Gebrag Ngadu Bedug, Potensi Ekonomi, dan Tradisi Pasca Idulfitri di Pandeglang
Gebrag Ngadu Bedug atau adu memukul bedug merupakan sebuah event kebudayaan lokal yang menghadirkan tradisi yang biasa dilakukan pasca perayaan Idulfitri. Event ini berpotensi menggerakan roda ekonomi masyarakat setempat. Tradisi ini juga tak sekadar menghibur, melainkan mengandung pesan moral menjaga persatuan, kekompakan, dan gotong royong.
Tradisi Ngadu Bedug melibatkan kampung-kampung yang selama Ramadan para warga setempat menyiapkan bedugnya masing masing.
Tradisi ini dulunya sempat menjadi budaya rutin pasca lebaran Idulfitri di Alun-alun Pandeglang.
Kemudian, seiring waktu tradisi ini beralih event menjadi pentas seni pertunjukan Rampak Bedug. Sementara tradisi Ngadu Bedug sendiri hanya di gelar di kampung masing-masing.
Berdasarkan informasi dari pegiat dan para praktisi Ngadu Bedug setempat, tradisi ini konon mulai tumbuh dan berkembang sekira tahun 1950 sampai dengan tahun 1965.
Meski demikian, tradisi ini sempat terhenti di tahun 1965 lantaran dikhawatirkan akan terkena dampak negatif dari Peristiwa G30S/PKI. Akan tetapi, sekitar tahun 1969 tradisi ini mulai dilaksanakan kembali di tiap-tiap kampung.
Namun, lantaran tradisi ini kerap menimbulkan konflik antar kampung, akhirnya Pemerintah Daerah (Pemda) saat itu sempat menghentikannya sementara.
Baru setelah tahun 1975, Pemda saat itu, mengubah format Ngadu Bedug yang biasanya dilaksanakan di kampung-kampung menjadi dipusatkan di Alun-alun kota Pandeglang.
Hal ini sebagai upaya menjadikan kesenian ini menjadi tradisi formal, sehingga Pemda bisa mengontrol pelaksanaannya untuk menghindari gesekan antar kampung.
Diangkatnya tradisi Ngadu Bedug oleh Pemda, ternyata melahirkan kreasi-kreasi baru, sehingga munculah perubahan bentuk dari tradisi Ngadu Bedug menjadi sebuah kesenian (seni pertunjukan) Rampak Bedug di tahun 1980.