Penulis Novel CLARA-Putri Seorang Mafia, dan SANDHYAKALANING BARUKLINTING - Tragedi Kisah Tersembunyi, Fiksi Sejarah (2023). Penghobi Traveling, Melukis dan Menulis Sastra, Seni, dan bidang Sosial Budaya.
Hikmah Ramadan, "Kisah dari Rumah Mewah (Mepet Sawah)" - Etika Bisnis
Sebuah desa, di Lereng Merapi.
Ini kisah nyata. Seorang tua, sebutlah nama samarannya, Pak Rejeb (80). Tinggal di pelosok sebuah desa di lereng Merapi, berkisah kepada saya, bahwa di saat muda ia pernah diapusi ditipudaya oleh kawan bisnisnya.
Tahun 80-an seorang kawan pengusaha dari Jakarta meminta dia untuk mewujudkan aneka proyek pertanian di kawasan desa-desa di Kecamatan Sawangan, lereng Merapi, Magelang. Pak Rejeb bahkan dipercaya untuk melakukan aneka perencanaan, strategi pengadaan lahan, perekrutan tenaga buruh pengolah lahan, pengadaan bibit salak pondoh, peternakan sapi, dan pengembangan kawasan. Prinsipnya adalah usaha budidaya salak pondok berbasis pertanian terpadu (integrated farming).
Berbekal keterampilan sebagai petani, kejujuran, juga kesungguhan, Pak Rejeb dipercaya sebagai pimpinan proyek dan pelaksana lapangan. Dengan gembira dia menjalankan amanah itu. Ia tidak mengenal kata lelah. Setahap demi setahap, proyek pertanian terpadu itu akhirnya terwujud dengan cepat. Puluhan hektar lahan pertanian, atas negosiasinya, berhasil dibeli dari tanah penduduk, di kala itu. Puluhan buruh tani pun bekerja mengolah lahan di bawah pengawasan Pak Rejeb. Ribuan bibit salak pondoh dari kebunnya sendiri, ia tanam pula ke lahan garapan proyek. Pekerjaan perintisan awal tahap pertama telah dia selesaikan dalam waktu tiga tahun. Tahapan selanjutnya adalah pengembangan. Begitu rencananya.
Waktu itu, ia tidak pernah berpikir untuk mengambil untung atau komisi di muka dari setiap proses kegiatan proyek .Pak Rejeb tidak pernah berpikir untuk mencuri, apalagi korupsi, atau nyolong komisi dari setiap transaksi pengadaan lahan dari tanah milik penduduk, yang nilainya ratusan juta itu.
Pikirannya sederhana, sesederhana hidupnya. Sebab baginya memandang banyak orang bisa bekerja di proyek pertanian itu, dan mereka mendapat penghasilan dari aneka proyek pertanian, itu suatu yang menakjubkan. Dia selalu bersyukur. Bekerja adalah bagian dari pelaksanaan nilai-nilai agama.
Menjalankan bisnis usaha bersama, secara jujur, beretika, saling percaya, menghargai partner bisnis dan profesional di bidangnya, pada hakekat itu berarti mematuhi penuturan perintah Tuhan seperti tertulis di kitab suci, semua agama. Begitulah prinsip yang dipegang teguh dan dijalani oleh Pak Rejeb.
"Nanti saja pak, ketika proyek seluruhnya sudah terwujud, saya akan meminta bagian penghasilan saya", begitulah dia katakan kepada kawan bisnisnya itu, setiap kali partnernya itu menawari suatu imbalan atas kerja keras bersama itu.
Pak Rejeb pun dibantu istrinya mencatat setiap pengeluaran rutin dengan teliti. Termasuk mencatat belasan jutaan rupiah uang pribadinya yang turut terpakai saat operasional di lapangan.
Sementara itu kawan bisnisnya sangat puas, sebab segala sesuatu telah berjalan sesuai tahap yang direncanakan.
"Saya akan memberi bapak rumah baru. Dan mobil baru, besuk mari kita ke New Armada Magelang untuk membelinya", kata kawan bisnisnya itu pada suatu ketika. Tentu Pak Rejeb merasa senang pada janji itu.
Akan tetapi, peristiwa itu pun terjadi. Belum genap seminggu soal janji diberi rumah dan dibelikan mobil baru, dan itu belum terwujud, tiba-tiba entah sebab apa kawan bisnisnya itu berubah sikap 180 derajat.
Pak Rejeb ditinggalkan begitu saja, diputus hubungan oleh partner bisnisnya itu. Tanpa komunikasi yang sehat. Tentu saja Pak Rejeb bingung. Ia bahkan dituduh telah mengkorupsi selama pelaksanaan proyek-proyek. Desas desus itu dia dengar dari para buruh tani di proyeknya itu.
Pak Rejeb termangu. Hatinya masgul. Dia syock. Sebab sejak saat itu, kawan bisnisnya itu menjauhinya, membawa semua aset proyek; dan bahkan dia mulai sulit ditemui. Orang itu selalu menghindar ketika Pak Rejeb meminta untuk bertemu, dan meminta penjelasan pada apa yang terjadi. Namun itu sia sia. Pak Rejeb juga berusaha meminta uang jasa atas kerja kerasnya berpartner selama ini.
"Hingga sekarang, saya tidak paham mengapa dia memperlakukan saya begitu", kata Pak Rejeb kepadaku. Ia menarik napas dalam dalam.
Bisa dibayangkan, lanjut ceritanya lagi. "Saya hilang harapan dan penghasilan. Ekonomi keluarga saya terpuruk. Mawut. Saya jual rumah warisan kami lalu pindah dan tinggal di gubug sederhana di desa lain. Saya sulit menyekolahkan kedelapan anak-anak saya. Saya hanya pasrah kepada Tuhan..". Ia menarik napas dalam-dalam.
***
Dan begitulah kenyataan dalam orang berusaha mencari nafkah. Ada mungkin di antara kita yang suka menang sendiri, memanfaatkan kawan sendiri, atau menyerobot rejeki rekan sendiri, memeras tenaga dan pikirannya dan meninggalkannya begitu saja setelah tahu bahwa rekan bisnisnya itu tak bisa diperas lagi tenaga, waktu, uang dan pikirannya. Ibarat kata habis manis sepah dibuang! Tak ada belas kasihan sama sekali. Lupa pada sejarah bahwa usaha itu pernah dirintis dari nol, bersama-sama, dalam suka maupun duka. Begitu usaha tampak berhasil, salah satu partner menendang jauh kawan sendiri. Tak ada etika di bisnis semacam itu.
Ada juga mungkin di antara kita, ada orang yang suka mengalah dan tidak bersedia gontok-gontokan. Tak mau rebutan harta atas usaha bersama itu. Mungkin karena dia memang orang lembek, hatinya tidak tegaan, atau karena dia yakin Tuhan sangat bersahabat dengan hambaNya yang berhati lapang kepada sesama manusia. Tetapi justru kesengsaraanlah yang dia terima karena prinsipnya itu.
***
Lalu selanjutnya? Tanyaku kepada Pak Rejeb.
"Setelah sekian tahun berlalu, saya mendengar kabar bahwa partner bisnis saya itu semakin sewenang-wenang kepada banyak buruh tani. Namun akhirnya ada kejadian. Dia mengalami sakit keras, dan berobat ke luar negeri. Harta sawah dan aset tanah semua puluhan hektar itu terjual untuk mengobati sakitnya. Proyek-proyek salak pondoh yang sempat besar itu habis dalam tempo cepat. Kini tinggal sisa-sisa ceritanya saja. Kawan saya itu bangkrut dengan meninggalkan sejumlah masalah keuangan. Dia tidak sembuh, lalu meninggal", kata Pak Rejeb. Dia menarik napas dalam. Sesaat ia termangu. Saya menyimak ceritanya baik-baik.
"Saya masih bisa bersyukur", kata Pak Rejeb kepadaku. Ingatlah, katanya. "Hal baik membuahkan kebaikan, hal buruk pasti membuahkan keburukan. Tuhan memang bersahabat dengan siapa saja. Tetapi kepada orang-orang yang tertindas dan teraniaya, Dia memberi kemurahan rejeki yang melimpah, dengan caranya yang unik, dan dari tempat yang tidak pernah kita duga. Asal kita ikhlas, tawakal dan percaya, dan terus berusaha, aneka kemurahan Tuhan pasti datang pada saatnya".
"Kedelapan anak-anak kami telah mentas, tujuh anak lulus sarjana semuanya. Sekarang saya tinggal di rumah ini, sederhana tetapi mewah alias Mepet Sawah", ujar Pak Rejeb lagi.
Ia terkekeh. Saya tertawa. Begitulah sepotong kisah kehidupan saat diapusi, ditipudaya oleh partner bisnisnya di masa lalu. Tak ada setitik rasa dendam dalam setiap jengkal ceritanya itu. Pak Rejeb telah mengikhlaskan peristiwa itu, hidupnya sumeleh.
Dan malam pun mulai larut, sedangkan pagi masih jauh dari jangkauan. Pak Rejeb, orang tua itu berkata lirih kepadaku: "Jadikanlah kisah ceritaku ini sebagai papeling, pangeling-eling Hikmah Ramadan kehidupan".
Aku mengangguk. Byarr.
*** Selesai ***