Yuni Akbar adalah pemerhati dialektika bahasa dalam ranah logika sosial, psikologi dan pendidikan. Penggiat Gerakan Literasi. Dan sebagainya.
Waktu Terus Berlalu
Jarum jam menunjukkan angka 4. Aku sudah siap di dapur dengan segala sayur dan lauk yang akan kuolah. Aku mulai dengan tempe yang kucelup adonan tepung. Sementara tempe masuk penggorengan, aku beralih mempersiapkan pernik-pernik sayur sop. Kompor sebelah dinyalakan, rebus air hingga mendidih, masuk potongan ayam disusul wortel dan kawan-kawan. Kolak pisang kolang-kaling sudah matang dari tadi. Aroma pandannya menyebar membuat sulungku mengendus-enduskan hidung.
"Mamah...!" panggilnya sambil menatapku lama. Dia masih kelas 3 SD. Aku tahu mata beningnya minta ijin mencicipi. Aku menggeleng pelan, sambil tanganku masih sibuk memasak.
"Bentar, lagi." Jawabku.
"Lapar..." rengeknya.
"Tidak. Itu kan karena nyium bau aja. Sana main sama adik. Apa mau bantuin Mama masak?"
Dia diam saja, bertahan berdiri menyender meja dapur. Aku bisa saja mengijinkannya berbuka. Tapi sayang, tinggal 1,5 jam lagi. Aku yakin dia mampu.
Baru saja si sulung sampai pintu dapur hendak keluar, si bungsu masuk. Hampir bertabrakan. Dengan cakapnya yang masih cadel, dia berteriak-teriak,
"Maam... empeh... empeh goyeng...!" tangannya menunjuk penggorengan. Lalu mendekat dengan cepat, mencoba meraih tempe goreng yang masih ada di di tirisan.
"Masih panas, Den... hati-hati..!" cegahku sambil menjauhkan tangannya dari area kompor.
"Empe goyeng...! Empe goyeng...!" teriaknya tak mau melepas pandangan dari tempe.