SRI WINTALA ACHMAD menulis puisi, cerpen, novel, filsafat dan budaya Jawa, serta sejarah. Karya-karya sastranya dimuat di media masa lokal, nasional, Malaysia, dan Australia; serta diterbitkan dalam berbagai antologi di tingkat daerah dan nasional. Nama kesastrawannya dicatat dalam "Buku Pintar Sastra Indonesia", susunan Pamusuk Eneste (Penerbit Kompas, 2001) dan "Apa dan Siapa Penyair Indonesia" (Yayasan Hari Puisi Indonesia, 2017). Profil kesastrawanannya dicatat dalam buku: Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku (Balai Bahasa Yogyakarta, 2016); Jajah Desa Milang Kori (Balai Bahasa Yogyakarta, 2017); Menepis Sunyi Menyibak Batas (Balai Bahasa Jawa Tengah, 2018). Sebagai koordinator divisi sastra, Dewan Kesenian Cilacap periode 2017-2019.
Arjuna di Rimba Tegasara
"Sudah! Sudah!' Semar membentak. "Jangan kamu dengarkan ocehan Bagong! Dasar pikirannya hanya sarang kemesuman."
"Bagaimana Kakang Semar? Apakah Kakang dapat menjelaskan makna di balik tembang Ilir-Ilir?"
"Ketahuliah, Gus. Tembang Ilir-ilir memiliki makna luhur pada manusia. Tembang itu mengingatkan pada manusia untuk selalu berjuang. Mengingat harapan akan selalu tampak di depan mata. Namun bila cita-cita telah tercapai, hendaklah manusia tidak melupakan Allah dengan menunaikan rukun Islam, sholat lima waktu, dan tak henti memperbaiki diri. Hanya cara demikian, manusia niscaya mendapatkan kunci surga di langit lapis sembilan."
Mendengar sabda Semar, Arjuna menundukkan kepala yang tepat di bawah matahari. Terdiam dalam keheningan. Namun sewaktu akan melangkah ke tepian sendang Pancawarna untuk berwudlu, seekor harimau putih melompat secepat kilat. Menyambar dan membawanya ke dalam sendang.
Menyaksikan tubuh Arjuna lenyap di dalam sendang, punakawan berteriak-teriak meminta pertolongan. Tak hanya Gareng, namun juga Petruk dan Bagong. "Bagaimana nasib Ndara Arjuna, Pak? Lebih baik aku pamit mati. Masuk ke dalam sendang. Ketimbang dihukum pancung di alun-alun Amarta."
"Jangan, Reng! Istrimu tengah hamil."
"Lantas bagaimana, Truk."
"Biar Bagong saja yang menyelam ke dalam sendang."
"Kalau aku mati, kamu pasti senang ya? Karena hutangmu denganku langsung lunas."
"Sudah! Sudah!" Semar melerai pertikaian ketiga anaknya. "Kalian semua tak perlu menyelam ke dalam sendang!"
"Lantas bagaimana dengan nasib Ndara Arjuna? Nasib kita, Pak?"