Menikmati Hidup Sederhana
Kedua, menjalankan hidup secara cerdas. Ujaran orang di kampungku: "Jika ingin menikmati buah durian, jangan menanam benih rambutan!". Rada ngeyel, ya? Ujaran ini dimaknai, bahwa keberhasilan itu ditentukan pada langkah pertama atau keputusan awal. Ingin hidup layak, berusaha dan bekerja keras. Bukan malah menunggu dan pasrah.
Butuh "kecerdasan" untuk memijah langkah atau keputusan, agar nantinya tak melahirkan kekecewaan dan penyesalan. Entah itu kecerdasan emosional, intelektual ataupun religius.
Versiku, akumulasi tiga kecerdasan itu yang menjadi jembatan untuk "beradaptasi" mensejajarkan lajur kebutuhan dan kemampuan.
Misal, jika memiliki uang sepuluh ribu, konsep berfikir simpelnya adalah : memilih dan membeli barang yang seharga sepuluh ribu, atau dibawah itu. Jadi ribet jika malah menginginkan barang yang seharga dua atau tiga kali lipat harga itu, kan?
Apakah tidak boleh menginginkan barang yang bagus dan harganya lebih mahal dari sepuluh ribu? Boleh! Namun musti diimbangi usaha untuk mencari kekurangannya, tah?
Jadi, hidup sederhana menurutku adalah yang simpel dan gak ribet. Dengan menjalankan kehidupan yang wajar dan cerdas.
Aneh aja, semisal demi memastikan hidup sederhana, lebih memilih menggunakan kayu bakar padahal kompor beserta tabung gasnya tersedia. Atau lebih memilih mengenakan pakaian tiga tahun lalu agar terlihat tampil sederhana saat lebaran, padahal pakaian terbaru tersedia.
Pun, pada era digitalisasi nyaris di semua aspek kehidupan semakin aneh jika ada hal yang bisa dibikinsimpel dan antiribet. Kita masih betah dan bertahan dengan cara-cara jadul, kan? Ahaaaay..
Seperti larik puisi Sapardi Djoko Damono diatas. Mencintai dengan cara sederhana. Dan hidup serta menikmati hidup pun dengan cara sederhana. Wajar, cerdas, dibikin simpel dan anti ribet! Sepakat? Hayuk salaman...
Curup, 06.06.2019
zaldychan
[Ditulis untuk Kompasiana]