Idealnya di Bulan Ramadhon Tidak Ada Lagi Kecurangan dalam Melakoni Bisnis!
Oleh Amidi
Bagi kaum muslimin dan muslimat, orang Islam Laki-laki dan perempuan, di bulan Ramadhon ini biasanya berlomba-lomba memproduksi kebaikan (pahala) dan menjauhi perbuatan buruk (dosa). Namun, masih ada juga yang lalai, sehingga mereka melakukan penyimpangan, baik dalam aktivitas kehidupan maupun dalam aktivitas bisnis, yang dilakukan oleh pelaku bisnis.
Idealnya pelaku bisnis dapat memanfaatkan momentum Ramadhon ini untuk memproduksi kebaikan (pahala) dengan berbagi, tidak membebani/memberatkan konsumen, tidak semau-nya menaikkan harga, tidak curangdan/tidak membohongi konsumen, dan tidak melakukan tindakan lain yang merugikan konsumen.
Namun, apa nanya, fenomena yang tidak diinginkan konsumen tersebut masih saja terjadi pada bulan Ramadhon ini.
Bila kita cermati, sebenarnya tindakan melanggar etika atau kecurangan bisnis yang terjadi di bulan Ramadhon ini, yang dilakukan oleh sebagian pelaku bisnis tersebut, merupakan manifestasi atau kelanjutan atau kebiasaan tindakan melanggar etika atau kecurangan bisnis pada hari-hari biasa.
Bentuk Kecurangan.
Bila ditilik dari pengalaman masing-masing konsumen yang melakukan transaksi pada suatu unit bisnis, ada saja bentuk kecurangan yang dilakukan pelaku bisnis (pemilik/pelayan). Bila konsumen mau mencatat atau menyimpan bentuk kecurangan tersebut dalam memori, maka tidak sedikit kecurangan yang menerpa konsumen.
Unik-nya lagi , (maaf) bahwa kecurangan tersebut terkadang dilakukan oleh "kebanyakan" pelaku bisnis di negeri ini tanpa memandang agama.
Kecurangan yang sudah umum dan tanpa disadari adalah tindakan kasir dalam hal pengembalian uang belanja konsumen atau "sosokan" (meminjam bahasa Palembang) dengan permen.
Kasir dengan enteng, dan merasa tidak bersalah, berujar; "maaf bapak/ibu/saudara kami tidak ada uang recehan, pengembalian uang belanja ini, kami berikan/gantikan dengan permen". Kasir yang merasa tidak bersalah (berdosa) tersebut, sambil memberikan pengembalian uang belanja dalam hitungan genap, dan selebihnya ia sertakan dengan permen. Misalnya; konsumen berbelanja sebesar Rp. 67.687,-, sementara konsumen memberikan/membayar dengan uang sebesar Rp. 100.000,-, uang pengembalian belanja yang akan konsumen terima tersebut sebesar Rp. 32.313, -. Dalam hal ini, kasir memberikan pengembalian uang belanja berupa uang senilai Rp. 30.000,-, sedangkan sisa-nya sebesar Rp 2.313,- ia ganti dengan permen.
Terlepas ini ada siasat untuk memperbesar keuntungan, yang jelas fenomena pengembalian uang belanja sering sekali terjadi, baik diluar bulan Rmadhon maupun di bulan Ramadhon ini. Intensitas-nya akan lebih tinggi lagi, kejadian-nya akan lebih banyak lagi di bulan Ramadhon ini, karena pada bulan Ramdhon ini, konsumen berbelanja cendrung lebih banyak dari hari biasa.
Kemudian, turunan kecurangan tersebut adalah, kasus kasir yang tidak memberikan struk belanja, baik yang terjadi di gerai ritel modern maupun pada unit bisnis lain. Apakah ada unsur kesengajaan atau tidak, yang jelas tidak jarang konsumen tidak diberikan struk belanja tersebut. Mereka memberi alasan, struk tidak bisa di print-lah, tinta habis-lah, dan alasan lainnya.
Fenomena ini akan memberi peluang pihak mereka untuk melakukan kecurangan, bisa saja, kasir "bermain", dalam rangka untuk memperoleh keuntungan, memang masih perlu didalami,namun yang jelas tindakan kasir yang demikian tidak dibenarkan. Mengapa?, karena, biasanya didepan kasir sudah tertera konten peringatan yang berbunyi; " jika kasir tidak memberikan struk belanja, konsumen tidak perlu membayar".
Bila dikaji lebih jauh lagi, seakan konten peringatan yang tertera didepan kasir atau dimeja kasir tersebut, hanya basa-basi saja, atau hanya untuk memperkuat posisi pelaku bisnis. Jika konsumen komplain, bisa saja pihak pelaku bisnis berujar; "kami sudah memberi peringatan dengan menulis konten didepan/dimeja kasir tersebut".
Ada lagi fenomena plastik berbayar, terlepas program tersebut dalam rangka menekan sampah plastik, namun menurut saya hal tersebut sudah tergolong penyimpangan/pelanggaran etika bisnis alias kecurangan. Idealnya, konsumen berbelanja tersebut, harus mendapatkan pelayanan yang baik, termasuk barang yang dibelinya tersebut disertakan plastik untuk membawa barang yang dibelinya tersebut. Dengan demikian, berarti plastik tersebut sudah termasuk paket pelayanan.
Kecurangan yang sudah umum, atau bukan rahasia umum lagi adalah tindakan pelaku bisnis yang menjual makanan/minuman yang akan membahayakan kesehatan konsumen. Misalnya; mereka menggunakan bahan pengawet makanan/minuman dari formalin, mereka menggunakan pewarna makanan/minuman pewarna kain, mereka menambahkan/memasukkan suatu pemanis dalam suatu makanan/minuman/ buah, dan masih ada lagi tindakan kecurangan yang dilakukan mereka dalam mempertahankan/menambah citra rasa barang (makanan/minuman/buah/lainnya) yang mereka produksi/jual tersebut.
Kemudian kecurangan bentuk mengelabui konsumen, yakni menjual barang dagangannnya dengan menggelar barang yang baik/bagus dicampur barang yang jelek/rusak. Misalnya menggelar buah yang manis/baik/bagus diletakkan diatas/dipermukaan dan yang masam/rusak/busuk diletakkan pada bagian bawah agar tidak dilihat konsumen.
Fenomena menjaul baranag (makanan/minuman) yang rusak atau kadaluarsa (expired), akan ditemui pula pada pelaku bisnis yang menawarkan/menjual "paket parcel" yang isi-nya makanan/minuman, tidak jarang dalam "paket parcel" tersebut, ditemui baranag (makanan/minuman) yang sudah rusak atau kadaluarsa tersebut.
Selanjutnya kecurangan dalam bentuk menaikkan harga se-enak-nya sendiri, walaupun pemerintah telah menetapkan batas bawah dan batas atas dalam hal adanya toleransi kenaikan harga di bulan Ramadhon sampai menjelang hari raya idul fitri, namun dilapangan masih saja mereka lakukan penetapan harga dengan tingkat kenaikan yang terbilang tinggi. Misalnya tarif transfortasi naik antara 40-50 persen, padahal (misalnya) pemerintah mentolerir kenaikan antara 10-20 persen saja.
Memburu Keuntungan Dalam Kesempatan.
Bila dicermati, kecurangan tersebut mereka lakukan demi memburu keuntungan yang sebesar-besar-nya di bulan Ramadhon ini, karena mereka paham dan tahu persis bahwa pada momentum Ramadhon ini, konsumen akan berbondong-bondong untuk berbelanja ini dan itu.
Sehingga, mereka tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan emas tersebut. Padahal, bila disimak, selama ini, mereka sebenarnya sudah meraup keuntungan dari kegiatan bisnis yang mereka lakukan selama sebelas bulan berjalan. Namun, inilah dinamika yang terjadi, mereka berlomba-lomba untuk meraub keuntungan terlepas dengan melakukan kecurangan.
Perlu Mencari Berkah.
Bila direnungi lebih mendalam, memang unit bisnis yang kita jalankan tersebut salah satu-nya bertujuan untuk memperoleh keuntungan, namun keuntungan yang akan kita peroleh tersebut jangan sampai merugikan konsumen, jangan sampai "menganggkangi konsumen", jangan sampai mendorong timbulnya tindakan yang mengambil hak orang lain (konsumen).
Sudah saat-nya momentum Ramadhon ini untuk melakukan perubahan (hijrah), untuk melakukan intropeksi (muhasabah), untuk melakukan kebaikan-kebaikan (memproduksi pahala). Tidak berlebihan kalau pada kesempatan ini saya sampaikan berdasarkan informasi bahwa di bebera negara, konon pelaku bisnis di sana pada bulan Ramadhon ini justru menurunkan harga produk yang mereka jual dan memberikan kesempatan kepada konsumen pada bulan Ramadhon ini untuk mengambil saja makanan/minuman yang mereka jual selama ini (makan/minum) secara gratis bagi yang tidak mempunyai uang atau bagi konsumen tergolong miskin. Luar biasa, bukan?
Mari kita tiru, mari kita laksanakan cara-cara kebaikan tersebut, dalam rangka agar kita memperoleh "keberkahan" dalam bisnis yang kita jalankan. Semoga, Semoga, Semoga!!!!!!!