Buku Catatan Salat Tarawih: Murid Trauma, Guru Tertipu
Pertanyaannya memang sederhana. Tak ada unsur kemarahan. Tapi, tetap saja bikin saya takut. Karena takut, meski nggak tarawih, ya catatannya ditandatangani biar kelihatan tarawih.
Saya berani ngosongin catatan itu ketika sudah masuk ke jenjang MA. Jika nggak tarawih, ya nggak diisi. Nggak takut bohong dan dimarahi lagi. Yang penting jujur.
"Negeri ini butuh orang jujur ketimbang orang pintar," kira-kira begitu kata siapa, saya lupa.
Adik saya juga mengalami trauma
Ada dua cerita tentang adik saya pada Ramadan 2024 ini, ia mengalami trauma sebab adanya catatan tarawih yang didapat dari sekolahnya.
Pertama, waktu itu, setelah buka puasa saya mengantar tetangga ngirim makanan ke keluarganya yang sedang dirawat di rumah sakit. Jadi, saya nggak sempat tarawih.
Ketika pulang, pas di rumah, ibu saya bilang, bahwa tadi adik saya menangis hingga sesenggukan karena nggak tarawih. Dia nggak mau tarawih kalau nggak bareng bapak dan saya.
Bapak saya, kebetulan lagi sakit pinggang, 15 hari lebih mau duduk dan bangun aja susah. Alhasil, bapak sejatinya nggak mau tarawih karena masalah itu. Melihat adik saya menangis, karena takut catatan tarawihnya kosong, kata ibu, bapak dengan terpaksa berangkat ke tempat tarawih bersama adik.
Kedua, per tulisan ini dibuat, tadi cuaca kurang mendukung dan bikin orang seperti saya jadi malas keluar rumah: listrik mati, hujan deras, dan angin lumayan kencang. Dalam keadaan seperti itu, adik saya ngajak tarawih. Semata agar catatannya takut kosong. Meski pada akhirnya kami nggak tarawih.
Saya paham. Pahala salat sunnah tarawih gede. Tapi, yang namanya sunnah, nggak wajib: melakukannya dapat pahala, tidak melakukan nggak dosa. Eh, adanya catatan tarawih, kesannya salat ini jadi wajib bagi adik. Karena takut dan sungkan sama gurunya jika catatannya di awal Ramadan saja blong. Dulu, saya juga punya perasaan semacam itu.
Guru tertipu