tahzan innallaha ma'ana.  Janganlah engkau bersedih, sesungguhnya Allah bersama kita, " kata Maryam bijak.

            Tik, tik, tik, suara detik jam di dinding  terasa begitu kencang di telinganya, bagaikan suara dentuman palu godam yang dihantamkan pada sebuah tiang listrik. Suara itu seolah mengejar Yu Partinah untuk segera bergerak, bangkit dan berlari sekuat tenaga. Tapi kakinya serasa lumpuh. Tak ada daya di raganya. Yu Partinah berusaha menutup telinganya dengan bantal kapuk yang entah sudah berusia berapa tahun. Yang ia ingat bantal itu sudah bersamanya sejak ia sekolah di sekolah menengah pertama. 

          "Astaghfirullahal adzim ... ," Yu Partinah lalu berusaha turun dari ranjangnya. Ia memilih untuk melanjutkan rajutan dompet mungil pesanan Mbak Karti, dari pada kepalanya pusing karena susah memejamkan mata.

            Rumah ini, adalah rumah masa kecilnya yang masih ia tempati hingga kini bersama putranya, Ardan. Yu Marinah, kakaknya, tinggal di kota mengikuti suaminya yang bekerja sebagai buruh, di sebuah pabrik pengolahan kayu. Ayah sudah meninggal sekitar empat atau lima tahun lalu, sedangkan Simboknya menyusul 2 tahun sepeninggal ayahnya, juga karena sakit. Tak jarang, Maryam harus mengajar sendirian, karena Yu Partinah harus mengantar Simboknya pergi ke Puskesmas desa waktu itu.

            Setahun sudah, sejak Kang Badrun meninggal, ia masih sering mengalami hal ini. Insomnia akut! Kadang ia harus pergi mengajar dalam keadaan migren karena tak bisa tidur semalaman. Merajut, adalah salah satu kegiatannya untuk menghabiskan malam-malam panjangnya. Hasilnya, lumayan. Beberapa hasil karyanya banyak diminati mahasiswa-mahasiswi yang sering mengadakan KKN di desanya.

            Tempo hari, usai mengajar, Yu Partinah mengeluhkan tentang kondisi yang ia alami kepada rekan kerjanya, Maryam. Kepadanyalah Yu Partinah sering membicarakan tentang berbagai masalah yang dihadapinya.

            "Ikhlas Mbakyu, ikhlaskan ... Kang Badrun sudah tenang di sisi Allah,"  kata Maryam, teman seperjuangan tempat ia mengajar di Paud Al Hikmah. "Mbakyu sekarang harus kuat, demi Ardan, putra Mbakyu satu-satunya, Mbak," lanjut Maryam sambil mengelus-elus pundak Yu Partinah.    

            Ardan, anak satu-satunya Yu Partinah sudah duduk di kelas 6 SD. Semakin besar, ia makin mirip seperti sosok ayahnya yang sudah meninggal setahun lalu. Suaranya sudah mulai berubah, kumis tipis mulai tumbuh di atas bibir mungilnya. Ikal rambutnya dan bau khas tubuhnya, semua persis seperti almarhum ayahnya. Sejak ayahnya meninggal, Ardan jadi banyak berubah, ia cenderung menjadi anak pemurung dan suka berdiam di kamar. Mungkin jiwanya masih terpukul akan kehilangan sosok ayah yang dulu selalu mengayominya.

            "Kak, besok kita mancing di kali dekat jembatan sana yuk," ajak Kang Badrun kepada Ardan anak lelakinya. Mereka selalu menyempatkan pergi berdua di kala Kang Badrun sedang libur kerja. Pokoknya ada saja kegiatan dan keseruan antara bapak dan anaknya setiap hari. Seperti puasa tahun lalu, yang ternyata adalah puasa terakhir yang mereka jalani bersama, sebelum Kang Badrun berpulang karena sakit mendadak.

            "Bangun ... bangun! Kak, ayoo ... bangun dong! Sudah jam setengah tiga nih, katanya mau ikut keliling mbangunin sahur," ucap Kang Badrun membangunkan Ardan saat itu.

            "Hhhhmm ... lima menit lagi Yah, masih ngantuuk ...," jawab Ardan sambil menggeliat, matanya masih susah dibuka. Semalam ia dan ayahnya berada di masjid untuk ber-i'tikaf.           

            I'tikaf merupakan salah satu upaya yang dilakukan umat muslim untuk meraih Lailatul Qadar di bulan Ramadan. Rasulullah menyebutkan bahwa i'tikaf di sepuluh malam terakhir bagaikan beri'tikaf bersama beliau.

Artinya: "Siapa yang ingin beri'tikaf bersamaku, maka beri'tikaflah pada sepuluh malam terakhir," (HR Ibnu Hibban).

            Kang Badrun selalu memberikan pendidikan agama yang baik untuk anak lelaki satu-satunya. Sejak kecil Ardan sudah dididik untuk menjalankan ibadahnya sesuai agama yang dianutnya.  Dan Kang Badrun adalah tauladan baginya. Itulah salah satu penyebab, mengapa Ardan berubah menjadi sosok yang pemurung sepeninggal ayahnya. Ia merasa pengayomnya selama ini hilang.

            "Le, Besok Minggu kita ke makam Ayah, ya," kata Yu Partinah suatu siang. Dilihat anaknya sedang asyik menggambar sesuatu di atas kertas. Kaligrafi. Ya, Ardan memang sangat berbakat di bidang seni, terutama kaligrafi. Lagi-lagi bakat ayahnya ternyata turun ke Ardan. Kang Badrun memang dikenal pandai melukis kaligrafi di desa Pakis. Beberapa lukisan Kaligrafi  indah yang terpajang  di masjid At Taqwa adalah hasil karyanya.

            "Ya, Bu, pagi aja ya, soalnya siangnya Kakak ada janji sama Pak Kyai  Rustam di masjid," jawab Ardan pelan.

            "Oh, iya, ya Le, la ada apa to, kok ndengaren janjian segala sama Pak Kyai?" Yu Partinah bertanya balik. Ardan tak menjawab. Ia tampak diam, seperti sedang memikirkan sesuatu.

            "Bu, besok kalau Kakak lulus, boleh ndak meneruskan nyantri di Pondok Al Hikmah di Magelang?" tanya Ardan suatu ketika kepada Ibunya.

            "Mmm ... mondok? Mondok Le?" Yu Partinah terhenyak. Dadanya sempat terasa sesak mendengar putranya meminta ijin untuk mondok di Magelang. Terbayang, ia akan sendirian di rumah tua ini, ketika Ardan, anak satu-satunya harus pergi meninggalkan rumah untuk nyantri di pondok! Tak hanya itu, Yu Partinah juga memikirkan tentang dari mana beaya yang harus ia dapatkan untuk itu.

            "Ibu ndak usah khawatir, mengenai beaya Pak Kyai Rustam sudah mempunyai solusi. Alhamdulillah kemarin Kakak diundang Pak Kyai untuk membicarakan beasiswaku selama mondok, Bu," kata Ardan pelan.

            "Ada seorang  donatur dari Semarang yang ingin menginfakkan sedikit hartanya untuk beasiswaku di pondok, Bu," lanjut Ardan. Suaranya sedikit tertahan. Ia tahu ibunya akan sendiri jika ia mondok. Tapi ia ingat, ini adalah kesempatannya untuk memperoleh pendidikan yang baik seperti yang dicita-citakan oleh ayahnya. Ardan dikenal anak yang cerdas dan sholeh, beberapa kali ia menang lomba adzan dan tilawah Al Qur'an di desanya. Prestasinya diketahui oleh Pak Kyai Rustam yang kemudian mengusahakan beasiswa untuk Ardan.

            "Kak, besok, kalau Kakak lulus SD, Ayah minta Kakak mondok ya," kata Kang Badrun waktu itu.

            "Mondok Yah? Di mana?" tanya Ardan.

            "Tempat Ayah mondok dulu, di Al Hikmah Magelang," jawab Kang Badrun.

            "Inshaallah Yah, tapi Ibu gimana? Boleh ndak Kakak mondok?" Ardan balik bertanya.

            "Tenang, sudah Ayah bicarakan sama Ibu, Ibu mendukung kok, Kak," jawab Kang Badrun.

            Ya, Yu Partinah memang menyetujui rencana Kang Badrun, almarhum suaminya, agar Ardan mendapatkan pendidikan agama terbaik di Pondok Al Hikmah Magelang waktu itu. Tapi itu di saat Kang Badrun masih ada bersama mereka! Dan  kini ... Meskipun Ardan mendapat beasiswa, kesepian sendiri di rumah tanpa Kang Badrun di sisinya, merupakan hal tak pernah terbayangkan sebelumnya.

            Sebenarnya jarak dari kota tempat tinggal Yu Partinah dan Kota Magelang tak seberapa jauh, hanya sekitar dua sampai 3 jam naik bis.

            "Sanggupkah aku  Ya Rabb?" tangis Yu Partinah di qiyamul lailnya setiap malam. Ia tak pernah lepas dari tahajud, memohon petunjuk dari Sang Pencipta.

            Detak jam dinding masih terasa keras terdengar. Tik, tik, tik. Suaranya tak sekeras tadi kala dirinya selesai dari shalat tajahudnya. Dadanya terasa kian longgar. Ia sudah bertekad mengikhlaskan semua. Termasuk Ardan yang akan pergi mondok, meninggalkannya sendiri di rumah. Itu adalah wasiat  almarhum suaminya. Jarum jam menunjukkan pukul  02.30 wib. Yu Partinah  melipat mukenanya. Ia beringsut ke dapur,  menyiapkan makan sahur untuk dirinya dan Ardan, putranya.

            "Le, bangun Le, sudah jam setengah tiga hlo, sana panggil teman-temanmu untuk mbangunin warga sahur," kata Yu Partinah sambil mengusap kepala anak tercintanya. Yu Partinah masih ingat kebiasaan almarhum suaminya yang selalu membangunkan Ardan untuk kegiatan itu selama Ramadan.

            "Ya, Bu," jawab Ardan yang langsung terbangun saat Ibunya menyentuh kepala sambil memanggil namanya.

            "Ini,  Ibu sudah menyiapkan lauk kesukaanmu hlo, ikan bakar sambel matah," kata Yu Partinah. Lauk itu juga adalah lauk kegemaran almarhum suaminya. Dulu, Kang Badrun suka memasak sendiri ikan bakar sambel matah, yang ikannya hasil memancing bersama Ardan di kali dekat jembatan. Kalau sekarang, Yu Partinah lebih sering membeli di pasar. Ia tak mengijinkan Ardan untuk pergi memancing sendiri.

            Waktu terus berlalu. Hari itu, Ardan tampak gagah dengan seragam barunya. Di dada sebelah kirinya terlihat sebuah bordiran halus bertuliskan "Pondok Al Hikmah." Padanan sarung kotak warna biru muda, pas sekali dengan warna seragamnya.

            "Persis Ayahnya ...," gumam Yu Partinah pelan. Ia tak sanggup lagi menahan buliran air mata yang meleleh di pipinya.

            Beberapa tas besar sudah turun dari armada yang membawa mereka ke Pondok Al Hikmah. Gerbang depan Pondok Al Hikmah ramai sekali. Hampir semua anak-anak santri baru diantar oleh kedua orang tuanya dan kakak adiknya. Beberapa bahkan diantar oleh kakek, nenek, paman dan bibinya. Sungguh pemandangan yang kontras dengan Yu Partinah dan Ardan.

            "Kang, hari ini aku sudah mewujudkan keinginanmu untuk memberikan pendidikan agama yang terbaik untuk anak kita, Ardan. Semoga kelak ia menjadi anak yang sholeh, yang membanggakan kita ya, Kang ...," suara Yu Partinah lirih. Ia berusaha menahan air matanya agar tak jatuh lebih deras lagi.

            "Ibu, baik-baik di rumah ya, Kakak janji akan belajar dengan baik di sini, seperti kata Ayah dulu, Bu," kata Ardan saat berpamitan kepada Ibunya. Mereka saling berpelukan. Rasanya Yu Partinah tak ingin melepaskan pelukan itu.

            Dari jauh, Yu Partinah masih memandang Ardan berjalan masuk ke halaman pondok sambil menyeret kopernya.

            "Mashaallah ... Allah Yang Maha Agung, Engkau tak pernah ingkar janji, Ya Rabb. La Tahzan, aku ndak boleh sedih, Ardan sudah berada di tempat terbaik untuk meraih cita-citanya. Mewujudkan impian Kang Badrun, almarhum suamiku tercinta," gumamnya. Ia berusaha menyemangati dirinya sendiri karena yakin Allah selalu bersamanya dan  takkan membiarkan hambaNya bersedih.

~ Yfs ~  

Ambarawa, 15 April 2023

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun