SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.
Arjuna di Rimba Tegasara
BAGAI lempengan tembaga terbakar, langit timur memuntahkan matahari dari rahim malam. Manakala beburung menyanyikan cinta pada semesta. Sungai di tepian rimbaTegasara masih mengalirkan kasih bumi dari hulu hingga hilir. Muara, di mana persetubuhan gunung dan samudera belum usai dituliskan dalam kitab sejarah alam.
Tanpa termangu, Arjuna yang diikuti punakawan memasuki rimba Tegasara. Tiada terpandang, selain bayang-bayangnya sendiri. Tiada terdengar, selain suara hatinya sendiri. Tiada tercium, selain aroma kasturi yang ditebarkan angin. Tiada terlafalkan, selain doa-doa yang mengalir bersama darah dan napas. Tiada terasakan, selain udara yang melonggarkan rongga dada.
Setiba di tepian Sendang Pancawarna, Arjuna menghentikan langkah. Duduk di sebongkah batu di bawah beringin putih yang berdampingan dengan pohon belimbing. Hatinya merasa terhibur, ketika Semar melantunkan tembang Ilir-Ilir. Tembang yang pernah dilantunkan Sunan Kalijaga ketika bersua di tepian tempuran sungai Prayaga dan Erawati.
"Ilir-ilir, Ilir-ilir, tandure wus sumilir. Tak ijo royo-royo, tak sengguh temanten anyar. Cah angon, cah angon, penekna blimbing kuwi. Lunyu-lunyu penekna kanggo masuh dodotira. Dodotira, dodotira kumitir bedhah ing pingggir. Donmana, jlumatana, kanggo seba mengko sore. Mumpung gedhe rembulane, mumpung jembar kalangane. Ya suraka, surak hiya."
"Tembang itu mengingatkanku pada Kanjeng Sunan Kalijaga. Tapi, aku belum paham makna yang tersirat di dalamnya. Apakah Kakang Semar mau membabarkan maknanya padaku?"
"Bleg gek dhuweg ugeg-ugeg sadulita. Hemel, hemel...."
"Jangan ucapkan kata-kata jorok itu, Pak." Bagong menyela dengan suara lantang. "Berdosa diucapkan di bulan suci Ramadhan."
"Itu bukan ucapan jorok, Gong." Gareng memberi penjelasan seperti guru kepada siswanya. "Ucapan itu sudah menjadi latah Bapak Semar."
"Mengucapkan kata-kata harus tahu maknanya. Jangan sampai orang tua mengucapkan kata-kata seperti anak-anak jalanan. Bangga menyanyikan lagu dari tanah sabrang, namun tak tahu maknanya. Memalukan!"
"Makna apa yang kamu tangkap dari ucapan itu, Gong?" Petruk melibatkan diri dalam pembicaraan. "Kalau kamu merupakan bayangan Bapak Semar, pasti bisa menjelaskan maknanya."
"Ketahuilah Truk. Kalau bleg itu suara orang yang menjatuhkan tubuhnya di atas amben. Geg artinya duduk terdiam. Ugeg-ugek...."