Awal Ramadhon Sudah Berharap Memperoleh THR Akhirnya Hanya Bingkisan Didapat
Oleh Amidi
Tunjangan Hari Raya (THR) bagi karyawan/pegawai merupakan penerimaan rutin setiap tahun yang akan mereka terima dari tempat mereka bekerja (unit bisnis/institusi/lembaga). Seiring dengan mulai memasuki bulan Ramadhon, seiring dengan itu pula mereka mulai mengharapkan akan mendapatkan THR dari tempat mereka bekerja tersebut.
Mulai awal bulan Ramdhon, harapan tersbut mereka tancapkan dalam benaknya, bahwa mereka "pasti" akan memperoleh THR, apalagi selama ini tempat mereka bekerja sudah rutin memberikan THR . Sehingga, pada bulan Ramadhon ini pun apa yang mereka harapkan seperti bulan Ramadhon sebelumnya diharapkan juga pada bulan Ramadhon ini.
Sehubungan dengan itu, mulailah mereka menyusun daftar kebutuhan, untuk alokasi/penggunaan uang THR yang akan mereka terima tersebut, mulai dari kebutuhan pokok dalam rangka menghadapi hari raya idul fitri sampai kebutuhan sekunder yang masih mereka harus penuhi.
Ketentuan Membayar THR.
Dalam Permenaker Nomor 6 tahun 2016, pembayaran THR yang akan diberikan tempat karyawan/pegawai bekerja sudah diatur sedemikian rupa. Bagi karyawan yang masa kerjanya 12 bulan atau lebih, THR dinerikan 1 bulan upah, bagi yang waktu kerjanya 1 bulan tapi kurang dari 12 bulan, maka diberikan secara proporsional.
Bila dicermati dan berdasarkan pantauan dilapangan, ternyata tidak semua tempat karyawan bekerja tersebut "mematuhi" ketentuan yang sudah digariskan tersebut. Memang ada yang sudah patuh, senantiasa patuh, ada yang masih belum dapat mematuhi dan ada yang tidak patuh sama sekali. Bagi yang tidak patuh sama sekali tersebut, berbagai alasan yang mereka lontarkan kepada karyawan-nya dan kepada pihak yang berwenang yang memonitor atau melakukan pengawasan atas pelaksanaan pembayaran THR tersebut.
Dilapangan, beragam cara pelaku bisnis, pimpinan institusi/lembaga menterjemahkan ketentuan yang telah digariskan tersebut. Ada yang sudah melaksanakan pembayaran THR sebulan upah/gaji, ada yang melaksanakan pembayaran THR satu kali take home pay, ada yang melaksanakan pembayaran THR ala kadar-nya, ada yang tidak membayar/mengeluarkan THR sama sekali.
Sekali lagi, berbagai alasan yang dapat mereka kemukakan, karena unit bisnis-nya atau institusi/lembaga yang mereka kelola sedang menghapi "masalah keuangan", unit bisnis-nya lagi stagnan, institusi/lembaga yang mereka pimpin sedang ada hambatan tehnis dan beberapa alasan lainnya.
Terlepas dari itu semua, sebenarnya bila mengacu pada hakikat THR, maka THR itu sudah selayaknya harus ada, karena ia merupakan komponen dari kompensasi yang akan diberikan unit bisnis atau institusi/lembaga kepada karyawan-nya. Selain gaji pokok, karyawan akan menerima berbagai tunjangan, termasuk THR. Tinggal bagimana unit bisnis atau institusi/lembaga menyikapi-nya.
Bila diperhatikan dari ragam komponen tunjangan dalam pemberian kompensasi karyawan/pegawai, setidaknya THR sebaiknya menjadi prioritas, karena THR tidak hanya dibayar/dikeluarkan untuk karyawan muslim, tetapi bagi karyawan non muslim pun demikian, hanya waktu pembayaran-nya yang berbeda, bagi karyawan non muslim, akan dibayarkan/dikeluarkan pada saat mereka merayakan hari raya/hari besar agama mereka.
Menurut saya, cara pembayaran ini tergantung unit bisnis atau institusi/lembaga yang akan mengeluarkan/membayar THR itu sendiri, bisa juga waktu-nya disamakan dengan karyawan muslim, bisa juga sesuai dengan hari raya non muslim. Barang kali sesuai dengan kondisi dan kesepakatan antara pemberi kerja dengan penerima kerja.
Ada Hanya Bingkisan.
Berdasarkan data, saya belum mendapatkannya, berapa banyak unit binis atau institusi/lembaga yang belum/tidak memberikan THR, sepertinya sulit mendapatkan data valid tentang persoalan yang satu ini. Namun berdasarkan pantauan dilapangan, ada yang belum/tidak memberikan THR, ada yang memberikan THR sesuai dengan ketentuan yang sudah digariskan, ada yang memberikan THR satu kali take home pay, ada yang memberikan THR dua kali atau lebih take home pay, dan ada juga yang tidak memberikan THR, atau memberikan THR hanya berupa "bingkisan" saja, yang isi-nya berupa sembako, sagu, gandum, gula dan beberapa makanan lainnya.
Bingkisan tersebut, bila dinilai dengan uang, jelas tidak sama dengan nilai satu bulan gaji/upah yang telah digariskan tersebut. Kemudian, jika bingkisan yang diberikan kepada karyawan, sebenarnya tidak bisa dinamakan THR atau tidak bisa disamakan dengan THR, karena THR itu sebenarnya melekat pada komponen kompensasi yang akan diberikan kepada karyawan. Mungkin tidak berlebihan, kalau dikatakan bahwa bingkisan yang diberikan kepada karyawan tersebut hanya berupa pemberian biasa saja, tidak ada kaitannya dengan THR.
Dengan demikian, di awal bulan Ramadhon karyawan sudah berharap akan mendapatkan THR, eh! pada akhirnya mereka hanya memperoleh bingkisan semata.
Karyawan yang merupakan bagian integral unit bisnis atau institusi/lembaga tempat merek bekerja tentu tidak bisa berbuat banyak. Seandainya, unit bisnis atau institusi/lembaga yang hanya memberikan bingkisan tersebut ditanya; apakah saudara sudah memberikan THR kepada karyawan/pegawai? Biasanya unit bisnis atau institusi/lembaga tersebut akan menjawab "sudah". Begitu juga dengan karyawan, bila dilontarkan pertanyaan yang sama, mungkin mereka pun akan memberikan menjawaban yang sama, karena mereka takut, karena mereka berada pada posisi yang lemah.
Sebaiknya Bagaimana?
Bila dirunut, persoalan THR ini, sebenarnya sederhana saja, karena ia merupakan salah satu komponen kompensasi yang akan diberikan unit bisnis atau institusi/lembaga tempat karyawan "mengabdikan diri".
Dengan demikian, sebenarnya, unit bisnis atau isntitusi/lembaga tersebut sudah selayaknya pada saat menyusun anggaran pendapatan dan belanja/pengeluaran memasukkan komponen THR tersebut. Bila sudah dimasukkan dalam anggaran, maka pada saatnya hanya tinggal mengeluarkan/membayar saja.
Bila perlu dalam menyusun anggaran tersebut melibatkan serikat pekerja yang ada pada unit bisnis atau institusi/lembaga mereka, disanalah dengan duduk bersama akan terjadi kesepakatan, hanya yang perlu diingat itu adalah beasaran THR yang digariskan satu bulan gaji/upah. Jika unit bisnis atau institusi/lembaga merasa mampu, bisa saja disepakati satu kali take home pay atau kesepakatan lainnya dengan tidak mengesampingkan ketentuan yang sudah digarskan tersebut.
Bila dalam kenyataannya nanti, unit bisnis atau institusi/lembaga tersebut mengalami persoalan keuangan, unit bisnis tersebut stagnan, institusi/lembaga tersebut mendapatkan gangguan tertentu, bisa saja mereka "urun rembuk" dengan karyawan/pegawai-nya, untuk memutuskan kesepakatan THR tersebut.
Saya yakin, karyawan/pegawai memahami persoalan yang dihadapi unit bisnis atau institusi/lembaga tempat mereka bekerja, mereka "memaklumi" jika apa yang mereka harapkan atas THR tersebut "melenceng".
Terakhir yang tidak kalah pentingnya dipahami adalah unit bisnis atau institusi/lembaga tersebut, ikut andil dalam membesarkan dan atau mengembangkan unit bisnis atau institusi/lembaga tempat mereka bekerja, maka selayaknya lah mereka harus mendapatkan hak-hak-nya selain kewajiban yang telah mereka jalankan. Selamat Berjuang!!!!!