Jolotundo, Sejuknya Petirtaan di Kaki Gunung Penanggungan
Di H+4 Lebaran kami mengadakan perjalanan tadabbur alam ke Petirtaan Jolotundo.
Tadabbur alam adalah sebuah proses untuk merenungi dan menghayati segala sesuatu yang ada di langit dan di bumi, yang telah diciptakan oleh-Nya, yang bertujuan untuk lebih mengenal alam, lebih dekat dengan alam, sehingga bisa menjaga dan melestarikan keberadaannya.
Ya, setelah bersilaturahmi selama beberapa hari, kini saatnya bagi kami untuk membaca dan menikmati indahnya alam ciptaan-Nya.
Mengapa Jolotundo? Alasannya sederhana, karena mudah dijangkau dan letaknya yang tak jauh dari Mojosari, tempat tinggal adik saya.
Akses jalan menuju petirtaan beraspal bagus, sehingga dengan bersepeda motor selama kurang lebih 45 menit kami sudah sampai di petirtaan.
Berenam kami berangkat dengan tiga sepeda motor. Gunung Penanggungan tampak berdiri kokoh di depan kami. Sepanjang perjalanan mata dimanjakan dengan indahnya pemandangan desa. Betapa teduh rasanya melihat sawah-sawah dan hijaunya pepohonan.
Suasana lebaran membuat jalan masih sepi. Kendaraan yang melintas masih begitu jarang. Sehingga kami sesekali bisa memotret alam sekitar yang tersaji demikian cantik.
Sampai di sebuah pertigaan ada tanda yang menunjukkan arah menuju petirtaan Jolotundo. Kami segera mengambil jalan ke kiri. Jalannya agak menanjak, sehingga harus lebih berhati-hati. Dan akhirnya sampailah kami di pintu masuk Petirtaan.
Harga tanda masuk tidak mahal, cukup Rp 10.000,00 perorang. Setelah mengisi buku tamu kami diizinkan masuk.
Begitu masuk lokasi bau dupa menguar dari arah petirtaan. Suasana terasa sedikit mistis. Karena banyak warga yang percaya akan kesakralan petirtaan ini maka untuk masuk petirtaan ada banyak peraturan yang harus ditaati. Peraturan itu dipasang di dekat pintu masuk etirtaan Jolotundo.
Tentang Petirtaan Jolotundo
Petirtaan Jolotundo adalah bangunan peninggalan Raja Udayana dari Bali yang diperuntukan bagi Raja Airlangga setelah dinobatkan menjadi Raja Sumedang Kahuripan.
Jolotundo berasal dari kata jolo yang artinya air dan tundo artinya undak undakan. Karenanya bangunan ini berupa kolam air yang berundak undak. Lokasi petirtaan Jolotundo berada di bukit Bekel, lereng barat Gunung Penanggungan.
Tepatnya di Dukuh Balekambang, Desa Seloliman, Kecamatan Trawas, Mojokerto, Jawa Timur.
Gunung Penanggungan adalah gunung yang kaya akan sutus-situs bersejarah. Banyak ditemukan candi atau peninggalan bersejarah yang lain seperti yang diterangkan di salah satu tempat beristirahat.
Petirtaan Jolotundo berupa kolam kira-kira berukuran 6m x 8m dan di bagian atasnya terdapat dua bilik pancuran. Sebelah kiri adalah bilik tempat mandi perempuan sementara sebelah kanan tempat mandi laki- laki.
Sumber mata air petirtaan Jolotundo memiliki kualitas air yang sangat bagus, karena banyak mengandung mineral yang diperlukan tubuh. Bahkan beberapa literatur mengatakan bahwa air Jolotundo termasuk salah satu air dengan kualitas terbaik di dunia.
Karenanya tak heran banyak orang datang membawa jerigen untuk mengambil air tersebut. Bahkan pedagang di pintu masukpun banyak yang menjual jerigen untuk menampung air.
Debit air petirtaan Jolotundo konstan, dalam arti tidak pernah berkurang meskipun musim kemarau.
Dalam sebuah artikel ilmiah "Kajian Nilai pada Mitos dan Tradisi di Kawasan Candi Jolotundo" karya Lestari (2021), dijelaskan ada tiga jenis air yang keluar dari sumber air Jolotundo, yaitu air minum, air bersih, dan air irigasi.
Air minum digunakan untuk minum masyarakat setempat dan dipercaya masyarakat sebagai obat berbagai macam penyakit.
Air bersih atau air suci digunakan untuk mandi supaya bersih hati, pikiran, perilaku, maupun kulitnya.
Masyarakat juga percaya bahwa mandi dengan air dari sumber air Jolotundo membuat kulit kencang dan awet muda. Karenanya banyak yang melakukan ritual mandi secara berkala di sana.
Sedangkan air irigasi digunakan untuk tanaman dan pertanian.
Melihat fungsinya yang begitu banyak tak heran masyarakat setempat sangat menjaga dan melestarikan Jolotundo beserta alam di sekitarnya.
Karena kami datang ke sana tidak untuk mandi, maka kami cukup menikmati sajian keindahan alam sekitar, juga ikan ikan yang besar besar dan jinak dalam kolam.
Pohon-pohon besar dan tinggi begitu banyak di sekitar kami membuat suasana terasa demikian sejuk. Beberapa gazebo dibangun untuk duduk-duduk sambil melihat petirtaan dari kejauhan.
Menjelang Dhuhur langit tampak semakin mendung. Kamipun bersiap- siap untuk turun kembali. Tapi sebelumnya kami mampir sebentar ke toko cindera mata untuk membeli baju surjan dan beberapa gelang untuk kenang-kenangan.
Perjalanan kali ini sungguh menarik. Perjalanan yang semakin membukakan mata hati kami bahwa alam dengan segala keramahannya telah menyediakan diri untuk menjadi sumber kehidupan dan penghidupan bagi masyarakat sekitarnya.
Yang perlu direnungkan sekarang bisakah manusia memperlakukan alam dengan ramah sebagaimana alam memperlakukan manusia?