Abanggeutanyo
Abanggeutanyo Wiraswasta

Nama : FM Al-Rasyid ---------------------------------------------------------------- Observe and be Observed

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Mudik di atas KM Kambuna Masih Mempesona Hingga Kini

2 Juni 2019   18:24 Diperbarui: 2 Juni 2019   19:02 472
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mudik di atas KM Kambuna Masih Mempesona Hingga Kini
Kapal KM Kambuna Dulu hingga 2004 dan Sekarang KRI Nusanif 973. Gambar : indomiliter.com

Peristiwanya sangat lama , 25 tahun lalu tepatnya saat Mudik 1994 dari Jakarta - Medan terus ke Aceh. Meskipun jauh saat itu lebih banyak sukanya ketimbang dukanya. Masih terekam dalam ingatan bagaimana berhimpitan saat akan naik atau turun Kapal. Kalau tidak salah saya "KM. Kambuna" nama kapalnya.

Dukanya sedikit saja. Namanya kapal penumpang dijejali entahdua  ribuan penumpang sudah pasti aroma aneh-aneh menyengat dalam bilik kapal. Suasana mirip tempat pengungsian. Mau ke kamar mandi harus antri. Sampai ke kamar mandi jangan tanya apa yang terjadi di dalamnya bikin berkunang-kunang saja rasanya.

Pada saat  itu sesuai dengan kemampuan cuma bisa beli tiket kelas Ekonomi, satu dipan tidur rame-rame. Entah kelas Ekonomi apa namnaya saya lupa. 

Setiap orang sebelah saya punya cara sendiri menghibur dirinya di kelas ini. Ada yang bawa tape compo mendengarkan musik mereka sukai dengan suara lumayan keras. Ada yang menghidupkan Hape memutar lagunya dari suara load speaker yang agak cempreng pada saat itu karena pada umumnya hape masih belum modern sehingga suara musik pun ya seadanya.

Beberapa meter di luar kabin sekelompok anak muda bermain gitar juga menyanyikan lagu kesukaannya.

Di depan kantin yang melayani tamu tidak habis-habisnya haus dan lapar juga memutar lagu tak kalah keras, entah untuk menghibur penjaga kantinnya sendiri atau untuk menghibur tamunya tak tahulah, suara itu bercampur baur hingga samar-samar masuk ke dalam kabin kapal terutama yang dekat dekan kantin itu.

Ketika pulang tahun berikutnya (bukan pulang mudik lebaran) penulis berusaha memesan kelas yang ada kamarnya (4 orang dalam 1 kamar) juga tidak mengubah keadaan. Selain suasana disebut di atas masih masuk ke dalam kabin juga timbul masalah lain yaitu penumpang yang pertama duluan masuk kamar seenaknya mengambil tempat di kasur bagian bawah padahal seharusnya (menurut nomor) ia di atas. Kita yang melihat begitu banyak barang bawaan dan peralatannya telah digelar di atas sprei kasur jadi tak tega meminta ia pergi. Matanya memelas please deh bapak saja yang naik ke atas bisa terbaca oleh kita.

Selain duka ada juga sukanya. Antara lain adalah berusaha menikmati suasana puasa dengan cara tersendiri. Perjalanan dari Tanjung Priok - Belawan pada saat itu kalau tidak salah 2 hari 2 malam langusng, tidak ada singgah di pelabuhan Kepri seperti saat ini.

Perjalanan selama hampir 5 hari itu tentu sangat melelahkan maka saya berusaha menghabiskan waktu dengan cara sendiri yaitu lebih banyak menghabiskan waktu di mushola kapal, lupa namanya. 

Begitu juga ketika akan berbuka puasa penulis ke Mushola kapal. Di sana terlihat beberapa orang sedang mengaduk teh dan roti atau krekes seadanya yang disediakan oleh beberapa penumpang yang ingin beramal. Segelas air mineral dalam gelas (cup), teh manis hangat dalam cup bekas dipakai air minum dan crekers seadanya sudah bisa berbuka puasa dilanjutkan shalat maghrib berjamaah.

Ketika Isya tiba dilanjutkan dengan shalat tarawih. Setelah itu penulis coba menikmati suasan kapal yang mulai lengang akibat "penghuni sesaatnya" sudah mulai beristirahat dan mungkin tertidur. Ada juga yang menikmati film di kamar theater yang tersedia. 

Besok paginya adalah lebaran tapi saat ini kami masih di atas Kapal sebelum Kepulauan Riau. Saya harus agar bisa lekas bangun pagi dan bisa mandi sebelum diduluankan orang . Saya tidak tahu di kapal ada kegiatan shalat Idul Fitri tapi melihat shalat tarawih saja dilaksanakan berarti shalat hari raya pasti ada.

Dugaan saya benar, suasana masih lengang sekitar 5 pagi sebelum subuh saya mandi terdengar sayup-sayup suara takbiran dari load speaker. Setelah itu sarapan seadanya dari mie instan cup yang dicelupkan air mendidih dari termos umum di kantin saya bergegas ke mushola.

Tiba di lokasi saya ternyata malah terlambat sehingga mendapat tempat di luar, bahkan dipinggir sekali dekat pagar kapal sehingga bisa melihat desiran buih berserakan pecah dilalui kapal yang tampaknya sengaja diperlambat oleh Nahkoda untuk menghindari goyangan kapal terlalu keras.

Udara pagi itu terasa dingin karena tampaknya kepulauan riau baru selesai diguyur hujan malamnya. Awan lembayung masih bergelayut di atas laut jalur kapal dan tampak nya merata sejauh mata memandang.

Saat berdiri shalat terasa syahdu rasanya menikmati shalat yang langka ini meski sekali-sekali digoyang-goyang oleh posisi naik turun kapal. Dari dalam mushola imam yang dipilih berdasarkan siapa paling  mampu diantara penumpang. Imam sangat fasih dan merdu membacakan ayat terdengar melalui load speaker yang terpasang di luar. 

Saya masih ingat ayat yang dibaca pada rakaat pertama adalah surah Al-Hasyr ayat 18 hingga 24 dan pada rakaat kedua Imam membacakan Surah Al-Baqarah ayat :284 -286.  Jika rekan pembaca mau mendengarkan surah Al-Hasyr ayat 18 - 24 (tanpa iklan)  boleh di sini  tidak sampai 2 menit : 


Setelah shalat bersalaman dengan sesama jamaah yang mulai merasakan akan berpisah di pelabuhan Belawan kami kembali lagi ke posisi masing-masing sambil menanti tiba di pelabuhan Belawan jelang sore hari.

Meski sudah tiba di Medan perjuangan belum usai karena masih diteruskan ke Aceh menggunakan bis umum. Untuk menuju stasiun bis penulis sewa angkot dengan bebebepa penumpang lainnya tujuan stasiun bis ke Aceh.

Bis baru bisa berangkat malam jam 19.00 ke kota Lhokseumawe. Setelah bis berjalan dan tertidur barulah tiba di kota kampung halaman penulis pada jam 02.00 dinihari. Saat itu jalan belum begitu lebar seperti saat ini dan bisnya belum sehebat saat ini, perlu waktu tempuh 6 jam hingga tiba di kota Lhokseumawe.

Masih menggunakan becak sekitar 15 menit dari terminal bis menuju ke rumah. Tiba di rumah ibu sudah tertidur, biarlah daku menunggu di teras rumah menarik beberapa kursi tua dan lusuh masih ada di sana hingga tiba waktu subuh. Ibuku biasanya bangun lebih awal. Kasihan menganggu waktu tidurnya malam itu.

Suara ngaji dari load spekaer masjid memecah keheningan subuh, barulah saya beranikan mengetuk pintu rumah dan bertemu dengan ibuku yang sudah mulai tua dan payah mengurusi aadik-adikku sebatang kara sejak ayahku sudah berpulang lebih dahulu pada 1986.

Setelah shalat subuh ibu saya sudah nyiapin kopi dan kue kesukaan saya timpan. Kami pun larut dalam cerita lucu-lucu termasuk kisah perjalanan dengan kapal Kambuna yang sejak 13 Mei 2005 sudah "pensiun" mengangkut penumpang umum. 

Meskipun nama kapalnya sudah tiada tapi cerita mudik bersamanya tetap terkenang hingga kini.

Semoga memberi inspirasi untuk semua..

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun