Arai Amelya
Arai Amelya Freelancer

Mantan penyiar radio, jurnalis, editor dan writer situs entertainment. Sekarang sebagai freelance content/copy writer dan blogger. Penyuka solo travelling, kucing dan nasi goreng

Selanjutnya

Tutup

RAMADAN Pilihan

Pangkas Jejak Karbon dari Likupang, Surganya Para Bidadari

17 April 2023   19:50 Diperbarui: 17 April 2023   19:54 965
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pangkas Jejak Karbon dari Likupang, Surganya Para Bidadari
Tepi pantai Desa Ekowisata Bahoi foto: Arai Amelya

"Selamat, selamat datang kami ucapkan, ucapkan pada rombongan. Pada rombongan Kementerian Pariwisata..."

Sayup-sayup suara nyanyian sekelompok pria terdengar makin keras saat aku terus berjalan memasuki area hutan mangrove di Desa Ekowisata Bahoi, Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara siang itu.

Langkahku terhenti saat kami semua sudah tiba di area terbuka dengan pasir pantai kecoklatan dan pepohonan mangrove. Aku akhirnya bertemu dengan pemilik suara yang sedari tadi sudah memikatku di kejauhan. Mereka adalah sekelompok pria dengan pakaian adat Suku Sangihe yang tengah asyik berdendang lewat lirik dan tarian sederhana.

Tari dan nyanyian sambutan di Ekowisata Bahoi foto: Arai Amelya
Tari dan nyanyian sambutan di Ekowisata Bahoi foto: Arai Amelya

Seperti layaknya upacara penyambutan, aku dan delapan Kompasianer lain yang terpilih dalam undangan Kemenparekraf untuk mendatangi DSP (Destinasi Super Prioritas) Likupang ini pun ikut dalam tarian mereka. Tak peduli matahari yang begitu terik, Bahoi selalu punya cara untuk memikat tamunya.

Dan dari ujung utara Celebes ini, akupun jatuh hati pada Bumi Minahasa.

Ekowisata, Konsep Liburan Berkelanjutan Untuk Indonesia

Bicara soal wisata alam, Indonesia tak pernah punya titik. Mau dari ujung Sabang hingga Merauke, atau Miangas hingga Pulau Rote, kalian akan kesulitan untuk memilih yang terbaik.

Hanya saja keindahan alam Nusantara yang membuatnya jadi destinasi wisata dunia, mendatangkan permasalahan baru yaitu jejak karbon. Semakin banyak wisatawan yang datang menggunakan mode transportasi apapun dan penggunaan listrik dari bahan bakar fosil, memicu emisi karbon yang makin besar.

Tak heran kalau pariwisata merupakan salah satu sektor penyumbang karbon terbesar di dunia yakni mencapai 8%. Kalau sudah begini, pariwisata harus berbenah.

Memangkas emisi karbon hingga nol persen adalah tugas yang sangat berat. Namun kita bisa kok mencegah jejak karbon bertambah dengan menjadi seorang traveler yang bertanggung jawab. Salah satu cara yang kulakukan adalah dengan memilih datang ke destinasi ekowisata seperti di Desa Bahoi ini.

Seperti namanya, ekowisata adalah sebuah kegiatan wisata berwawasan lingkungan yang mengutamakan konservasi alam. Desa Bahoi memenuhi hal itu karena para pelaku wisatanya yang adalah penduduk asli, tetap menjaga kelestarian hutan mangrove di sana.

Menanam bibit bakau di Ekowisata Bahoi foto: Arai Amelya
Menanam bibit bakau di Ekowisata Bahoi foto: Arai Amelya

Saat aku berkunjung ke Bahoi, kami pun melakukan penanaman bibit bakau secara bergantian. Disuguhi acara budaya dan makanan khas masyarakat Minahasa, Bahoi adalah salah satu daya tarik Likupang yang membuatnya layak berstatus DSP. Tak hanya keindahan Pantai Paal dan Pulau Lihaga yang luar biasa memesona bak surga, Bahoi mengajarkan keseimbangan untuk tetap peduli pada alam.

Di Desa Ekowisata Bahoi terdapat sedikitnya 11 jenis tanaman bakau di area hutan mangrove seluas 28 hektar. Semakin kalian berjalan ke pantai, kalian akan melihat akar-akar napas sonneratia alba mencuat dari dalam tanah. 

Selain mencegah abrasi sehingga gelombang laut yang kuat tidak menghantam pantai, tanaman bakau ternyata berperan menghentikan laju pemanasan global dengan cara menyerap karbon di udara. Sebuah bukti bagaimana ekowisata mewujudkan betul konsep wisata berkelanjutan, dalam upaya memangkas jejak karbon.

Akar-akar napas tanaman bakau di Bahoi foto: Arai Amelya
Akar-akar napas tanaman bakau di Bahoi foto: Arai Amelya
Bahoi memang sangat memikat.

Puas menikmati keindahan pantai dan biota laut lewat snorkeling, aku dan rombongan pun meninggalkan hutan mangrove yang menyimpan satu bibit bakau milikku itu. Kami dibawa ke Balai Desa Bahoi untuk menikmati suguhan khas Likupang, ikan kuah sasi. Oiya, jika kalian menginap di Bahoi, kalian akan tinggal di homestay penduduk sehingga suasana kekeluargaan bakal semakin terasa.

Karena sudah sampai di Likupang, sempatkan pula untuk berkunjung ke PLTS (Pembangkit Listrik Tenaga Surya) Likupang yang terletak di Desa Wineru, Likupang Timur. Di atas lahan seluas 29 hektar itu, terdapat lebih dari 69 ribu panel surya yang mampu memanen energi matahari sebanyak 15 megawatt dan menerangi lebih dari 15 ribu rumah tangga. Membuktikan kalau DSP Likupang siap menjadi garda terdepan pengusung sektor pariwisata go green di Tanah Air.

Bangga Berwisata di Indonesia Sambil Tetap Cintai Alam

Sebagai seseorang yang hobi naik gunung, destinasi wisata alam memang jauh lebih kusukai. Aku lebih sering menjelajah dan menikmati keterbatasan yang dijanjikan alam, daripada harus berlibur ke tempat wisata buatan yang dijejali wahana. Berada langsung di alam kalian akan diajarkan sesederhana melindungi kemurnian air sumber hingga membawa kembali sampah plastik ke rumah.

Desa Waerebo di Satar Lenda, Kabupaten Manggarai Nusa Tenggara Timur atau Gunung Ijen di perbatasan Kabupaten Banyuwangi dan Bondowoso, Jawa Timur hingga Tangkahan di Kabupaten Langkat, Sumatera Utara, jelas jadi destinasi Ekowisata favoritku.

Hampir semua destinasi yang kusebutkan di atas akan mengajak kalian untuk berjalan kaki sebelum tiba di lokasi. Waerebo misalnya, kalian harus mendaki bukit selama minimal dua jam sebelum akhirnya tiba di salah satu desa tercantik di Indonesia itu. Kemudian untuk mencapai Kawah Ijen dan menikmati keajaiban api biru, kalian harus melakukan pendakian gunung dini hari selama minimal 2-3 jam lamanya.

Dengan berjalan kaki, kalian sudah berkontribusi menciptakan pariwisata berkelanjutan. Karena aksi sederhana ini turut membantu mengurangi ketergantungan akan kendaraan berbahan baku fosil dan akhirnya memangkas emisi karbon.

Sudah saatnya kita menjadi traveler yang lebih dewasa dan menjaga alam negeri ini, bukan sekadar selfie dan pamer di lokasi hits demi konten media sosial. Menikmati keindahan mayapada Nusantara sambil bertanggung jawab menjaga keberlanjutannya adalah hal yang bisa kita beri pada Ibu Pertiwi.

Karena kunci keselamatan Planet Biru ada di pundak setiap manusia. Makhluk Tuhan paling sempurna, sang khalifah di muka Bumi. Jadi, sudahkah kalian menjadi traveler penjaga alam?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!

Ramadan Bareng Pakar +Selengkapnya

Krisna Mustikarani
Krisna Mustikarani Profil

Dok, apakah tidur setelah makan sahur dapat berakibat buruk bagi tubuh? apakah alasannya? Kalau iya, berapa jeda yang diperlukan dari makan sahur untuk tidur kembali?

Daftarkan email Anda untuk mendapatkan cerita dan opini pilihan dari Kompasiana
icon

Bercerita +SELENGKAPNYA

Ketemu di Ramadan

LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun